Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

TPKM Purelang Gugat Presiden RI dan BP Batam Terkait Lahan Pulau Rempang
Oleh : Putra Gema
Selasa | 26-09-2023 | 12:08 WIB
TPKM-Purelang.jpg Honda-Batam
Kuasa Hukum Himad Purelang, Alfons Loemau dkk, usai mendaftarkan gugatan pembatalan perjanjian pengembangan dan pengelolaan kawasan Rempang dan pulau-pulau di sekitarnya ke PN Jaksel, Senin (25/9/2023). (Ist)

BATAMTODAY.COM, Batam - Tim pembela untuk keadilan bagi masyarakat Pulau Rempang-Galang (TPKM Purelang) menggugat Presiden Republik Indonesia (RI) dan Badan Pengusahaan (BP) Batam ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (25/9/2023) lalu.

TKPM Purelang selaku kuasa hukum Himpunan Masyarakat Adat Pulau Rempang-Galang (Himad Purelang) menggugat Presiden RI dan BP Batam terkait pembatalan perjanjian pengembangan dan pengelolaan kawasan Rempang dan pulau-pulau di sekitarnya.

Kuasa Hukum Himad Purelang, Alfons Loemau, mengatakan pembatalan perjanjian pengembangan kawasan Rempang dan pulau-pulau sekitarnya ini karena pemerintah dinilai telah mencederai perjanjian yang telah disepakati pada 26 Agustus 2004 silam.

"Kemarin gugatan tersebut sudah kami daftarkan ke PN Jakarta Selatan. Gugatan ini kami layangkan kepada seluruh pihak yang terlibat di dalam perjanjian tersebut," kata Alfons Loemau, melalui sambungan seluler, Selasa (26/9/2023).

Alfons Loemau menjelaskan, dalam gugatan ini, pihaknya menggugat beberapa pihak yang terlibat di dalam MoU yang sempat disepakati pada 24 Agustus 2004.

Sedikitnya 7 pihak yang digugat dalam perkara ini. Antara lain, BP Batam atau dulu Otorita Batam (tergugat I), Wali Kota Batam (tergugat II), PT Mega Elok Graha (tergugat III), Presiden RI (tergugat IV) dan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) (tergugat V) serta turut tergugat I, Xinyi Glass Holding Ltd dan turut tergugat II Notaris.

"MoU yang dibuat itu menurut kami cacat hukum dan kita minta dibatalkan. Pembatalan ini karena setelah kita pelajari dari peraturan perundang-undangan yang ada sebelum MoU itu terjadi hingga dengan kebijakan pembangunan yang sekarang diputuskan menjadi Proyek Strategis Nasional ini sudah tidak sesuai lagi dengan perjanjian itu sendiri," ujarnya.

Lanjutnya, pemerintah dinilai telah mencederai MoU dan MoA/Akta MoU No.65 dan Akta Perjanjian No.66 tertanggal 26 Agustus 2004, di mana dalam MoU tersebut tertulis untuk proses Proyek Pembangunan Kepariwisataan.

Namun, perjanjian tersebut dinilai pihaknya telah bergeser jauh dari yang telah disepakati sebelumnya, di mana saat ini lokasi Pulau Rempang akan dijadikan lokasi industri besar yang masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

Selain itu, dalam MoU tersebut di antaranya berisi soal HPL yang akan didapatkan oleh Otorita Batam itu dialihkan ke investor, sementara di dalam SK menteri ATR/BPN tahun 1993 mensyaratkan tidak boleh dialihkan ke pihak ketiga.

"Dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 2004 ini, BP Batam dan PT MEG dapat mengalihkan kepada pihak ketiga. Itu salah satu pelanggaran yang kita lihat, pelanggaran itu tidak sejalan dengan SK Menteri ATR/BPN tahun 1993," tegasnya.

"Dalam hal ini, kami menilai bahwa saat ini tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang pro ke rakyat Pulau Rempang dan pulau-pulau sekitar. Hal ini karena masyarakat Pulau Rempang menjadi sangat rentan untuk digusur dan tercabut dari akar budayanya, dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, serta hak-hak tradisionalnya, termasuk hak atas tanah," lanjutnya.

Atas dasar tersebut, TPKM Purelang berharap agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara transparan di persidangan dan proses hukum yang tengah berlangsung dapat berjalan seadil-adilnya.

Editor: Gokli