Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mencari Rumah Budaya di Batam
Oleh : redaksi
Kamis | 17-02-2011 | 19:14 WIB
seni.jpg Honda-Batam

Koloborasi - Penampilan Teater Gamelan dari Osaka, Jepang, yang bernama Marga Sari yang memadukan teater jepang dipadu dengan musik gamelan tampil di Jagyakarta beberapa waktu lalu. (Foto: Ist).

Oleh: Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

Rumah Budaya (berikutnya disebut Gedung Kesenian) adalah salah satu bagian dari apa yang disebut sebagai ruang publik (public space). Sebagaimana kita ketahui bahwa keberadaan ruang publik di Kota Batam menjadi tuntutan tersendiri, karena hingga saat ini kita belum melihat adanya ruang publik untuk kepentingan masyarakat luas yang dibangun oleh Pemerintah Kota Batam maupun Badan Otorita Batam (BOB).

Kita tidak melihat adanya taman kota bagi kepentingan masyarakat umum. Kita juga tidak pernah melihat ruang publik yang diperuntukan bagi para pelajar sehingga setiap kali mereka liburan sekolah selalu bertanya-tanya,

“Saya/kita, pergi kemana”? Akibatnya, Pusat-pusat perbelanjaan menjadi tujuan bagi siswa atau pelajar, baik itu untuk rekreasi ataupun sekedar jalan-jalan guna menghabiskan waktu liburannya. Demikian juga halnya dengan sarana rekreasi lainnya, seperti taman hiburan bagi para keluarga yang ingin mengisi waktu senggang ataupun liburannya.

Situasi dan kondisi yang minus ruang publik tersebut menggambarkan seolah-olah kita hidup di ruang mesin. Mungkin Pemkot Batam atau pun BOB merasa bahwa di Batam sudah ada banyak taman, seperti Taman Sari di Tiban, Taman Seruni Indah dan Taman Kurnia Djaya di Batam Center, Taman Nagoya Indah dan, atau Taman Kanak-Kanak serta banyak lagi taman lainnya, sehingga tidak perlu lagi membangun fasilitas ruang publik tersebut?

Namun dalam kesempatan ini, penulis membatasi pokok persoalan gedung kesenian. Adapun masalah ruang publik yang disebut terdahulu akan menjadi pembahasan tersendiri mengingat dimensi ekonomi, dan sosial-budayanya lebih luas.

Lebih kurang 2 tahun yang lalu, Samson Rambah Pasir pernah mengutarakan keinginanya (melalui harian Batam Pos) tentang perlunya Gedung Kesenaian di kota Batam. Kenyataannya hingga saat ini, kita belum mendengar rencana pembangunan gedung kesenian tersebut, baik dari BOB maupun Pemkot Batam. Harus diakui bahwa BOB sebagai pemegang otoritas pembangunan di Pulau Batam telah gagal  memainkan peran kebudayaannya, yaitu sebagai fasilitator pembangunan ruang publik seperti gedung kesenian dan taman hiburan nagi masyarakat luas.

Terlepas konsep awal pembangunan di Pulau Batam yang diperuntukan untuk kepentingan industri, saat ini pulau Batam telah dihuni lebih-kurang 1 juta jiwa. Faktanya, BOB tidak memiliki konsep yang jelas tentang pembangunan yang berhubungan dengan ruang publik tersebut. Sementara Pemkot Batam terlalu disibukkan oleh persoalan bagaimana mendapatkan kewenangan secara luas dalam menjalankan pembangunan di Batam. Apa yang akan dibangun dan bagaimana kwalitas bangunannya sering tidak dipersoalkan,

Disisi lainnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kota Batam yang seharusnya berbicara tentang kepentingan masyarakat luas, lebih disibukkan oleh urusan tunjangan Purna Bakti dan urusan kenaikan gaji yang semuanya untuk kepentingan mereka sendiri. Kita tidak mendengar adanya perdebatan di lembaga legislatif tersebut tentang persoalan ruang publik. Mungkin nasehat seorang teman ada benarnya ketika mengatakan, “Anda akan merasa berdosa jika mengharapkan DPRD kota Batam dapat mengerti tentang persoalan-persoalan ruang publik, apalagi berfikir tentang persoalan gedung kesenian”.

Suatu Perbandingan

Persoalan gedung kesenian tidak hanya terdapat di Kota Batam tetapi terjadi di seluruh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Gedung kesenian yang representatif secara akustik dan artistik hanya dimiliki beberapa kota, seperti Gedung Kesenian Jakarta (GKJ); di Yogyakarta terdapat Auditorium Seni Pertunjukan yang terdapat di Institut Seni Inidonesia (ISI); di Medan ada Auditorium Pertunjukan Musik yang dikelola Sekolah Menengah Musik (SMM); di Sumatera Barat ada Gedung Pertunjukan yang terdapat di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang.

Minimnya jumlah gedung kesenian di Indonesia disebabkan oleh tidak adanya agenda kebudayaan di dalam hal pengembangan infrastruktur kesenian di Indonesia. Secara umum, pemerintah daerah atau pemegang otoritas pemerintahan di suatu daerah belum menjadikan pembangunan seni dan budaya serta infrastuktur pendukung seni-budayanya sebagai agenda pembagunannya.

Kondisi yang sangat memprihatinkan ini memaksa kita untuk merubah paradigma pembangunan secara mendasar.

Perubahan paradigma pembangunan itu sendiri diharapkan mampu menempatkan manusia sebagai subjek kebudayaannya. Sesuai dengan konsep pemberdayaan yang salah satu tujuannya adalah agar masyarakat mampu mentranformasikan nilai-nilai kebudayaannya di dalam proses pembangunan. Oleh karena pemberdayaan menyangkut perubahan bukan hanya kemampuan, melainkan juga sikap, maka pemberdayaan adalah sebuah konsep kebudayaan. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat menjadi suatu proses emansipatif di dalam kerangka transformasi budaya.

Berangkat dari kondisi objektif Kota Batam sebagai daerah industri, sudah sepantasnya kota ini memiliki gedung kesenian. Umumnya dunia industri berperan penting di dalam hal kemajuan seni dan budaya, baik dalam bentuk dukungan dana bagi penyelenggaraan pertunjukan, maupun didalam hal pembangunan infrastruktur keseniannya. Setidaknya hal ini terjadi di negara-negara industri, dimana para industriawannya yang berperan besar sebagai penyumbang bagi terciptanya keseimbangan antara dunia industri dan kebudayaan (baca; kesenian).

Sebagai contoh, Industriawan Inggris menyumbang tak kurang dari $46,8 juta per tahun untuk keagungan seni bangsanya. Untuk hal kesenian, pemerintah Australia mengeluarkan $167,7 juta, plus $268,3 juta dari pemerintah negara bagian, pada tahun fiscal 1974. Hampir 90% dari biaya pembangunan kesenian ditanggung oleh pemerintah di Negara Jerman. Sekitar 70% sampai 85% ongkos produksi opera-opera bergengsi di biayai oleh pemerintah di Negara Perancis, Skandinavia, dan Austria (Suka Hardjana, “Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia”, 1995).

Pentingkah Gedung Kesenian?

Dua orang teman, yang satu tinggal di Jepang dan satunya lagi tinggal di Austria, bertanya apakah mereka bisa mengadakan resital (konser musik) di Batam? Apakah di Batam ada gedung keseniaanya? Teman ini adalah seorang Cellist dan seorang Violinist yang telah melakukan pergelaran musik (resital) di banyak negara, baik itu sebagai solis maupun di dalam orkestra.

Kemudian penulis menjawab pertanyaan teman tersebut, “Tidak ada gedung kesenian di Batam!”.
Kemudian teman saya bertanya lagi,”Lho, bukankah Batam kota Industri? Penulis menjawab, “Benar bahwa Batam sebagai kota Industri, tetapi berbeda dengan apa yang kalian fahami tentang dunia industri di negara-negara maju dimana kalian pernah tinggal.
Disana, Industri berperan besar dalam memajukan seni dan budaya, karena industri dipandang sebagai bagian dari kebudayaan bukan persoalan alat produksi semata.

