Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kisruh Penyidikan Kasus Simulator SIM

UU KPK Di-Judicial Review ke MK
Oleh : Surya
Senin | 06-08-2012 | 18:25 WIB

JAKARTA, batamtoday - Tiga warga negara Indonesia yang menyatakan dirinya mewakili diri sendiri, masing-masing Habiburokhman SH, M. Maulana Bungaran SH, Munathsir Mustaman SH mendaftarkan permohonan uji materiil pasal 50 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ke Mahkamah Konstitisi (MK) pada Senin, 6 Agustus 2012.


"Dalam mendaftarkan gugatan ini, kami mewakili diri kami sendiri sebagai WNI yang kebetulan berprofesi sebagai Advokat. Pengajuan Uji Materiil ini adalah bentuk dukungan konkrit kami agar kasus simulator SIM hanya disidik oleh KPK," begitu Habiburokhman SH dalam pres rilisnya kepada batamtoday, Senin (6/8/2012).

Sebagai WNI, lanjutnya, kami menyayangkan sikap petinggi Polri yang bersikukuh agar Polri juga menyidik kasus simulator SIM dengan berdalih bahwa kewenangan Polri diatur dalam KUHAP.

"Sikap tersebut secara tegas mengabaikan ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU KPK yanng sebenarnya menghapuskan kewenangan kepolisian dan kejaksaan untuk menyidik perkara Tipikor yang sudah disidik oleh KPK," sebutnya lagi.

Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

Menurutnya, frasa "kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan" tidak secara jelas merumuskan wewenang penyidikan yang mana dan yang diatur di UU yang mana yang semula dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan yang menjadi hilang atau dihapuskan setelah KPK mulai melakukan penyidikan.

"Ketidakjelasan yang timbul karena frasa "kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan" tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana terjadi dalam "penyidikan ganda" kasus dugaan korupsi pengadaan simulator Surat Izin Mengemudi (SIM)," jelasnya.

Penyidikan ganda yang dilakukan oleh Polri dan KPK dalam perkara yang sama dan dengan tersangka yang sama, sambung Habib, jelas bertentangan dengan azas kepastian hukum dan karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena menjadi tidak jelas atas dasar penyidikan yang mana kelak persidangan terhadap perkara tersebut akan dilaksanakan.

Ia juga mengatakan, penyidikan ganda sebagaimana terjadi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM sangat mungkin telah sering dan akan terus terjadi kembali dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi lain.

"Seharusnya, frasa "kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan" dimaknai "wewenang kepolisian atau kejaksaan untuk melakukan penyidikan dalam perkara tersebut sebagaimana  diatur dalam UU selain UU ini dihapuskan, sehingga menjadi jelas bahwa dalam hal KPK sudah melakukan
penyidikan, maka wewenang penyidikan hanya ada pada KPK. Kepolisian atau kejaksaan tidak lagi berwenang menyidik perkara tersebut walaupun kepolisian atau kejaksaan berdasarkan UU lain selain UU Nomor 30 Tahun 2002, seperti KUHAP dan UU Kejaksaan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi," terangnya.

"Permohonan utama kami dalam uji materiil ini adalah agar MK memutuskan: Menyatakan Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, sepanjang frasa "kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan" tidak dimaknai "wewenang kepolisian atau kejaksaan untuk melakukan penyidikan dalam perkara tersebut sebagaimana diatur dalam UU selain UU ini", dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat," tambahnya.