Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Badai Berlalu
Oleh : Opini
Selasa | 20-06-2023 | 08:36 WIB
A-DAHLAN-ISKAN54.jpg Honda-Batam
Wartawan senior Indonesia Dahlan Iskan. (Foto: Net)

Oleh Dahlan Iskan

SAYA juga suka membaca buku tentang tokoh bisnis: termasuk buku Vier Abdul Jamal ini. Sudah dicetak ulang tiga kali. Kulit muka bukunya: foto Vier sendiri. Ia mengenakan busana ningrat Jawa yang lagi memegang dua tokoh wayang: Semar dan Petruk.

Vier orang NTT. Atau Papua. Atau Pontianak, campuran dari semua itu. Bahwa ia tampil dalam pakaian Jawa itu untuk berterima kasih pada Jawa: usahanya berkembang pesat di pulau Jawa. Yang ia maksud dengan pulau Jawa adalah Jakarta.

Buku ini menyebut Vier sebagai legenda pasar modal Indonesia. Legenda. Ia kaya berkat dari perdagangan saham: ketika uang Rp 1 miliar pun belum pernah punya, tiba-tiba dapat uang ratusan miliar.

Saya bertemu Vier hari Minggu sore lalu. Di kantornya yang elegan. Yang dipaksa buka di hari libur. Di Kebayoran Baru Jakarta. Istrinya, Maya, ikut nimbrung. Sang istri lulusan akuntansi Universitas Airlangga. Mereka punya anak empat orang.

Vier ternyata seperti pengusaha sukses pada umumnya: pernah diempaskan gelombang besar. Sangat besar. Bagi saya gelombang yang menggulung Vier itu terlalu besar. Terlalu menakutkan: sampai jadi buron interpol.

Awalnya Vier akan ditangkap di Jakarta. Beberapa jam sebelumnya ia menerima telepon dari seorang temannya.

"Anda sedang membawa paspor?" tanya teman itu.

"Paspor selalu saya bawa," jawab Vier.

"Sekarang juga Anda ke bandara. Terbang ke negara mana saja yang bisa," ujar sang teman lagi.

Itu tahun 2010. Sore hari.

Vier tahu apa yang akan terjadi. Sudah tiga bulan ia berurusan dengan polisi. Semula ia tenang-tenang saja. Ia tidak merasa bersalah. Sedikit pun.

Tapi ia juga tahu: pelapornya adalah orang kuat. Dari lingkungan tujuh naga.

Itu yang membuat Vier memilih kabur ke luar negeri: Singapura. Setahun di sana. Lalu ke Malaysia. Lima tahun di Malaysia.

Betapa mencekam hidup enam tahun dalam incaran interpol. Untung ada Maya. Cantik. Mampu. Maya-lah yang lantas mengendalikan usaha sang suami. Selama enam tahun Maya mondar-mandir Jakarta, Surabaya, Padang, Singapura, dan Kuala Lumpur.

Akhirnya Vier bisa melewati gelombang besar itu: 2016. Yakni setahun setelah yang melaporkan dirinya itu meninggal dunia: Jhonny Kesuma. Ia meninggal di Tiongkok dalam proses transplantasi hati.

Vier lantas berdamai dengan keluarga Kesuma. Ia kenal baik dengan dua orang anak almarhum. Juga masih terus menjalin hubungan.

"Sebenarnya Pak Kesuma tidak ingin mengadukan saya. Pak Kesuma ditekan partnernya," ujar Vier Minggu sore lalu.

Siapa partnernya itu?

"Yang satu, belakangan masuk penjara dalam perkara investasi bodong Wahana Artha. Satunya lagi harusnya masuk interpol. Ia lagi sembunyi di Los Angeles," ujar Vier.

Sepulang ke Indonesia, Vier kembali aktif di pasar modal. The legend is back. Belakangan ini begitu banyak ia menangani IPO. Tahun kemarin saja ada 30 perusahaan yang IPO lewat kantornya. Itu berarti lebih separo dari yang IPO di pasar modal Jakarta.

Bagaimana Vier bisa melewati gelombang hidup yang begitu besar?

Mungkin karena Vier pernah menjadi nakhoda kapal. Ia sudah biasa berlayar mengarungi laut dan samudera. Ia memang lulusan akademi pelayaran Jakarta.

Saat kuliah, ia mengaku nakal. Tidak naik kelas. Tapi lulus terbaik di akhir pendidikannya.

Lalu Vier bekerja di perusahaan kapal Jepang. Beberapa tahun. Sampai menjadi chief engineer di kapal samudera. Sambil menabung. Gelombang laut adalah makanan hariannya di usia mudanya.

Tokoh inspirasinya pun kapten kapal: Kapten Rivai. Anda sudah tahu siapa tokoh besar itu: nakhoda KM Tampomas II. Kapten Rivai memang hero di tahun 1981. Dalam peristiwa tenggelamnya KM Tampomas II itu sebenarnya Kapten Rivai bisa menyelamatkan diri. Dengan mudah. Kalau mau. Tapi Kapten Rivai pilih menyelamatkan para penumpangnya. Sampai detik terakhir. Sampai ia sendiri memilih tenggelam bersama KM Tampomas II yang terbakar hebat di tengah laut ganas Masalembu.

Vier masih SD saat Tampomas II itu tenggelam. Di Tarakan. Dulu masuk Kaltim, sekarang Kaltara. Kisah kepahlawanan Kapten Rivai membekas ke dalam hatinya: "Saya mau menjadi kapten kapal!"

Vier tidak takut biar pun yang meninggal di peristiwa itu sampai 431 orang. Salah satu yang terbesar dalam sejarah dunia kecelakaan laut. Tapi berkat kepahlawanan Kapten Rivai lebih 1.000 orang bisa diselamatkan.

Dari Tarakan ayahnya dipindah ke Sorong. Ia pegawai negeri. Sang ayah kelahiran pulau kecil Adonara. Anda sudah tahu di mana letak pulau Adonara: di antara Flores dan Lembata. Sedikit lebih dekat ke Dili daripada ke Kupang.

Nama sang ayah pun khas NTT: Namatuan Paulus Boga Riang Hepat. Dipanggil Paulus.

Ketika bertugas di Kalbar, Paulus kawin dengan wanita Pontianak: Rosmani. Rumahnyi dekat pelabuhan. Dia berdarah campuran Melayu-Bugis-Padang.

Maka di Pontianaklah Vier lahir. Dengan nama asli Veri Riang Hepat. Masuk SD pun masih di Pontianak: SD Bruder Dahlia, di Jalan Gajah Mada.

Pontianak, Tarakan, lalu ini: Sorong. Papua Barat. Vier tumbuh remaja di Sorong. Sampai tamat SMA di Papua. Soronglah, katanya, yang membentuk jiwa hidupnya. Logat bicaranya pun masih seperti orang Sorong. Sampai sekarang.

Saya pun bertanya: Anda ini merasa orang NTT, Pontianak, Tarakan, atau Sorong?

"Saya orang Sorong," katanya.

Mimpi Kapten Rivai terus hidup di Sorong. Kebetulan ayahnya tidak punya uang untuk membiayai Vier kuliah. Maka masuklah Vier ke akademi pelayaran. Yang biaya kuliahnya sangat murah: disubsidi kementerian perhubungan.

Setelah punya uang dari pekerjaannya di kapal, Vier ingin banting stir. Ia ingin kaya. Ia selalu berdoa di akhir tahajudnya: agar diberikan rezeki sederas aliran sungai dan seluas samudera. Doa itu dikabulkan. Ia kaya raya. Rupanya ia lupa berdoa yang satu ini: agar jangan sampai jadi buron interpol.

