Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ikut Muda
Oleh : Opini
Senin | 01-01-2024 | 08:20 WIB
DAHLAN-DISWAY87.jpg Honda-Batam
Wartawan senior Indonesia Dahlan Iskan. (Foto: Net)

Oleh Dahlan Iskan

HANYA yang muda yang bisa membuat kemajuan. Anak muda bisa bekerja dua harmal tanpa tidur. Sampai pekerjaan selesai.

Yang tua, seperti saya, tidak tidur satu malam pun sudah masuk angin.

Maka dipilihlah: yang memimpin rombongan kami adalah anak muda. Ia kelas 1 SMA. Anak pertama anaknyi Bu Dahlan. Namanya dibuat mirip pembalap legendaris yang meninggal saat balapan Formula One: Ayrton Senna Ananda.

Kelemahannya satu: tidak bisa bahasa Mandarin. Padahal rombongan 12 orang ini ke Beijing dan Shanghai. Tapi kami percaya beberapa hal:

1. Kelemahan bisa ditutup dengan kecerdasan.
2. Logika yang kuat akan menuntun penyelesaian banyak persoalan.
3. Keikhlasan membuat pikiran jernih --sehingga logika bisa berjalan semestinya.

Wakil ketuanya juga anak muda: kelas 1 SMA --tahun depan. Anak kedua putrinya Bu Dahlan.

Ia anak kembar. Saya mudah membedakannya: kembarannya perempuan. Tapi saya sering tertukar namanya: satu Aqila, satunya lagi Aliqa. Apalagi dua-duanya jagoan basket.

Yang tua-tua harus ikut keputusan mereka berdua. Apalagi saya. Meski hanya saya yang bisa berbahasa Mandarin tapi saya mencoba untuk tetap plonga-plongo. Pun ketika mereka mengalami kesulitan di lapangan.

"Kesulitan bisa menambah kehebatan. Asal jangan mudah lari dari kesulitan".

Satu-satunya yang saya perlu turun tangan hanya saat sang ketua sakit panas. Sampai 39,9 derajat. Tidak bisa makan. Ternyata bagian dalam pipinya terluka. Itu karena ujung kawat gigi bagian paling akhir menggores bagian dalam pipi.

Ketika yang lain lagi seru makan kambing di resto di kawasan Muslim Niu Jie ia sangat menderita. Ibunya memutuskan membawanya ke dokter gigi. Dicari lewat aplikasi. Ternyata dekat. Persis di seberang restoran.

Saya diminta ikut mengantar. Soal bahasa tadi. Setelah dokter gigi, wanita, memeriksa, dia punya kesimpulan yang sama: akibat ujung kawat. Maka kawat itu harus dipotong.

"Bisa. Tapi ada biayanya," ujar dokter yang tidak tahu siapa kami kecuali kami orang dari Indonesia.

"Mahal lho. Bagaimana?" tanyanyi.

Dokter pun mengerjakannya. Tidak sampai 7 menit selesai. Ternyata tidak dipotong pakai gunting. Ujung kawat itu "digerinda" pakai gerinda muter cepat yang biasa untuk mengikis gigi.

"Sakit?" tanya dokter pada Ayrton.

"Tidak".

"Coba ngunyah-nguyah seperti sedang makan," perintah dokter.

Ayrton melakukannya.

"Sakit?" tanya dokter.

"Tidak".

"Ada alergi obat?" tanya dokter.

"Ada".

"Nggak usah minum obat."

Selesai.

"Berapa?" tanya saya.

"Pembayaran di lantai bawah," jawab asisten dokter.

Kami pun turun ke lantai saat pertama datang.

Tanya saya sambil membayangkan kata dokter "mahal lho" tadi.

Ternyata hanya 110 yuan. Sekitar Rp 230.000.

Dahi cucu terkecil saya, Andretti, pernah kena pojokan meja. Di tempat rekreasi di Amerika. Luka. Berdarah. Dibawa ke dokter. Diplester sederhana. Habis Rp 7 juta.

