Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Pengesahan UU Pendidikan Tinggi
Oleh : redaksi/opini
Sabtu | 11-08-2012 | 13:08 WIB

Oleh: Supriadi Purba


Perguruan tinggi adalah laboratorium peradaban, tempat eksperimentasi dialektis secara ilmiah sekaligus tempat menempa manusia untuk lahirnya insan berkarakter, tumbuh sebagai pilar-pilar peradaban yang integral dengan berbagai peran. Berangkat dari konsepsi itu, maka meniscayakan otonomi kampus, yakni kampus harus bebas dari intervensi sehingga objektivikasi dan kreativitas tumbuh subur sebagai proses pengayaan atau reproduksi khazanah keilmuan.


Pengesahan Undang-undang Pendidikan Tinggi pada sidang Paripurna DPR tanggal 13 Juli 2012 lalu, langsung mengundang reaksi dan tanggapan dari berbagai pihak. Banyaknya pasal-pasal yang krusial dan kontroversial adalah bentuk dari semakin banyaknya tantangan dan hambatan dalam penyelenggaraan pendidikan. Selain itu juga kaitan dengan komersialisasi dan liberalisasi pendidikan sangat terbuka lebar. Dunia pendidikanpun akhirnya terlalu dicampuri oleh negara, sehingga kampus sebagai sebuah lembaga otonom terancam dengan segala bentuk kebijakan dan peraturan Pemerintah.

Salah satu pasal yang paling mengancam pendidikan di Indonesia adalah pasal tentang izin bagi Institusi Pendidikan Asing. Pasal ini dianggap bermasalah karena menjadi turunan paling jelas dari ideologi liberalisme dalam pengaturan sistem pendidikan Indonesia. Akibatnya akan berdiri lembaga-lembaga pendidikan yang kemungkinan tujuannya adalah melakukan globalisasi dengan cara menjadikan pendidikan sebagai bisnis atau ladang mencari uang. 

Perguruan tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah NKRI, dapat membuat ketidakseimbangan pendidikan di Indonesia. Sehingga dengan adanya universitas atau penyelenggara pendidikan asing maka akan terjadi secara tidak langsung penguatan ideologi yang sifatnya menghasut. Sementara kampus negeri atau swasta bisa saja akan terdepak akibat sistem pembelajaran yang dirasa oleh sebagaian masyarakat ketinggalan jaman. 

Seharusnya, negara memberikan penyelenggaraan pendidikan yang baik sesuai dengan pasal 31 ayat 1-5 UUD 1945, dimana penekananya adalah setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan, Pemerintah wajib membiayainya, memprioritaskan anggaran pendidikan, memajukan pendidikan serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta ksejahteraan umat manusia.

Liberalisasi Pendidikan?

Diskursus mengenai liberalisasi pendidikan tinggi sudah muncul semenjak ditandatanganinya General Agreement on Trades in Services oleh negara anggota WTO (World Trade Organization). Dalam persetujuan itu, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi.

Dengan adanya liberalisasi sektor jasa tersebut, termasuk sektor pendidikan tinggi, arus globalisasi menjadi kian tak terperikan untuk ditolak. Indonesia mesti menerima proses internasionalisasi pendidikan tinggi, yang berarti membuka ruang-ruang kerjasama dengan pihak luar dalam konteks pengembangan pendidikan tinggi.

Masuknya proses globalisasi itu sendiri tidak serta merta berdampak positif. Liberalisasi pendidikan tinggi juga akan bermakna transformasi pendidikan sebagai "komoditas". Artinya, pembiayaan pendidikan tinggi juga akan dilepaskan dari sentralitas negara. Mengapa? Karena pendidikan telah menjadi public goods komoditas, proses pendidikan tinggi juga harus masuk pada logika "pasar", sehingga pembiayaan pendidikan tidak lagi bertumpu pada subsidi pemerintah, tetapi pada pembiayaan yang mandiri dari universitas.

Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan adalah lepasnya peran negara dalam membiayai pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan lain untuk memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan. Dengan demikian, kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Selain kuliah kian mahal, kampus juga berpotensi besar melakukan komersialisasi atas fasilitas pendidikan. Ini yang kemudian terjadi dalam konsep PT BHMN maupun BHP yang telah dibatalkan.

Selanjutnya orang miskin atau keluarga tidak sanggup sulit untuk mendapat pendidikan yang layak, apalagi dengan lepas tangan negara melalui penghentian anggaran misalnya. Sudah barang tentu uang kuliah dan uang-uang lain akan menjadi saluran baru untuk kemudian menjadi kebijakan kampus. Tidak hanya sampai disitu saja, praktek korupsi dan nepotisme juga sangat terbuka bagi kampus, akibat komersialisasi yang tinggi maka tujuan perguruan tinggi bisa saja bukan lagi pendidikan, pengabdian dan penelitian.

Konsep Pendidikan Tinggi

Jika kita lacak konsep pendidikan, UU Sisdiknas No 20 Tahun 2004 telah menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujdkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Artinya, dari definisi tersebut, pendidikan bukan semata-mata usaha seorang warga negara untuk memastikan dirinya secara individual, dapat memenuhi kualitas hidup yang lebih baik, melainkan juga ada dimensi etik dan transformasi sosial di dalamnya.
Dimensi etik itu diwujudkan ke dalam pendidikan karakter dan kepribadian, sementara transformasi sosial diwujudkan dalam pengabdian kepada masyarakat. Hal ini telah ditegaskan dalam cita-cita UGM yang termaktub dalam Statuta 1950, yang merupakan dokumen filosofis pertama bagi pendidikan tinggi negeri di Indonesia (Analisis BEM KM UGM tentang Draft RUU Pendidikan Tinggi).

Cita-cita UGM, sebagai contoh, memiliki tiga dimensi besar: pertama, membentuk manusia susila yang cakap dan punya tanggung jawab mengembangkan kesejahteraan masyarakat; kedua, memajukan pengetahuan; dan ketiga, menyelenggarakan usaha memelihara kebudayaan dan kemasyarakatan.

Artinya, nilai-nilai etika dan transformasi sosial tersebut akan berlawanan dengan semangat liberalisasi pendidikan yang dibawa oleh General Agreement on Trades in Services. Dengan demikian, usaha-usaha memasukkan unsur liberalisasi pendidikan tinggi dalam RUU yang akan disahkan harus dilawan agar tidak berdampak sistemik terhadap konsep pendidikan tinggi.

Penulis bekerja di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara