Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menko Polhukam Pastikan tak Ada Kriminalisasi Politik di Indonesia Jelang Pilpres 2024
Oleh : Redaksi
Jumat | 06-10-2023 | 16:04 WIB
mahfud_md_b9.jpg Honda-Batam
Menko Polhukam Mahfud MD (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Jagat perpolitikan Indonesia kembali dibuat heboh mengenai penetapan tersangka Menteri Pertahanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) dalam dugaan kasus korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) dua pekan menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada 19 Oktober 2023 mendatang pemilihan presiden (Pilpres) 2024

Akibat penetapan tersangka ini, Syahrul Yasin Limpo mundur dari jabatannya sebagai Mentan. Posisinya digantikan oleh Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Edi yang ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertanian.

Sepanjang 2023 ini, YSL adalah menteri kedua dari Partai NasDem yang terjerat kasus korupsi setelah sebelumya, Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate terjerat kasus korupsi BTS.

Diketahui, NasDem adalah partai yang mengusung calon presiden Anies Baswedan yang dianggap antitesis dari Presiden Jokowi. Anies Baswedan yang kini berpasangan dengan Muhaimin Iskandar juga diusung PKB dan PKS yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan.

Menanggapi hal ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan tidak ada kriminalisasi terkait kasus korupsi melibatkan politikus di Indonesia. Pasalnya, selama ini selalu bisa dibuktikan di pengadilan.

"Kan tidak ada yang tidak terbukti di pengadilan. Selalu ada buktinya dan selalu ada barangnya yang disita dan dikembalikan ke negara, berarti bukan kriminalisasi dong," kata Mahfud MD saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada (UGM), Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat (6/9/2023).

Mahfud menilai munculnya anggapan kriminalisasi itu manakala objek atau subjeknya merupakan orang partai politik. Biasanya, kata ia, hanya untuk membela diri atau mencari alasan untuk memojokkan pemerintah.

"Selalu ada (anggapan) politisi bahwa ada kriminalisasi dan sebagainya, ya itu artinya terkadang kriminal betul," kata dia.

Dia tidak menampik jika yang dimaksud adalah politisasi hukum yang wujudnya pilih-pilih kasus untuk dilakukan penanganan.

"Itu persoalan moral. Kan bisa saja misalnya ketua pengadilan (mengatakan) ini entar dulu. Untuk bisa entar dulu ini naik ke kasus apa tidak, itu bisa saja terjadi korupsi di situ. Itu yang disebut politisasi," kata dia.

Mahfud mengatakan pemerintah melalui Kejaksaan Agung serta Kepolisian RI telah mengambil sikap untuk menghentikan sementara penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan politikus sampai selesai masa pemilu.

Sebab, berdasarkan pengalaman di berbagai daerah menjelang Pemilu ada orang yang tidak salah dilaporkan lalu pencalonannya batal.

"Yang menyangkut menteri punya politik, calon anggota DPR, DPRD, calon pilkada semuanya kalau terlibat kasus korupsi dihentikan dulu, ditunda dulu, bukan ditutup tapi ditunda sampai selesai pemilu," kata dia.

Meski demikian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersikukuh untuk tetap melanjutkan penanganan kasus korupsi tanpa terpengaruh masa pemilu. "KPK bilang, kami jalan terus, hukum tidak akan berhenti karena ada pemilu," kata dia.

Menurut Mahfud, terkait prinsip KPK itu, Pemerintah tidak bisa ikut campur karena berpotensi menyalahi hukum acara sehingga hanya bisa memberikan imbauan meski tetap ada koordinasi.

"KPK ada di rumpun eksekutif tapi bukan anggota kabinet, seperti KPU, Komnas HAM, LPSK, Bawaslu sehingga kami tidak bisa ikut campur. Nanti salah secara hukum acara kalau kita masuk ke dalam," kata dia.

Editor: Surya