Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Peran Tokoh Agama Ajak Masyarakat Hindari Politik Identitas pada Pemilu 2024
Oleh : Opini
Kamis | 27-07-2023 | 14:05 WIB
A-black-campign7.jpg Honda-Batam
Ilustrasi kampanye hitam jelang Pilkada 2024. (Foto: Net)

Oleh Maya Naura Lingga

PARA tokoh agama mengajak masyarakat untuk taat aturan saat Pemilu 2024 berlangsung, dan menghindari politik identitas. Pasalnya, politik identitas berbahaya karena memperlebar perbedaan di kalangan rakyat dan berpotensi menimbulkan permusuhan. Seharusnya Pemilu diadakan dengan damai tanpa ada kemungkinan konflik gara-gara kampanye dengan politik identitas.

Pemilu 2024 sudah di depan mata dan sebentar lagi masa kampanye. Masyarakat diberi pesan agar menghindari politik identitas yang merupakan sebuah aksi yang menonjolkan etnis atau identitas tertentu. Seharusnya politik identitas diganti dengan politik gagasan yang tidak memandang latar belakang seseorang.

Masa kampanye adalah masa yang mendebarkan karena masyarakat melihat promosi dari calon presiden (Capres) dan partai-partai di Indonesia. Mereka kemudian menanti siapa partai dan capres pemenang Pemilu, karena tahun 2024 nanti Indonesia punya presiden baru.

Namun sayang ketika masa kampanye yang hadir adalah politik identitas. Di mana ada aksi politik yang menonjolkan latar belakang, suku, dan budaya tertentu. Isu politik identitas dikhawatirkan semakin meningkat di kalangan masyarakat.

Isu politik identitas mengundang perhatian salah satu tokoh Ormas Islam DIY, yakni Ustad Umar Said. Ia berharap, masyarakat bisa menahan diri. Dengan begitu, tidak ada gejolak dalam Pemilu 2024 yang bisa mengantarkan suatu perpecahan.

Ustad Umar Said menyatakan bahwa sebenarnya perpecahan itu tidak bisa ditoleransi untuk setiap tahapan tahunan pada Pemilu. Dia berharap tidak ada kelompok atau golongan yang menggulirkan isu politik identitas. Sebab hal itu dapat menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat.

Ustad Umar juga berharap tidak ada capres atau caleg yang berkampanye dengan menggunakan politik identitas. Semua peserta Pemilu 2024, agar dapat bersikap bijaksana ketika memberikan pernyataan kepada masyarakat. Jangan sampai pernyataan itu menggiring opini publik ke ranah perpecahan, dan para politisi harus bisa mengendalikan diri.

Dalam artian, politik identitas berbahaya karena digunakan sebagai alat kampanye yang salah. Di mana seorang caleg memperlihatkan identitasnya sebagai suku / golongan tertentu yang superior, dengan harapan akan menarik minat dari pemilih dengan suku yang sama. Akan tetapi politik identitas menjadi blunder karena suku / golongan lain merasa tidak terima dan akhirnya mengobarkan permusuhan saat kampanye Pemilu 2024.

Politik identitas sangat berbahaya karena bisa menganggap orang yang tidak satu keyakinan atau etnis adalah musuh. Bahkan bisa dipakai oleh seorang politisi untuk menjatuhkan lawan politiknya. Caranya dengan menggiring opini publik bahwa seorang capres tidak layak menjadi pemimpin karena berasal dari etnis tertentu.

Ketika ada kampanye yang menggunakan politik identitas maka berbahaya karena bisa memunculkan diskriminasi dan rasisme. Terdapat stereotip yang menganggap bahwa capres yang berasal dari etnis tertentu orangnya pelit, emosional, dll. Padahal itu hanya tuduhan yang tidak berdasarkan fakta, dan dilontarkan oleh provokator yang ingin mengacaukan masa Pemilu di Indonesia.

Politik identitas bisa memecah-belah bangsa karena rakyat jadi terpisah menjadi beberapa kubu. Ada yang membela capres tertentu yang dianggap agamis, sementara ada yang mencintai partai tertentu yang nasionalis.

Kecintaan terhadap capres yang berlebihan, ditambah dengan politik identitas yang digunakan oleh timnya, membuat masyarakat bertengkar dan bermusuhan, bahkan setelah Pemilu berakhir. Perbedaan itu biasa dan tidak dipermasalahkan. Namun gara-gara politik identitas, perbedaan menyebabkan pertikaian dan merusak perdamaian di Indonesia.

Masyarakat harus menghindari politik identitas jika ingin Pemilu 2024 berjalan dengan lancar. Jangan termakan oleh propaganda yang disebarkan oleh provokator, yang menyebutkan bahwa capres dengan etnis tertentu tidak punya kemampuan untuk memimpin Indonesia.

Sementara itu, K.H. Mahfudz Ali, menyatakan bahwa masyarakat harus menghindari politik identitas. Penyebabnya karena Penggunaan identitas agama dalam berpolitik praktis telah terbukti menimbulkan polarisasi di tengah-tengah masyarakat yang mengancam persatuan dan kesatuan.

K. H. Mahfudz Ali melanjutkan, masyarakat wajib menghindari politik identitas dan mengedepankan politik kebangsaan, politik moderasi, dan politik yang berorientasi kepada kemaslahatan bangsa. Indonesia memiliki keragaman agama, budaya, suku, bahasa, dan keragaman lainnya yang harus dijaga oleh seluruh elemen bangsa. Keragaman ini jangan sampai dirusak oleh politik identitas.

Sudah saatnya politik gagasan menggantikan politik identitas karena politik identitas sudah basi. Di era reformasi dan teknologi informasi, tidak ada kaitan antara etnis atau latar belakang tetentu dengan kecakapan menjadi seorang pemimpin. Yang dilihat adalah gagasan dan perwujudannya untuk memajukan Indonesia.

Misalnya dulu ketika era Orde Baru ada anggapan seorang pemimpin harus berasal dari capres tertentu atau memiliki pengalaman memimpin yang disiplin. Padahal di era reformasi terbukti ada presiden yang tidak memiliki kriteria tersebut, tetapi berhasil menstabilkan kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter.

Para tokoh agama mengajak masyarakat untuk menghindari politik identitas jelang kampanye Pemilu 2024. Jangan sampai kampanye jadi panas karena ada gesekan setelah pengguliran isu politik identitas yang mengagungkan suku atau golongan tertentu.*

Penulis adalah Kontributor Lembaga Sadawira Utama Jakarta