Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mudik
Oleh : Redaksi
Rabu | 15-08-2012 | 16:28 WIB
Mudik.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi: perjalanan kembali

Oleh: Nur Fahmi Magid

Ada waktu, dimana Kota ini ditinggal pergi sebagian besar penduduknya. Ada satu waktu dimana kota ini mendadak sepi. Manusia-manusia berjubel memadati pelabuhan, bandara, atau terminal untuk ke suatu tujuan nun jauh di sana. Dimana masa lalu mereka terpaut di dalamnya. 


"Mereka tak pernah pergi, mereka hanya kembali".

Ya, mereka kembali ke kampung halamannya. Mereka mudik, kembali ke tempat dimana mereka pernah pergi darinya. Atau jika boleh mengatakan, kampung sejatinya adalah tempat dimana mereka pernah dilahirkan.  Dan Lebaran menjadi momentum yang jangan sampai terlewat. Karena masih lebih nikmat mengenang sejenak asal usul sosial budaya kita di kampung bersama keluarga, dibandingkan dengan menikmati kehidupan "keras" di kota tempat kita mengadu peruntungan.

Mudik adalah tradisi yang luar biasa yang dimiliki bangsa ini. Bagaimana manusia akan menemukan kembali dirinya. Seperti kata yang melatarbelakangi tradisi mudik sendiri. 

Mudik atau dalam bahasa Arab "Mudli = orang yang kehilangan" benar-benar menjadi jalan menemukan apa yang telah hilang itu. Sebuah proses menemukan diri dan eksistensi dari orang-orang yang pernah merasa kehilangan sesuatu. 

Maka mereka yang mudik sejatinya sedang berjuang untuk menemukan kembali sesuatu yang pernah mereka tinggalkan. Dalam skala kecil, yang hilang itu adalah kampung halaman, sejarah masa kecil, sanak keluarga, romantisme masa lalu yang sulit dihapus. 

Dalam kenyataan, di depan ada masa depan, di belakang ada masa silam. Masa silam disadari atau tidak, sebenarnya selalu lebih kuat dibandingkan dengan masa depan. Masa silam memberi kenikmatan prima karena cukup dikhayalkan, dan manusia bisa dengan mudah menambah unsur dalam khayalan merdeka mereka.

Suatu ketika saya membuat kesimpulan yang asal bunyi. Bahwa mudik adalah perkejaan Tauhid. Sebagaimana kata "menemukan kembali" yang juga erat nuansa ketuhanannya. Di dalam ada hubungan transenden antara manusia dengan manusia, lebih jauh antara manusia dan sejarahnya, paling jauh antara manusia dan Tuhannya. 

Mudik dalam konteks hubungan manusia dengan manusia adalah tradisi yang kita jalani selama ini. Bagaimana kita kembali ke kampung halaman dengan niatan ingin bertemu dengan sanak keluarga, dengan orang-orang terdekat. Sedangkan mudik manusia pada sejarahnya adalah ketika kita merenung. Sesungguhnya di dalam perenungan itulah kita sedang "mudik" menemukan kembali sejarah kita. Kita mulai menata semua demi mengambil sesuatu yang berharga di dalamnya. 

Setiap individu memiliki sejarah yang panjang, atau bahkan sebuah bangsa juga memiliki perjalanan yang panjang. Suatu ketika budayawan yang saya kagumi, Emha Ainun Najib pernah berkata "Bangsa ini seharusnya segera mudik ke tempat dimana kejayaan pernah dicatat, mudik ke pola pikir seperti kala Indonesia masih bernama Nusantara".

Mudik, menemukan kembali pemimpin yang cocok yang mampu menjadi gembala bagi lainnya. Seperti dalam lakon "Perahu Retak" yang populer di era 80-an, dimana dikisahkan kejayaan Nusantara yang diwakili Majapahit mampu membuat rakyatnya bukan hanya kenyang, tapi juga bermartabat. Gajah Mada tidak hanya membuat bangsanya besar tapi juga disegani. Masa-masa ini tidak pernah kita temukan lagi, karena Indonesia tidak pernah mudik dan menemukan identitas dirinya dalam sejarah.

Sementara itu, untuk penutup tulisan ini, mudik dalam kaitan hubungan manusia dan Tuhannya. Ia tidak lain tidak bukan adalah kematian. 

Karena sesungguhnya setiap yang hidup pasti akan mati. Setidaknya itu yang dipercaya semua ajaran monoteisme. Maka mudik yang paling sempurna adalah ketika manusia kembali menemukan sejarahnya dan kembali kepada Tuhannya. Di sana manusia menemukan kesejatiannya. 

Status sosial apakah anda seorang pejabat publik, seorang kyai, pengusaha ataupun orang biasa, pasti akan menjalani mudik ini. Maka kekuasaan takkan ada artinya ketika kita memikirkan kesempurnaan mudik, sebab sesungguhnya tak ada kekuasaan yang benar-benar menjadi milikmu seperti halnya di awal, kita tak pernah menyetorkan apapun untuk rencana kelahiran kita. Manusia adalah kosong dan kekosongan itulah tujuan akhir mudik kita. Mudik ini takkan bisa direncanakan, seperti halnya orang tua kita yang tak pernah mampu merencanakan bagaimana wajah kita, warna kulit kita, rambut kita, tangan kita saat akan dilahirkan. Apa adanya dan tiba-tiba, seperti itu pula akhirnya.

Penulis adalah pemimpin perusahaan Batamtoday