Tidak ada orang yang bisa kaya hanya menjadi pegawai. Kecuali sambil jadi maling. Maka ia ingin jadi pengusaha. Dan jalan untuk cepat kaya haruslah lewat bisnis di bidang keuangan.

Maka ia kuliah finance. Di Amerika Serikat. Lalu bekerja di perusahaan keuangan di sana. Setahun penuh pekerjaan pertamanya hanya mengkliping berbagai laporan keuangan perusahaan. Ia jenuh. Minta pindah bagian.

"Boleh, tapi tidak di Amerika," ujar bosnya.

"Di mana?"

"Di cabang Hong Kong".

"Mau!"

Lima tahun Vier di Hong Kong. Di perusahaan Amerika itu. Ia tergabung dalam tim IPO di Hong Kong. Ia menjadi banyak tahu soal go public. Ia tahu seluk beluk saham dan permainannya. Ia mengasah intuisi di turun naiknya harga saham.

Tahun 2009, saham Bank BNI tinggal di kisaran Rp 300/lembar. Jatuh dari kisaran Rp 6.000. Krisis moneter melanda dunia perbankan saat itu, dimulai dari Amerika.

Saat itulah Vier menyelam ke dalam badai. Ia melihat tidak mungkin saham BNI turun lagi. Ia tahu utang BNI hanya USD 30-an juta. Terlalu mudah menyelesaikannya.

Vier pun meyakinkan lima perusahaan keuangan terbesar di pasar modal. Ia tampilkan hitungannya. Masuk akal. Deal. Salah satu dari lima besar itu percaya padanya. Dimasukilah BNI.

Dalam 10 hari harga saham Bank BNI naik menjadi Rp 1.200/lembar. Ia menghitung betapa besar gain yang didapat: Rp 1,6 triliun. Dibagi-bagi pun ia masih mendapat ratusan miliar rupiah.

"Saya telepon Maya. Saya minta Maya datang ke Hong Kong. Dada saya sesak. Saya begitu bingung menghitung berapa banyak uang yang saya dapat," ujarnya Minggu sore lalu.

Vier jadi orang kaya.

Ia beli kapal-kapal besar. Dunia pelayaran ia masuki kembali. Kali ini sebagai bos. Ia juga beli kapal pesiar, empat buah. Salah satunya untuk menyalurkan satu-satunya hobinya: mancing di tengah laut.

Suatu saat Jhonny Kesuma pinjam uang padanya: Rp 50 miliar. Jaminannya: sejumlah saham di satu perusahaan publik milik Kesuma. Saham itu bisa ia jual kalau sampai waktunya belum ada pembayaran kembali.

Jatuh temponya pun jatuh. Vier menjual saham tersebut.

Kesuma melapor ke polisi: Vier menggelapkan saham.

Vier dipanggil polisi. Ia merasa tidak ada satu pun kesalahan yang ia perbuat. Kalau pun ada persoalan, itu sepenuhnya perdata, bukan pidana.

Vier pun mondar-mandir ke kantor polisi. Sampai akhirnya dapat bocoran ia akan ditangkap itu.

Di Singapura, Vier tinggal di daerah Marina. Ia pun tahu. Benar. Ia dinyatakan jadi DPO. Buron yang kabur ke luar negeri. Lantas masuk daftar yang harus ditangkap interpol.

Ia tidak mungkin pulang. Istri dan anak-anaknyalah yang tiap akhir pekan ke Singapura. Selama satu tahun seperti itu.

Dalam suasana yang begitu sulit, Vier mendapat nasihat yang tidak akan pernah ia lupakan: "di saat menghadapi krisis jangan sampai ada masalah dengan keluarga. Keluarga harus solid".

Maka Vier memutuskan pindah ke Malaysia. Ia ingin kumpul bersama keluarga. Di Malaysia. Dengan Maya dan anak-anaknya.

