Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Melongok Moncongloe, Kamp Auschwitz di Indonesia (Bag II)
Oleh : Redaksi/Republika
Jum'at | 27-07-2012 | 10:35 WIB

MAKASSAR, batamtoday - Moncongloe terletak di daerah perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 20 Km dari ibukota Kabupaten Gowa dan 15 Km dari ibukota Kabupaten Maros, ketinggian sekitar 250 meter dari permukaan laut dengan struktur tanah yang tidak rata. Daerah ini dikenal pula dengan nama tanah merah. 


Di sekitaran Moncongloe terdapat Kompleks Perumahan Kodam XIV Hasanuddin, yang meliputi; Home Base Puskopad, Home Base CPM, Home Base Kesdam, Home Base Kiwal. Moncongloe sejak tahun 1968 dijadikan sebagai tempat pengasingan tahanan politik (tapol) yang dianggap sebagai PKI oleh pemerintah saat itu, seperti Andy. Moncongloe memiliki potensi hutan yang cukup baik. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu alasan alternatif pembukaan Moncongloe sebagai tempat pengasingan para tahanan politik PKI.

Ada tiga potensi awal dan cukup menonjol di daerah Moncongloe; pertama, hutan Moncongloe masih tergolong hutan negara. Pembukaan lahan ini akan mempermudah proses pemilikan lahan dalam jumlah yang besar bagi mereka yang dapat mengontrol pekerjaan Tapol.

Kedua, hutan bambu yang sangat luas adalah sumber bahan baku pabrik kertas Kabupaten Gowa. Adanya hutan bambu juga menjadi alasan ekonomis pembukaan wilayah ini. Para tapol dipaksa bekerja menebang pohon bambu sebanyak-banyaknya untuk dijual kepada pabrik kertas Gowa.

Ketiga, di daerah ini terdapat pohon-pohon besar utamanya bagian pegunungan. Pohon-pohon tersebut memiliki nilai ekonomis. Para tapol dibagi dalam berbagai regu kerja; seperti regu penebang pohon, regu yang khusus membuat papan dan tiang rumah. Regu kerja ini elastis, dapat bertambah ataupun dikurangi tergantung kebutuhan petugas di daerah pengasingan.

Perbudakan di Moncongloe bermula dari kekalahan PKI dalam perpolitikan pascakemerdekaan Indonesia. Partai ini mulai merebut simpati sebagian masyarakat ketika tokoh-tokoh PKI menjual slogan Islam revolusioner dengan argumentasi al-Quran dan hadis. Tokoh-tokoh PKI berusaha meyakinkan masyarakat bahwa komunis sebagai ajaran sangat relevan dengan Islam. 

PKI mulai membuka cabangnya di Makassar pada 1922. Partai ini melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai corong sebuah surat kabar, Pemberita Makassar. Dengan surat kabar ini, PKI melawan penindasan atas kolonial Belanda. Pendidikan politik kepada rakyat Sulawesi Selatan terus terjadi. Targetnya adalah melawan dan mengusir Penjajah Belanda.

Upaya itu tidak sepenuhnya berhasil karena dominasi gerakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia. Dua gerakan ini menilai PKI anti agama. Masyarakat cukup kuat menolak PKI, terutama di daerah pedalaman.

Pada Pemilu 1955 PKI secara nasional sukses dalam perolehan pemilihan DPR. Namun kesuksesan itu tidak terjadi di Sulawesi Selatan. PKI hanya meraup suara 0,25%. Bahkan ketika PKI sukses merebut simpati politik Presiden Soekarno, ternyata tidak berpengaruh dalam merebut simpati elit-elit lokal di daerah ini. Karena lagi-lagi, PKI harus berhadapan dengan agitasi DI/TII di daerah pedalaman, bersaing dengan Masyumi serta berhadapan dengan gerakan Permesta.

Setelah gerakan DI/TII dan Permesta berhasil ditumpas TNI, ternyata PKI masih cukup sulit untuk menarik simpati masyarakat Sulawesi Selatan karena mendapat sandungan dari perwira militer yang memiliki fungsi sosial politik dominan di daerah ini.

Ketika terjadi gerakan 30 September di Jakarta, kondisi politik Sulawesi Selatan masih relatif terkendali. Tetapi minggu pertama oktober 1965, gerakan anti komunis di Sulawesi Selatan berkembang sangat cepat. Gerakan anti PKI juga melebar ke masalah etnis. Penjarahan milik warga etnis Tionghoa dan rumah-rumah orang Jawa dilakukan dengan sangat brutal oleh para demonstran. Alat-alat musik tradisional Jawa seperti gamelan tak luput dari amukan massa.

Mereka yang dianggap PKI ditangkap. Hal itu terus terjadi sampai awal tahun 1966 mulai dari Makassar sampai ke daerah pedalaman, seperti Bone, Pare-pare, Jeneponto, Bantaeng, dll. Penjara merupakan tempat persinggahan terakhir dari aktivis dan simpatisan PKI. Mereka dimasukkan kedalam penjara-penjara militer di kodim-kodim di daerahnya masing-masing. Sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966, jumlah tapol mencapai 9.765 orang.

Di penjara, para tapol di tindak secara keras, di siksa hingga terdengar jeritan-jeritan yang suaranya didengar seluruh penghuni penjara hampir tiap malam. Setelah itu mereka dijebloskan ke kamp pengasingan Moncongloe.

Mereka yang terlibat dalam penangkapan tersebut adalah petugas militer, baik dengan sukarela atau paksaan. Semua tahanan politik PKI tersebut ditahan tanpa waktu yang jelas. Penangkapan itu bahkan dianggap sah menurut hukum meski tanpa surat penangkapan, surat penahanan, apalagi putusan pengadilan.

Tak sedikit pula penahanan terjadi karena semata-mata salah tangkap. Seperti kasus penangkapan kelompok Tumbung Tellue-Timbung Limae, sebuah aliran tarekat di Bulukumba. Kelompok tarekat ini ditangkap karena warga menduga mereka PKI hanya karena sering melakukan pertemuan intensif.