Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menelaah Kelemahan Survei Elektabilitas Partai dan Peranan Kader
Oleh : Opini
Rabu | 06-07-2022 | 09:20 WIB
A-WIRYA-SILALAHI13.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Anggota DPRD Provinsi Kepri, Ir Wirya Putra Silalahi. (Foto: Ist)

Oleh Ir Wirya Putra Silalahi

SEBULAN sebelum pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) 17 April 2019, Penelitian dan Pengembangan (Litbang) HU Kompas menurunkan hasil survei elektabilitas partai, di mana pengumpulan data adalah 22 Februari-5 Maret 2019. Hasilnya, ternyata lumayan berbeda jauh dengan perolehan suara resmi yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sebelum kita menyoroti di mana kelemahan survei elektabilitas partai, mari kita lihat dulu angka resmi dari KPU dan angka Kompas --dengan mengambil sembilan partai yang lolos ke Senayan. Urutan sesuai jumlah suara perhitungan resmi KPU:

KPU: PDIP = 19,33%; Kompas: PDIP = 26,9%

KPU: Gerindra= 12,57%; Kompas: 17,0%
KPU: Golkar= 12,31%; Kompas: 9,4%

KPU: PKB= 9,69%; Kompas: 6,8%
KPU: Nasdem= 9,05%; Kompas: 2,6%
KPU: PKS= 8,21%; Kompas: 4,5%

KPU: Demokrat= 7,77%; Kompas: 4,6%
KPU: PAN= 6,84%; Kompas: 2,9%
KPU: PPP= 4,52%; Kompas: 2,7%

Menurut hasil survei, perolehan suara Nasdem hanya 2,6% (alias tidak lolos ke Senayan), namun nyatanya Nasdem bisa memperoleh suara 9,05 persen. Perbedaan survei dengan perolehan suara ril, 350 persen.

Angka yang tidak kecil. PDIP menurut survei akan memperoleh suara 26,9 persen, tetapi ternyata hasil akhir hanya 19,33 persen. Perbedaannya hampir 50 persen. Perhatikan partai lain, semuanya juga meleset jauh.

Dari fakta perolehan suara partai di atas, mengapa perbedaan demikian jauh?

Dengan mudah kita bisa menjawab, karena survei yang dilakukan Kompas (juga lembaga-lembaga survei lain yang mengadakan penelitian sejenis), hanyalah mengukur elektabilitas partai.

Sama sekali tidak memperhitungkan calon legislatif (caleg) yang diusung partai. Sedangkan perolehan suara, sangat dipengaruhi caleg yang dimasukkan di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.

Masyarakat pemilih bisa dibagi dalam dua bagian besar. Pertama, pemilih yang sudah membuat keputusan akan mencoblos partai tertentu. Tak sedikit masyarakat yang hanya memilih partai, tidak memilih caleg. Daerah yang secara tradisional merupakan basis partai tertentu seperti PDIP di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tak sedikit yang hanya memilih partai.

Kedua, memilih berdasarkan likability (kesukaan) terhadap caleg tertentu, tidak melihat partai yang mengusungnya. Tak peduli dari partai mana, pokoknya mencoblos caleg tertentu --yang dengan sendirinya akan menjadi suara bagi partai.

Kita tahu, banyak caleg yang pindah partai, namun tetap maju dari dapil yang sama. Hasilnya, kembali menjadi anggota dewan. Maka dia membawa suara bagi partai --sesuatu yang tidak terekam dalam elektabilitas partai. Jadi pengaruh caleg sangat besar. Caleg menjadi vote getter (penjaring suara).

Partai menjadi laksana klub sepak bola, yang tergantung materi pemain. Oleh karena itulah, klub tidak segan-segan menggelontorkan dana besar untuk mendapatkan pemain bagus. Ronaldo, Lionel Messi misalnya, adalah dua pemain yang sangat berpengaruh. Banyak klub yang mau membeli mereka --asalkan mampu membayar biaya transfer.

Dengan demikian, apakah survei elektabilitas partai masih bisa dipercaya? Jawabannya, tidak sepenuhnya. Hasil survei semacam itu hanya elektabilitas (keterpilihan) partai, belum termasuk pengaruh caleg. Bisa digunakan sebagai clue (petunjuk), sedangkan hasil akhir suara resmi, masih ditentukan oleh caleg yang dimajukan.

Maka untuk memperoleh hasil yang baik, para kader partai sangat berperan. Likability (kesukaan) dan electability (keterpilihan/elektabilitas) kader/caleg, dengan sendirinya akan menjadi elektabilitas bagai partai.*

Penulis adalah anggota DPRD Provinsi Kepri, Wakil Ketua Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) Kepri