Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Langkah Tepat Pemerintah Mengawasi Ormas Pendukung Khilafah
Oleh : Opini
Selasa | 21-06-2022 | 09:44 WIB
A-radikalisme81_(1)_jpg218.jpg Honda-Batam
Ilustrasi radikalisme dan terorisme. (Foto: Ist)

Oleh Afi Futaqi

ORMAS (Organisasi Masyarat) Khilafatul Muslimin wajib mendapat pengawasan ketat karena bisa menyebarkan radikalisme dan terorisme. Pengawasan Ormas terlarang tersebut perlu didukung masyarakat luas agar paham khilafah maupun radikal lainnya dapat dibendung.

 

Minggu, 29 Mei 2022, masyarakat tersentak karena ada konvoi kendaraan yang mengkampanyekan khilafah di Indonesia. Kemudian terkuak fakta bahwa pelakunya adalah anggota Ormas Khilafatul Muslimin. Pengakuan itu sangat mengejutkan karena masih ada Ormas yang pro khilafah, padahal sudah jelas terlarang di Indonesia.

Pengamat terorisme Zakki Mubarak mengatakan, kelompok Khilafatul Muslimin bisa membahayakan masyarakat jika bertransformasi menjadi gerakan jihadis pro kekerasan. Gerakan jihadis seperti JI (Jemaah Islamiyah) dan ISIS (Islamic State of Iran and Syiria). Khilafatul Muslimin harus diawasi dengan ketat karena aktif melakukan rekrutmen, meski anggotanya tidak banyak.

Zakki menambahkan, cabang dari Khilafatul Muslimin memang tidak banyak, tetapi wajib diwaspadai. Penyebabnya karena mereka pro ISIS dan Al-Qaeda dan ingin melakukan teror dan pengeboman.

ndonesia dianggap sebagai negeri kafir, sementara pemimpinnya adalah thagut. Dalam artian, Khilafatul Muslimin amat berbahaya karena bisa melakukan kekerasan dan merugikan masyarakat Indonesia, sehingga wajib diawasi.

Pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja, memang telah ditangkap tanggal 7 Juni 2022 lalu, di Bandar Lampung. Begitu juga dengan 22 pimpinan dan anggota Ormas tersebut, telah dicokok dan dijadikan tersangka.

Mereka terjerat Pasal 14 dan 15 UU nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Perppu (Peraturan Pengganti Perundang-undangan) Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas. Ancaman hukumannya adalah 15 tahun penjara.

Ancaman hukuman seberat ini memang patut diberikan karena Baraja dan pemimpin wilayah Khilafatul Muslimin lainnya melanggar hukum. Menurut Perppu Nomor 2 tahun 2017, Ormas dilarang keras untuk melakukan tindakan permusuhan terhadap SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Ormas juga tidak boleh melakukan penistaan agama yang ada di Indonesia.

Khilafatul Muslimin terbukti melakukan permusuhan terhadap SARA karena mereka ngotot mendirikan negara khilafah, padahal ada 6 keyakinan yang diakui oleh pemerintah. Pemerintahan khilafah tidak mungkin didirikan karena hanya ada 1 keyakinan yang diakui dan menjadi hukum negara. Selain itu, khilafah terlarang karena melanggar Pancasila dan UUD 1945.

Walau Baraja dan pemimpin Khilafatul Muslimin lain telah ditangkap, tetapi Ormas ini harus tetap diawasi. Jangan sampai kader-kadernya masih beroperasi, mengingat ada 23 kantor cabangnya di seluruh Indonesia. Kantor-kantor cabang tersebut telah dipantau oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris).
Pemantauan kantor-kantor cabang wajib dilakukan secara ketat.

Jangan sampai diam-diam anggota Khilafatul Muslimin melakukan rapat lalu berencana melakukan aksi sebagai bentuk balas dendam atas penangkapan pemimpin mereka. Bisa saja balas dendamnya melalui kekerasan, penyerangan, pengeboman, dan aksi terorisme lainnya. Sebelum semua hal buruk ini terjadi, lebih baik dipantau oleh aparat. Pengawasan ketat wajib dilakukan untuk pencegahan terorisme di Indonesia.

Selain pemantauan di sekitar kantor cabang Khilafatul Muslimin, pengawasan juga dilakukan di dunia maya. Bisa saja koordinasi dilakukan via aplikasi chatting dan penyebaran radikalisme diadakan di media sosial. Perlu ada kerja sama dengan pengelola aplikasi dan media sosial untuk mencegah radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Masyarakat mendukung penuh pengawasan Ormas pendukung khilafah di Indonesia. Pengawasan dan penegakan hukum terhadap kelompok radikal juga dianggap sudah tepat guna melindungi masyarakat dari paham berbahaya sekaligus mencegah konflik sektarian yang dapat berujung pada perpecahan Indonesia.*

Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini Jakarta