Bisa saja ia sekeluarga berkumpul di Singapura, tapi Vier memikirkan pendidikan agama anak-anaknya. Ia merasa di Malaysialah anaknya bisa mendapat guru ngaji yang lebih baik.

Meski buron interpol, Vier tidak mendapat masalah di imigrasi Singapura dan Malaysia. Inilah buron interpol yang bebas mondar-mandir Singapura-Malaysia.

Vier punya pengacara di Singapura. Ia bisa meyakinkan Singapura dan Malaysia bahwa Vier tidak layak masuk daftar tangkap interpol. Ia tidak terlibat perkara yang membahayakan siapa pun, apalagi membahayakan negara. Juga bukan perkara korupsi. Bukan perdagangan manusia. Bukan pembunuhan. Bukan semua hal yang layak masuk interpol.

Maka pihak keamanan Singapura dan Malaysia tidak mau menangkapnya.

Pernah Vier akan ditangkap polisi Indonesia. Yakni ketika Vier berada di kapal berbendera Inggris di dermaga Singapura. Polisi Singapura mengancam: akan menangkap si penangkap kalau penangkapan itu dilakukan.

Dulu kita sering marah ke Singapura: mengapa Singapura tidak kunjung mau menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Ternyata ada alasan yang masuk akal: apakah hukum di Indonesia sudah berlaku sebagaimana layaknya.

Vier pun tinggal di Malaysia. Di Kuala Lumpur. Anak-anaknya sekolah di sana. Ngaji di sana. Bahkan ia ketularan pakai nama gaya Malaysia: bin siapa. Mulailah ia pakai nama panggilan Vier bin Abdul Jamal. Vier Abdul Jamal.

Hanya nama di paspornya yang tetap: Veri Riang Hepat.

Ia selalu bisa memperpanjang paspor itu di imigrasi Indonesia di Malaysia. Ia pun punya jaringan bisnis yang luas di sana.

Pengacara Vier terus berjuang ke interpol. Sampai ke pusatnya. Di Lyon, Prancis. Tapi namanya masih terus muncul di daftar buron interpol. Ia hafal benar: tertera di halaman 14. Nomor 3 dari atas. Di situ tertera namanya jelas. Ada fotonya yang ganteng. Yakni foto dengan mata yang khas: agak juling.

Mata seperti itu yang ia anggap berkah: bisa melihat peluang lebih baik. Juga bisa melihat empat layar komputer sekaligus. Yakni komputer yang menampilkan daftar harga saham di bursa-bursa berbagai negara.

Waktu terus bergulir. Kesuma sakit parah. Transplantasi hati. Gagal. Meninggal.

Setelah berdamai dengan anak-anak Kesuma, urusan polisi Vier selesai. Ia di-SP3. Ia bisa pulang. Syaratnya: ia harus menandatangani satu dokumen. Yakni bahwa ia tidak akan menuntut apa pun ke pemerintah Indonesia.

Waktu sudah mepet. Sudah pukul 13.00. Pesawat yang akan membawanya pulang ke Jakarta pukul 15.00. Ia bingung. Antara mau tanda tangan atau tidak. Ia bisa punya peluang minta ganti rugi Rp 1,2 triliun.

Akhirnya ia putuskan tanda tangan. Ia mengatakan lebih cinta tanah air daripada uang itu.

Di tanah air ia masih punya ibu. Sudah tua. Ia terbayang kalau sampai ibunya meninggal jangan sampai ia tidak bisa mengangkat jenazah sang ibu ke liang lahat.

Kini Vier mendalami tarekat Naqsabandiyah Siddiqiyah. Ia tidak mau absen salat malam.

Ia tidak mau lagi meminjamkan uang. Dengan jaminan apa pun.

Vier 54 tahun. Dirayakan kemarin di Intercontinental Jakarta.

Ia kawin lagi, atas permintaan Maya. Lukisan foto mereka bertiga dipasang besar di ruang depan kantornya.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia