Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Esensi Ramadan dan Budaya Konsumtif
Oleh : redaksi/opini
Selasa | 14-08-2012 | 17:31 WIB

Oleh: Jessica Olifia


Menurut sejumlah cendekiawan, budaya konsumtif yang mewabah saat ini tidak terlepas dari perkembangan budaya kapitalisme yang menempatkan konsumsi sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat (Republika.co.id). Terlebih lagi pada momen-momen khusus yang terjadi di sepanjang tahun yang mendorong setiap individu untuk bertindak konsumtif.

Hal ini awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan yang dianggap perlu, namun lama kelamaan sifat konsumtif semakin besar sehingga individu cenderung membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Keinginan yang besarlah yang membuat mereka susah untuk menahan membelanjakan uang mereka untuk barang-barang tersebut. Terlebih lagi pada hari raya keagamaan, seperti bulan Ramadhan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru.  

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, setiap tahun Indonesia pasti memperingati berbagai hari perayaan agama. Setiap perayaan mempunyai daya tarik tersendiri dan telah membentuk suatu budaya di Indonesia, khususnya untuk umat muslim. Begitu halnya juga dengan bulan Ramadhan yang merupakan bulan penting bagi umat Islam. 

Di bulan Ramadhan, umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Bulan yang hanya muncul satu kali dalam setahun ini menjadi suatu kesempatan untuk para muslim memperbanyak amal ibadah mereka. Namun, di Indonesia sendiri terjadi sebuah kebudayaan yang terbentuk selama bulan Ramadhan. Semakin tahun, budaya tersebut semakin berakar dan sulit dirubah. Budaya tersebut adalah budaya konsumtif. 

Budaya konsumtif penduduk muslim Indonesia dimulai saat Ramadhan menjelang. Padahal, esensi puasa di bulan Ramadhan itu sendiri adalah untuk melatih manusia agar hidup dengan lebih sederhana, menahan segala hawa nafsu dan dapat merasakan kesulitan dan kekurangan yang dirasakan oleh kaum yang lemah dari segi ekonomi. Budaya ini semakin menjadi-jadi ketika menjelang akhir Ramadhan mendekati Idul Fitri, dimana sebagian besar masyarakat muslim berlomba-lomba membeli barang-barang baru untuk dipakai dihari raya tersebut. 

Esensi mulia Ramadhan itulah yang mulai dilupakan oleh kebanyakan umat muslim Indonesia. Perilaku konsumtif yang telah menjadi budaya sudah menyusahkan masyarakat Indonesia sendiri. Anehnya, budaya ini hanya berkembang pesat di Indonesia, sedangkan di negara mayoritas muslim lainnya tidak begitu terpengaruh. 

Setiap Ramadhan datang, harga barang-barang kebutuhan pokok di Indonesia pasti melonjak tajam. Terkadang lonjakan harga tidak terkontrol dan menjadi terlalu tinggi untuk dijangkau masyarakat menengah kebawah. Bahkan masyarakat menengah keatas pun merasa keberatan dengan tingginya harga tersebut. 

Pemerintah mengungkapkan bahwa hal ini terjadi karena pada bulan Ramadhan tingkat permintaan akan barang meningkat sedangkan jumlah barangnya sedikit, hal inilah yang membuat harga barang tersebut meningkat. Untuk mengatasi hal ini, setiap tahunnya pemerintah selalu mengadakan operasi pasar, namun solusi ini dirasa belum cukup untuk mengatasinya. 

Bahkan, lembaga-lembaga pemerintah juga sudah banyak yang melakukan tindakan pencegahan naiknya harga lebih tinggi lagi. Salah satunya dengan mengadakan pasar murah yang menjual sembako-sembako dengan harga dibawah harga pasar. Hal ini cukup membantu, namun belum cukup untuk mengatasi harga yang kian naik. 

Jika dilihat dari penyebab kenaikan harga sebagaimana diungkapkan oleh pemerintah Indonesia, sebenarnya kenaikan harga bisa diatasi dengan hanya merubah budaya orang Indonesia. Budaya yang ketika datang Ramadhan, semakin konsumtif. Padahal harusnya kebalikannya, seharusnya di bulan Ramadhan bisa lebih hemat dalam berbelanja ataupun mengkonsumsi barang . 

Dengan begitu, permintaan akan barang menjadi normal seperti diluar bulan Ramadhan. Tingkat Permintaan yang normal akan membuat harga barang normal pula. Hanya paradigma masyarakat yang harus dirubah perlahan-lahan. Paradigma yang salah bahwa di bulan Ramadhan harus makan makanan yang mewah dengan kuantitas yang lebih dari bulan-bulan yang lain. Jika ini sudah dapat dirubah, maka fenomena tahunan peningkatan harga barang ini dapat teratasi.   

Namun, ternyata isu penyebab kenaikan harga bukan hanya karena permintaan yang meningkat seperti yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Tetapi menurut Menteri Perekonomian Hatta Rajasa, dalam pernyataannya untuk mengooreksi pernyataan Menteri Perdagangan, fenomena kenaikan harga setiap menjelang bulan Ramadhan disebabkan aksi spekulasi yang dilakukan di sepanjang jalur distribusi barang (Suara Karya online). Penimbunan pasokan barang dilakukan para spekulan-spekulan tersebut untuk memperkaya diri dengan memanfaatkan momen Ramadhan. Hal ini sangat merugikan produsen, petani dan juga konsumen.  

Jika masalahnya adalah spekulan yang menimbun barang dan mempermainkan harga, maka pemerintah melalui menteri terkait harus melakukan tindakan serius untuk mengawasi jalur distribusi barang-barang, terutama bahan-bahan pokok. Jangan sampai dibiarkan berlarut-larut dan menjadi suatu hal yang biasa sehingga tidak dicari jalan keluarnya. Pemerintah harus bertanggungjawab atas kenaikan harga yang ekstrim ini setiap tahunnya. Dengan kerjasama yang solid antara menteri-menteri yang terkait dengan urusan produksi, distribusi serta konsumsi barang tersebut, maka fenomena kenaikan harga ini dapat reda sedikit demi sedikit, atau bahkan mungkin hilang.

Anggota Lembaga Pers Mahasiswa Paradigma Politeknik Negeri Batam dan Anggota Gerakan Kepri Gemar Menulis (GKGM)