Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Penguatan Pendidikan Agama Cegah Radikalisme
Oleh : Opini
Selasa | 02-08-2022 | 09:20 WIB
A-TERORISME.jpg Honda-Batam
Ilustrasi terorisme dan radikalisme. (Foto: Ist)

Oleh Alif Fikri

RADIKALISME berbasis agama masih menjadi ancaman nyata bagi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan pendidikan keagamaan sebagai salah satu solusi untuk menangkal paham terlarang tersebut.

 

Radikalisme adalah paham berbahaya di Indonesia. Untuk mencegah penyebaran radikalisme maka caranya adalah dengan pendidikan agama. Pendidikan yang diajarkan tidak hanya mengenai hubungan dengan Tuhan, tetapi juga sesama manusia, termasuk mereka yang beda agama. Pendidikan agama juga wajib menanamkan toleransi dan saling menghormati.

Indonesia merupakan negara demokrasi dengan berlandaskan Pancasila. Demokrasi, Pancasila, dan UUD 1945 sudah disepakati sejak era kemerdekaan, dan tidak bisa diubah dengan ajaran apapun.

Namun kelompok radikal ingin mengubah wajah Indonesia dan membentuk negara khilafah serta mengajak masyarakat untuk menjadi radikal. Padahal sudah jelas, bahwasannya radikalisme dan khilafah tidak cocok jika diterapkan di Indonesia yang pluralis.

Kelompok radikal diam-diam dan merekrut anggotanya, agar mereka mendapatkan pendukung dalam mendirikan negara khilafah. Langkah kelompok radikal ini harus dicegah agar Indonesia tetap damai.

Penyebabnya karena mereka sering memakai jalan kekerasan seperti pengeboman, untuk mencapai tujuannya. Pencegahan radikalisme menjadi program yang wajib, agar terorisme dan radikalisme tidak merusak Indonesia.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan bahwa radikalisme ada di bidang pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan. Orang tua harus memperkuat pendidikan agama pada anak, baru pendidikan umum. Dalam artian, untuk mencegah radikalisme maka pendidikan agama harus diperkuat, dan tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah.

Pendidikan agama di rumah amat penting karena agama jadi pedoman hidup anak sampai ia dewasa. Pendidikan agama yang dimulai dari rumah wajib dilakukan karena menjadi tanggung jawab orang tua. Agama adalah pegangan manusia, sehingga orang tua mengajarkan anak untuk taat beribadah dan menjalankan perintah agama dengan hati yang ikhlas.

Orang tua mengajarkan agama ke anaknya dengan memberi tahu tata cara beribadah, hukum-hukum agama, membacakan kitab suci, dll. Selain mengajarkan ritual keagamaan, anak juga diajari mengenai menjaga hubungan baik, bukan hanya dengan Tuhan tetapi dengan sesama manusia.

Anak diajari untuk taat beribadah juga bergaul dengan manusia. Keduanya harus seimbang, dan tidak boleh hanya taat berdoa tetapi sombong dengan tetangga. Dalam menjalin hubungan antar sesama manusia juga tidak hanya dengan teman yang seagama tetapi juga beda agama.

Jika anak diajari sejak dini cara untuk bertoleransi dan bergaul dengan semua orang meski agamanya berbeda, maka ia akan paham cara untuk menjadi fleksibel di masyarakat.

Indonesia adalah negara pluralis dan ada 6 agama yang diakui oleh negara. Jika ia paham toleransi maka akan menolak radikalisme karena tidak mau jadi ekstrimis seperti mereka.

Seseorang yang diberi bekal ilmu agama oleh orang tuanya sejak dini, akan jadi toleran karena memahami makna toleransi. Ia tidak akan terkena bujuk-rayu kelompok radikal dan teroris.

Namun ia menggunakan logikanya dan tidak mau diajak jadi kader, yang akan menyerbu dan mengebom dengan semena-mena. Dalam ajaran agama apapun hal ini tidak dibenarkan, sehingga ia tidak mau jadi radikal.

Penguatan pendidikan agama juga dilakukan di sekolah karena anak belajar di sana minimal 6 jam dalam sehari. Dalam mengajarkan agama maka guru tak hanya memberi tahu apa saja rumah ibadah, ritual agama, dan lain sebagainya.

Namun ia juga menceritakan kisah-kisah nabi yang sejak dahulu sudah toleran. Dalam berdakwah, nabi tidak melakukannya dengan pemaksaan dan kekerasan, tetapi dengan lemah-lembut.

Sang guru bisa menceritakan kisah ketika nabi memberi makan pengemis. Padahal keyakinannya berbeda dengan nabi. Pengemis yang buta selalu marah dan memaki-maki nabi, serta tidak tahu bahwa yang menyuapinya adalah nabi. Baru kemudian ketika nabi meninggal, ia tahu dan sangat menyesal. Inilah toleransi yang diajarkan oleh nabi dan berdakwah dengan kemanusiaan.

Guru agama tidak hanya mengajarkan tentang berderma dan amalan-amalan berpahala lain. Namun ia menekankan bahwa menjalin hubungan dengan sesama manusia juga berpahala.

Walau keyakinannya berbeda, bukan berarti dimusuhi. Ia juga memberi tahu bahaya radikalisme, dan murid-murid paham mengapa tidak boleh ada terorisme dan aksi pengeboman, karena melanggar hak asasi manusia dan hukum agama.

Jika semua guru mengajarkan tentang bahaya radikalisme sejak dini maka para murid akan paham, mengapa radikalisme dan terorisme dilarang di Indonesia.

Mereka mengerti bahwa terorisme akan menghancurkan perdamaian di negeri ini, dan paham radikal tidak cocok bagi negara demokrasi dan pluralis seperti Indonesia. Negara khilafah tidak akan pernah berdiri karena tidak ada pendukungnya.

Pendidikan agama yang dilakukan sejak dini, baik dari rumah (keluarga) maupun dari sekolah, akan mencegah penyebaran radikalisme di Indonesia. Para murid tidak hanya belajar tentang ritual agama dan hal-hal yang mendatangkan pahala.

Namun mereka juga paham cara bertoleransi, mengerti bahaya radikalisme, dan akhirnya menolak radikalisme dan terorisme di Indonesia.*

Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa institute Jakarta