Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jangan Salahkan Kelelahan atas Keserentakan Pemilu

Soal Kematian Petugas KPPS pada Pemilu 2024, KPU Harus Bertanggung Jawab
Oleh : Redaksi
Kamis | 22-02-2024 | 15:52 WIB

Oleh Achmad Nur Hidayat

PEMILU 2024 telah meninggalkan luka yang mendalam bagi demokrasi kita. Refleksi atas Pemilu 2019 menunjukkan bahwa sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 lainnya sakit, sebuah angka yang terkumpul hingga 9 bulan pasca-pemungutan suara. Namun, tampaknya pelajaran dari tragedi tersebut belum sepenuhnya diresapi.

Data Kementerian Kesehatan pada H+5 Pemilu 2019 mencatat 91 wafat dan 374 orang sakit. Sementara itu, Pemilu 2024 menunjukkan angka yang tidak kalah tragis, dengan 94 wafat tercatat pada H+7; sebuah angka yang secara bertahap meningkat dari 71 pada H+4 dan 81 pada H+5, makin hari makin meningkat.

Ironisnya, tindakan pencegahan yang diambil oleh KPU terlihat tidak optimal, dengan screening kesehatan yang dilakukan hanya setelah seseorang diputuskan menjadi petugas KPPS, lebih mirip sebuah formalitas daripada upaya serius untuk mencegah kematian.

Pengaturan syarat usia yang ditetapkan dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan ayat 2 PKPU No. 8 Tahun 2022, yang membatasi usia petugas PPK, PPS, dan KPPS antara 17 hingga 55 tahun, terbukti tidak efektif dalam menghindari tragedi.

Kematian di kalangan petugas Pemilu menunjukkan bahwa KPU harus bertanggung jawab penuh atas kelalaian ini, karena telah abai dalam mencegah secara serius.

Tindakan yang diambil terlalu sedikit dan terlambat, memerlukan teguran dan sanksi keras atas kelalaian yang mengakibatkan kematian ini.

Mengatasi masalah ini membutuhkan lebih dari sekadar permintaan maaf dan tanggung jawab kepada keluarga yang ditinggalkan. KPU harus melakukan introspeksi dan reformasi menyeluruh dalam sistem perekrutan dan pengelolaan petugas Pemilu.

Pertama, screening kesehatan harus dilakukan sejak awal proses perekrutan, dengan kriteria yang lebih ketat dan pemeriksaan yang lebih mendalam.

Ini akan memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar sehat dan mampu secara fisik serta mental yang diberi tanggung jawab sebagai petugas Pemilu.

Kedua, sistem pelatihan harus direvisi untuk memastikan petugas Pemilu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup, termasuk manajemen waktu dan stres, yang akan membantu mereka menghadapi tekanan kerja selama Pemilu.

Ketiga, penyediaan fasilitas dan dukungan kesehatan di tempat pemungutan suara (TPS) harus diperkuat, termasuk akses ke layanan medis darurat.

Lebih lanjut, KPU harus berupaya keras untuk mengurangi beban kerja petugas Pemilu, mungkin dengan meningkatkan jumlah petugas atau mengadopsi teknologi yang dapat memudahkan proses pemungutan dan penghitungan suara.

Penggunaan teknologi digital, misalnya, dapat mengurangi kebutuhan akan proses manual yang melelahkan dan meminimalkan risiko kesalahan yang bisa menambah tekanan pada petugas.

Sayangnya teknologi SIREKAP yang dibanggakan oleh KPU tersebut ternyata tidak akurat dan tidak dapat dipercaya.

Keserentakan Pemilu tidak boleh dijadikan kambing hitam atas tragedi ini. Sebelum kita cepat menarik kesimpulan bahwa kelelahan akibat keserentakan adalah penyebab utama, perlu dilakukan investigasi mendalam terhadap setiap kasus kematian.

Temuan bahwa banyak mantan petugas KPPS mengalami kesulitan pernapasan beberapa hari setelah menyelesaikan tugas mereka menunjukkan bahwa penyebabnya mungkin lebih kompleks dan membutuhkan pemahaman yang lebih nuansir tentang tantangan kesehatan yang dihadapi oleh petugas selama Pemilu.

Selain itu, KPU harus membangun sistem pemantauan kesehatan yang berkelanjutan untuk petugas Pemilu, dimulai dari masa persiapan hingga beberapa hari setelah Pemilu berakhir.

Sistem ini bisa melibatkan kerjasama dengan institusi kesehatan setempat untuk memastikan petugas yang menunjukkan gejala kelelahan atau masalah kesehatan lainnya dapat segera mendapatkan intervensi medis yang diperlukan.

Penting juga bagi KPU untuk membuka dialog dan kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi kesehatan, lembaga pemerintah, dan masyarakat sipil, untuk bersama-sama mengembangkan strategi pencegahan dan respons terhadap masalah kesehatan petugas Pemilu.

Dengan kerjasama yang erat, dapat diidentifikasi solusi inovatif dan praktis yang tidak hanya melindungi kesehatan petugas tetapi juga meningkatkan efisiensi dan integritas proses Pemilu.

Akhirnya, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam setiap tindakan yang diambil oleh KPU.

Laporan reguler mengenai kondisi kesehatan petugas, langkah-langkah pencegahan yang diimplementasikan, serta evaluasi dan penyesuaian kebijakan berdasarkan feedback dan temuan lapangan harus dijadikan standar operasional.

Dengan demikian, publik dapat memperoleh kepercayaan bahwa KPU serius dalam upaya memperbaiki kesalahan dan meningkatkan standar pelaksanaan Pemilu.

Kematian petugas Pemilu adalah tragedi yang tidak bisa dibiarkan berulang. Tanggung jawab KPU tidak hanya terbatas pada kelancaran proses Pemilu tetapi juga pada keselamatan dan kesejahteraan mereka yang bertugas di garis depan demokrasi.

Melalui perbaikan sistematis dan kolaborasi yang luas, kita dapat dan harus memastikan bahwa Pemilu tidak hanya menjadi pesta demokrasi tetapi juga perayaan kemanusiaan, di mana setiap individu yang berkontribusi dapat melakukannya tanpa harus mempertaruhkan nyawa mereka.

Penulis adalah Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute