Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Meneropong Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP
Oleh : Opini
Jumat | 24-06-2022 | 16:36 WIB
A-JOKOWI-G-20_jpg249.jpg Honda-Batam
Presiden Joko Widodo. (Foto: Ist)

Oleh Surya Darmawan

INDONESIA tampaknya akan semakin tegas dalam menindak orang-orang yang melakukan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu terlihat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang akan disahkan oleh Pemerintah dan DPR dalam waktu dekat.

 

Berdasarkan informasi yang penulis dapat, pemerintah dan DPR berencana mengesahkan Rancangan KUHP (RKUHP) ini pada bulan Juli 2022. Salah satu pasal yang terdapat di dalam RKUHP ini pun disorot karena berisi mengenai ancaman bagi masyarakat yang menghina Pemerintah.

Aturan tersebut tertuang di dalam Pasal 218 ayat 1 yang berbunyi. “Setiap Orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Dari sudut pandang penulis, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden tersebut sudah tepat untuk disahkan. Faktanya, Presiden dan Wakil Presiden sekarang sering dijadikan bahan ejekan, hinaan, dan candaan dengan dalih kebebasan.

Bagaimanapun beliau merupakan pemimpin bangsa dan negara. Oleh karena itu, masih banyak cara lain untuk mengkritik pimpinan negara tanpa perlu menghina Presiden dan Wakil Presiden.

Menurut penulis, RKUHP yang tetap menempatkan pasal penghinaan ini sangat tepat demi menjaga Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol negara. Namun, dengan tetap menjamin warga atau individu melaksanakan kebebasan berekspresi dalam batasan yang wajar tanpa melakukan penghinaan.

Senada dengan penulis, Guru Besar Hukum Pidana, Indriyanto Seno Adji menilai, hukum pidana ini sangat dinamis, karena selain memberikan individual protection, juga memberikan perlindungan publik dan simbol negara. Menurut dia, Presiden dan Wakil Presiden merupakan simbol kenegaraan yang patut dihormati, dijaga harkat dan martabatnya.

Tentunya dengan disahkannya pasal penghinaan tersebut, akan mengurangi tindakan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Karena, orang-orang yang melakukan penghinaan melalui media sosial atau sarana elektronik lainnya akan dikenakan hukuman tindak pidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak hingga Rp 200 juta.

Oleh karena itu, penulis mengajak kepada seluruh masyarakat untuk mengkritik dengan cerdas tanpa perlu menghina harkat dan martabat simbol negara kita. Sehingga masyarakat tetap dapat menyampaikan kritikannya, namun tidak serta merta menghina Presiden dan Wakil Presiden kita.*

Penulis adalah kontributor Bunda Mulia Institute Jakarta