Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

PDIP Nilai Penyusunan PP Ekspor Pasir Laut tidak Transparan
Oleh : Irawan
Rabu | 07-06-2023 | 15:32 WIB
ekspor_pasir_ilustrasi_b.jpg Honda-Batam
Ilustrasi (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI Yohanis Fransiskus Lema menilai proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (ekspor pasir laut) tidak transparan dan minim partisipasi publik.

Oleh karena itu, ia meminta penjelasan pemerintah terkait kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut dan ekspor pasir laut.

Ansi Lema, sapaan akrab Yohanis Fransiskus Lema menambahkan, klaim pemerintah bahwa proses penyusunan PP itu telah berlangsung selama dua tahun dinilai minim partisipasi publik.

Sebagai mitra pemerintah, DPR juga tidak pernah diajak diskusi, bahkan kajian naskah akademis yang melandasi peraturan itu juga tidak dibuka ke publik.

Seharusnya produk perundang-undangan disertai dengan konsultasi publik dan sosialisasi, baik melibatkan masyarakat, pegiat lingkungan hidup, akademisi, atau lembaga swadaya masyarakat.

"DPR RI akan memanggil pemerintah untuk meminta penjelasan dan motif dari terbitnya PP tersebut. Kami sama sekali tidak tahu-menahu dan diajak diskusi tentang aturan ini. Proses pembuatannya tertutup dari publik. Kami baru tahu setelah PP ini keluar," kata Ansi Lema, Rabu (7/6/2023).

pemerintah seharusnya transparan terhadap kebijakan yang sangat berdampak pada masyarakat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir.

Penyusunan PP yang terkesan sepihak dikhawatirkan hanya sekadar berorientasi ekonomi dan penerimaan negara, tetapi melupakan pertimbangan ekologi.

DPR RI saat ini tengah menyusun revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Salah satu substansi dari revisi itu terkait upaya menjaga keseimbangan ekosistem dan ekologi, termasuk aktivitas ekonomi di ruang laut untuk tidak mengganggu proses konservasi.

Pihaknya akan melihat sejauh mana substansi PP No 26/2023 sejalan terhadap revisi UU No 5/1990.

Terakhir, ia menyatakan Penyusunan PP memang ranah pemerintah. Namun, Indonesia perlu belajar dari kebijakan masa lalu mengenai ekspor pasir laut yang menuai banyak protes dan aspirasi publik yang menuntut untuk dihentikan.

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia telah mencabut larangan ekspor pasir laut yang sebelumnya berlaku selama dua dekade.

Presiden Joko Widodo Jokowi) kembali membuka izin ekspor pasir laut setelah 20 tahun hal itu dilarang. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Hal ini dinilai dapat memberikan keuntungan bagi Singapura yang memiliki sejumlah proyek perluasan lahan atau reklamasi.

Namun, ini juga menimbulkan kekhawatiran dari pengamat lingkungan mengenai keselamatan habitat laut.

Indonesia pertama kali mencabut izin ekspor pasir laut yakni pada 2003. Hal itu kemudian ditegaskan kembali pada 2007 sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspor pasir laut ilegal.

Sebelum ada larangan, Indonesia adalah pemasok terbesar pasir laut untuk kebutuhan reklamasi di Singapura. Ekspor pasir laut dari Indonesia ke Singapura mencapai rata-rata 53 juta ton per tahun dalam periode 1997 hingga 2002.

Berdasarkan laporan PBB pada 2019, Singapura merupakan importir terbesar pasir laut di dunia. Dalam dua dekade, Singapura telah mengimpor 517 juta ton pasir laut dari tetangga.

Kemudian, Malaysia mengikuti jejak Indonesia melarang ekspor pasir laut pada 2019. Saat itu, Malaysia menjadi pemasok utama pasir laut bagi Singapura.

Larangan ekspor pasir laut dari Indonesia telah menjadi bahan negosiasi antara Indonesia dan Singapura. Pada 2007, Singapura menuding Indonesia menggunakan kebijakan itu untuk menekan pemerintahnya dalam negosiasi perjanjian ekstradisi dan penetapan perbatasan. Perjanjian ekstradisi sudah berhasil ditandatangani tahun lalu.

Editor: Surya