Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pelimpahan Berkas Perkara Tak Otomatis Gugurkan Praperadilan
Oleh : Redaksi
Selasa | 19-12-2023 | 09:36 WIB
AR-BTD-5063-Pra-Peradilan.jpg Honda-Batam
Pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar (UAI) Jakarta, Suparji Ahmad. (Foto: Net)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Berdasarkan pemberitaan di media bahwa berkas perkara atas nama Firli Bahuri sudah dilimpahkan kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Apakah pelimpahan tersebut, menyebabkan gugurnya pra peradilan di PN Jaksel yang diajukan oleh Firli Bahuri.

Menurut Pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar (UAI), Suparji Ahmad, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015. Putusan ini terkait hakikat pra peradilan dan semangat yang terkadung dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP.

Menurut Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat bahwa oleh karena hakikat dari perkara permohonan pra peradilan adalah untuk menguji apakah ada perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan perlindungan hak asasi manusia dari tersangka sehingga tidaklah adil apabila ada permohonan pra peradilan yang pemeriksaanya sudah dimulai atau sedang berlangsung menjadi gugur hanya karena perkara telah dilimpahkan dan telah dilakukan registrasi oleh pengadilan negeri, padahal ketika perkara permohonan pra peradilan sudah dimulai atau sedang berjalan, hanya diperlukan waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dijatuhkan putusan terhadap perkara permohonan pra peradilan tersebut.

Ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum agar tidak terjadi dualisme hasil pemeriksaan, yaitu antara pemeriksaan yang sah yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum dengan pemeriksaan yang diduga adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon sehingga diajukan pra peradilan.

Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan keadilan, perkara pra peradilan dinyatakan gugur ketika perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap perkara pokok yang dimohonkan pra peradilan.

Mahkamah membedakan antara perkara pra peradilan yang diperiksa pada saat sidang pra pradilan dengan perkara pokok yang diperiksa pada saat setelah sidang pertama dibuka. Bagaimanapun, pada hakikatnya, tidaklah boleh ada satu perkara pidana yang diperiksa secara bersamaan, yakni diperiksa di pra peradilan sekaligus juga diperiksa pada saat setelah sidang pertama.

Apabila sidang pertama dimulai maka permohonan pra peradilan menjadi gugur. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 tersebut bersifat erga omnes, yakni berlaku sebagai undang-undang.

Maksud norma "sidang pertama", secara normatif, makna sidang pertama dijelaskan dalam Pasal 152 ayat (1) KUHAP yang menyatakan "Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang", sedangkan dalam Pasal 152 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa "Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan."

Dengan demikian, makna sidang pertama adalah hari sidang yang pertama kali dilaksanakan berdasarkan surat penetapan hakim. Ketika hakim menjatuhkan palu sidang sebanyak 3 (tiga) kali maka sekaligus itulah tanda kepastian hukum gugurnya pra peradilan yang dimohonkan oleh tersangka. Sebab, itulah tanda suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri.

Dengan demikian, Suparji menegaskan bahwa pelimpahan berkas perkara tahap satu dari penyidik ke Kejaksaan Tinggi Jakarta, tidak menyebabkan gugurnya pra peradilan, sehingga Hakim pra peradilan dapat mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan FB untuk membatalkan penetapan tersangka oleh Penyidik.

Editor: Agung