Kembali ke restoran di seberang jalan, Ayrton sudah bisa makan. Habis satu mangkok la mian. Bisa meneruskan tugasnya sebagai manajer rombongan.

Ia yang memutuskan kita semua ke mana-mana harus naik subway. Saya tidak berkomentar. Ikut saja. Subway adalah kendaraan umum untuk rakyat jelata. Murah. Hanya Rp 12.000 sudah bisa ke Disneyland di pinggir kota Shanghai. Bisa Rp 250.000 pakai taksi.

Saya ingin tahu: bagaimana anak muda menyelesaikan masalah di stasiun kereta bawah tanah. Yang semua hal harus berurusan dengan mesin. Yang semua instruksinya pakai bahasa Mandarin. Apalagi ini di Shanghai: jaringan kereta bawah tanahnya teruwet di dunia. Paling banyak jalurnya. Paling luas jangkauannya.

Ternyata ada app yang bisa dipelajari. Ke mana naik jalur apa. Lalu pindahnya di stasiun mana. Dari jalur warna apa pindah ke warna apa.

Semua hal ada di app. Anak muda lebih paham semua itu. Pun untuk keluar dari stasiun. Banyak sekali jalan keluar. Harus keluar di gate yang benar: nomor berapa. Salah gate bisa jalan kaki muter: sangat jauh dari tujuan.

Tidak pernah ada masalah. Padahal, bayangan saya, akan sangat kisruh. Apalagi ini rombongan 12 orang. Pemimpin semua. Bisa banyak pendapat. Banyak usul. Bingung. Ruwet. Begitu banyak kereta. Begitu sesak manusia.

Maka kesepakatan utama adalah: satu komando. Yang lain ikut. Termasuk yang paling tua. Pun bila putusan itu ternyata salah. Kan bisa dikoreksi.

Satu-satunya 'chaos' hanya terjadi di Beijing. Saat bersamaan dengan orang pulang kerja. Kereta sangat penuh. Untuk bisa masuk harus mendorong orang yang berjejal di dekat pintu masuk. Yang akan keluar pun terhambat.

Anda sudah tahu: kereta bawah tanah hanya berhenti setengah menit. Harus jalan lagi. Begitu berdesakan.

Sekali itu terjadi, saat harus turun kereta, hanya 6 dari 12 orang yang bisa keluar. Pintu kereta pun menutup otomatis. Kereta berjalan lagi.

Tidak ada yang panik. Yang di dalam malah melambaikan tangan 'da da sambil tertawa.

"Tunggu di situ. Kami akan balik di pemberhentian depan," tulis salah satu di grup WA keluarga. Kami pun menunggu. Toh tidak ada jadwal rapat seperti biasanya.

Tidak sampai lima menit mereka sudah tiba kembali dari kereta arah berlawanan.

Saya menyukai perjalanan ini. Saya bisa melihat karakter seluruh anggota keluarga. Sangat jarang kesempatan seperti ini.

Saya tahu hampir semua pengusaha besar mewajibkan seluruh anggota keluarga rekreasi bersama. Setahun sekali. Sampai dua minggu. Bukan hanya untuk hiburan. Yang utama adalah untuk 'menyatukan' banyak perbedaan dalam keluarga.

Bagi pengusaha, perbedaan dalam keluarga itu sangat berbahaya. Terutama bagi kelangsungan bisnis mereka. "Untuk apa sukses di bisnis tapi berantakan di keluarga".

Maka pergi bersama adalah bagian dari manajemen anti-konflik keluarga. Apalagi kalau sudah mulai ada unsur menantu, cucu dan kelak para suami atau istri para cucu itu.

Mahalnya rekreasi sekeluarga mereka anggap lebih murah dari bahaya berubahnya perbedaan menjadi pertengkaran.

Bagi kami kereta bawah tanah yang murah telah menyatukan perbedaan keluarga kami. Terutama perbedaan siapa yang suka sate Xinjiang dan siapa yang suka minuman Hay Tea.

Dan mereka ternyata bisa bersatu dalam hal tidak suka Luck'in Coffe -satu-satunya kafe yang sukses bisa mengalahkan Starbucks di Tiongkok.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia