Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hoaks dan Ujaran Kebencian Turunkan Kualitas Pemilu di Indonesia
Oleh : Redaksi
Kamis | 03-08-2023 | 13:44 WIB
A-black-campign10.jpg Honda-Batam
Ilustrasi kampanye hitam jelang Pilkada 2024. (Foto: Net)

Oleh Elisabeth Titania Dionne

INFORMASI hoaks dan juga penyebaran ujaran kebencian jelas sangat mengganggu akan kualitas dari pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang hendak diselenggarakan di Indonesia pada tahun 2024 mendatang. Maka dari itu seluruh pihak harus mampu bersama-sama mengantisipasi dan menangkalnya.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Prof Sagaf S Pettalongi menyampaikan, adanya informasi hoaks dan juga adanya penyebaran akan ujaran kebencian yang biasanya secara sengaja memang disebarluaskan oleh pihak tertentu yang sama sekali tidak bertanggung jawab sungguh sangat mengganggu pelaksanaan pesta demokrasi dan kontestasi politik di Indonesia.

Bagaimana tidak, pasalnya tentu dengan adanya ujaran kebencian dan juga informasi hoaks tersebut, maka sangat memberikan dampak yang buruk karena akan meningkatkan terganggunya kondusifitas daerah, serta juga mengganggu adanya persatuan dan kesatuan masyarakat yang selama ini sudah terjalin dengan sangat baik.

Mengenai bagaimana pelaksanaan kontestasi politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan segera dihelat di Tanah Air pada tahun 1014 mendatang, beliau menyebutkan bahwa perkembangan digital dan juga informasi yang kini melahirkan berbagai macam bentuk platform media sosial, memang harus diakui telah mengubah banyak dari gaya hidup masyarakat jika dibandingkan dengan jaman dulu ketika sistem digital masih belum berkembang secara semasif sekarang ini.

Memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa semakin ke sini, kehidupan masyarakat sendiri seakan sama sekali tidak bisa dilepaskan dengan kehadiran media sosial dan juga sistem informasi digital. Maka dari itu, Rektor UIN Palu tersebut menambahkan bahwa dengan adanya perkembangan yang terjadi, bukan hanya mendatangkan dampak positif saja, melainkan juga mendatangkan dampak negatif.

Salah satu yang menjadi dampak negatif dari maraknya penggunaan media sosial adalah terkait dengan bagaimana teknologi informasi dan digital bisa digunakan oleh seluruh pihak manapun untuk menyebarkan beragam bentuk informasi, bahkan tidak menutup kemungkinan sampai informasi yang hoaks sekalipun serta ujaran kebencian.

Untuk menyikapi adanya kerawanan tersebut, seluruh masyarakat di Indonesia juga hendaknya mampu untuk terus mengedepankan langkah klarifikasi dan juga bertanya kepada pihak berwenang yang kompeten tatkala mereka mendapatkan suatu informasi melalui media sosial, utamanya adalah ketika konten di dalamnya justru berisikan tentang ujaran kebencian, isu Suku, Agama Ras dan Antar golongan (SARA) hingga provokasi.

Menjadi sangat penting pula adanya partisipasi aktif dari seluruh masyarakat di Tanah Air dan juga berbagai pihak terkait untuk bisa secara bersama-sama membantu dalam menangkal hoaks serta penyebaran ujaran kebencian di media sosial demi terus meningkatkan kualitas Pemilu Indonesia.

Hal tersebut juga masih berkaitan dengan bagaimana kasus belakangan ini yang sedang viral di media sosial dan banyak diperbincangkan oleh publik, tatkala salah seorang pengamat politik Rocky Gerung dinilai melakukan ujaran kebencian dan juga diduga melakukan penghinaan kepada Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo (Jokowi).

Tidak tanggung-tanggung, bahkan terdapat sebuah diksi yang kemudian banyak disorot oleh publik yang dikemukakan filsuf tersebut, yakni dirinya sempat mengucapkan diksi Bajingan-Tolol. Kemudian, Komunikolog Indonesia, Dr Emrus Sihombing menjelaskan bahwa apabila sampai terdapat seseorang yang mengucapkan diksi demikian dan sampai ditunjukkan kepada orang lain, meski dengan status sosial apapun, hal tersebut jelas menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan diksi itu sama sekali tidak mengindahkan adanya aksiologi komunikasi.

Bahkan, akademisi ini menyebutkan bahwa diksi yang dikemukakan oleh Rocky Gerung tersebut bisa dimaknai sebagai sebuah pesan komunikasi yang sangat jauh dari keberadaban komunikasi dan juga sangat jauh dari penggunaan akal sehat. Dirinya kemudian berpesan kepada seluruh masyarakat ketika melakukan komunikasi, khususnya di ruang publik, hendaknya bisa menggunakan pesan komunikasi yang bermanfaat bagi masyarakat lain dan juga tetap mampu saling menjaga akan keberadaban komunikasi.

Senada, salah seorang Pegiat Media Sosial, Denny Siregar juga menanggapi bagaimana diksi yang disampaikan oleh pengamat politik itu. Dirinya menilai bahkan kali ini, pria berusia 64 tahun tersebut sudah menyampaikan sebuah pernyataan yang sangat melewati batasan. Dia pun dengan jelas mengungkapkan bahwa perkataan dari filsuf itu sudah mampu dikategorikan sebagai sebuah penghinaan kepada Presiden Jokowi.

Sementara itu, mantan politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean juga mengaku bahwa dirinya telah melaporkan sosok Rocky Gerung ke kepolisian di Polda Metro Jaya. Baginya, pelaporan itu berkaitan dengan adanya dugaan penyebaran ujaran kebencian, penyebaran berita hoaks dan juga upaya untuk mentransmisikan informasi tidak akurat kepada masyarakat.

Berbagai hal tersebut, mulai dari adanya penyebaran ujaran kebencian hingga berbagai macam narasi yang sangat berpotensi untuk menjadikan publik semakin runyam dan memecah belah bangsa memang hendaknya patut untuk diberantas. Demi bisa mewujudkan dan meningkatkan kualitas demokrasi serta pelaksanaan Pemilu 2024 di Indonesia, semua hal itu harus terus dikawal.*

Penulis adalah Kontributor Gelora Media Institute Jakarta