Sementara industri di Batam tidak mengenal apa itu yang disebut dengan seni dan budaya. Industri menjadi sebuah “wilayah kerja” yang terpisah dari realitas sosial-budayanya. Keberadaan industri beserta seluruh faktor pendukungnya masih dipandang sebagai alat produksi semata.” Di banyak negara maju, pemerintahnya memandang kebudayaan sebagai sarana pembebasan yang memerdekakan manusia dari belenggu-belenggu kulturalnya.

Sementara pemerintah kita justru menjadikan kebudayaan sebagai “terdakwa” yang justru di belenggu dan diasingkan dari realitas kehidupan masyarakatnya. Lagipula Pemerintah kita tidak mau ambil pusing apakah industri berperan terhadap kemajuan kebudayaan atau sebaliknya; karena bagi pemerintah, kebudayaan adalah masalah nasib atau takdir sehingga tidak perlu disikapi secara rasional. Itulah perbedaannya.

Pertanyaan teman tesebut mengingatkan penulis bahwa beberapa tahun yang lalu Tarmizi (Rumah Hitam) pernah mendatangkan Orkes Symphony dari Padang Panjang, Sumatera Barat ke Batam. Orkestra tersebut tampil di Gedung Beringan Sekupang.

Tarmizi memang ”gila” waktu itu karena berani mendatangkan orkes besar tersebut ke Batam walaupun disini tak ada gedung kesenian yang representatif, baik secara akustik ruang maupun dari segi artistik gedungnya. Terlepas dari persoalan kwalitas pertunjukan, penulis melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Tarmizi tersebut sangat penting artinya bagi kita terutama dalam hal mewarnai bentuk-bentuk kesenian yang ada di Batam. Upaya Tarmizi menampilkan pertunjukan Orkestra membuka pemahaman kita tentang arti pentingnya sebuah gedung kesenian bagi masyarakat. Sayangnya, Pemkot Batam maupun BOB tidak mampu merespon sinyal-sinyal kebudayaan tersebut.

Dilihat dari segi fungsinya, gedung kesenian adalah ruang bagi proses kreatif seniman dan juga sebagai sarana apresiasi seni bagi masyarakat luas pada umumnya. Di samping itu, ia dapat pula menjadi jembatan agar tercipta interaksi sosial-budaya bagi masyarakat Batam yang pluralistik ini.

Kita tahu bahwa saat ini ada banyak Paguyuban yang bersifat kedaerahan yang muncul di kota Batam, tetapi kita tidak pernah tahu apa peran kebudayaannya. Di dalam konteks seni dan budaya, setiap paguyuban seharusnya mampu memainkan peran kebudayaannya di dalam mewarnai kehidupan masyarakat luas, yaitu melalui aktivitas seni dan budayanya.

Persoalannya sekarang adalah, bagaimana masing-masing paguyuban mampu mengaktualisasikan potensi seni dan budayanya sehingga bermamfaat bagi masyarakat. Disinilah kita melihat bahwa keberadan gedung kesenian, disamping memiliki fungsi sosial-budaya juga mengandung makna simbolik yang menggambarkan adanya sikap hormat terhadap kebudayaan. Upaya bagi terciptanya komunikasi kultural adalah tanggungjawab kita bersama.

Pemerintah bertanggungjawab memfasilitasi terciptanya sarana publik tersebut. Dengan demikian seni akan menjadi sebuah keniscayaan di dalam mengatasi kebuntuan-kebuntuan komunikasi yang muncul dari kesalahpahaman budaya. Kita tidak menginginkan, sebagaimana Albert Camus katakan, bahwa “seni menjadi sebuah kemewahan yang terselubung.”

 

*) Pengamat Sosial dan Budaya, tinggal di Batam