Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Urgensi Manajemen Risiko pada Proyek Infrastruktur di Batam
Oleh : Opini
Senin | 06-06-2022 | 20:11 WIB
A-MASTER-UIB.jpg Honda-Batam
Indra Prawira, Angga Rizky Aldi, Mikhael Seravio, mahasiswa Magister Manajemen Universitas Internasional Batam. (Foto: Ist)

Oleh Indra Prawira, Angga Rizky Aldi, Mikhael Seravio

PEMBANGUNAN infrastruktur di Kota Batam ini menjadi fokus Pemerintah Kota (Pemko) Batam. Hal ini bertujuan untuk memberikan keseimbangan laju perkembangan penduduk dengan fasilitas infrastruktur khususnya di kota Batam.

Ada pula pentingnya penerapan serta pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam sektor konstruksi. Peristiwa seperti terjatuhnya pekerja dari tempat tinggi, kebakaran akibat kelalaian, serta pencemaran lingkungan.

Berdasarkan data yang dikutip pada BPJS Ketenagakerjaan tentang meningkatnya kasus kelacakaan, bidang konstruksi mengalami peningkatan sebanyak 5,65 % di tahun 2021 dibandingkan dengan 2020 dengan proyeksi kasus sebanyak 221.740 kasus menjadi 234.270 kasus yang terjadi pada lokasi kerja dengan rentang waktu 06.00 sampai 12.00 WIB.

Risiko merupakan kombinasi dari berbagai kemungkinan suatu kejadian yang bersifat merugikan. Risiko dapat mempengaruhi beberapa akibat yang dapat menyebar dan tidak tentu hanya mengakibatkan risiko yang bersifat dua arah saja. Risiko dapat meliputi kehilangan, bahaya, kegagalan, dan lain sebagainya.

Risiko bersifat tidak pasti, tetapi dapat disimulasikan dan digagaskan untuk meminimalisir terjadinya kejadian yang tidak diinginkan.

Manajer risiko terkadang membuat kesalahan saat mengevaluasi probabilitas atau pengukuran kerugian. Dengan cara yang sama, mereka dapat menggunakan metode distribusi yang salah.

Untuk lembaga keuangan dengan banyak posisi, meskipun mereka dapat memperkirakan distribusi yang tepat terkait dengan setiap posisi, korelasi antara posisi yang berbeda dapat menjadi pengukuran yang salah. Kesalahan pengukuran risiko yang diketahui adalah masalah umum dalam praktik manajemen risiko.

Oleh karena itu, sangat sulit untuk mempertimbangkan semua risiko dalam sistem pengukuran risiko, dan memerlukan biaya yang mahal untuk melakukannya. Ini karena tidak ada yang dapat memprediksi peristiwa di masa depan dengan sempurna.

Tujuan dari manajemen resiko dalam sektor konstruksi tidak lain untuk mengidentifikasi setiap masalah yang berpotensial untuk terjadi, mengevaluasi, mengawasi, dan memberikan penanganan resiko yang telah timbul. Dalam dunia konstruksi, ada beberapa jenis risiko yang ditangani, yakni, risiko operasional, risiko finansial, hazard risk, strategic risk.

Risiko operasional merupakan risiko yang memiliki kaitan dengan operasional organisasi seperti sistem organisasi, proses kerja, teknologi, dan sumber daya manusia. Risiko finansial merupakan risiko yang berdampak pada kinerja keuangan organisasi seperti fluktuasi mata uang, tingkat suku bunga, likuiditas dan kondisi pasar.

Hazard Risk adalah risiko yang berhubungan dengan kecelakaan fisik seperti kebakaran, luka, dan bencana alam. Strategic Risk adalah risiko yang berhubungan dengan strategi perusahaan, politik, ekonomi, sosial budaya, dan legalitas. Risiko yang lumrah terjadi dalam pelaksanaan proyek ini meliputi kecelakaan kerja, debu, cuaca ekstrem, dan perselisihan antar individu.

Adapula tantangan CEO perusahaan tersebut untuk menunjuk Safety Officer yang memang terampil di bidangnya agar dapat memberikan program, sosialisasi, pengawasan pemerintah pada perusahaan khususnya di bidang infrastruktur tentang program K3 yang di implementasikan.

Sehingga terciptanya 'Zero Accident' dan 'Zero Harm' yang akan mempengaruhi kesejahteraan para pekerja dan produktivitasnya. Ketika terjadi kecelakaan yang menyebabkan cedera atau merengut nyawa, pekerjaan harus dihentikan.

Sifat merugikan dari kecelakaan ini memerlukan penyelidikan, dan pekerjaan tidak dapat dilanjutkan saat penyelidikan sedang berlangsung. Hal ini juga akan mempengaruhi perputaran dana di proyek terkait karena akan terhenti progress pekerjaan, maka kemajuan proyek juga akan terhenti yang mengakibatkan tidak tersalurnya sumber pendapatan dari pelaku bisnis konstruksi ini.

Terjadinya kecelakaan dalam lingkungan kerja juga akan mempengaruhi kredibilitas dari suatu perusahaan. Maka dari itu perusahaan harus membangun budaya keselamatan, menjadikan persyaratan keselamatan sebagai syarat kerja yang utama.

Dengan menyelenggarakan pelatihan rutin untuk memastikan semua orang memahami rekomendasi keselamatan dan memberikan penghargaan kepada pekerja yang secara teratur menjadikan keselamatan sebagai prioritas adalah salah satu bentuk penerapan program dalam mencapai lingkungan kerja yang sehat dan aman.

Dengan terciptanya lingkungan kerja yang aman dengan tingkat terjadinya kecelakaan kerja yang rendah, bukan hanya menjadikan perusahaan menjadi teladan dalam menjalankan segala proses bisnis, tetapi juga membentuk dan menjadikan para karyawannya menjadi sadar akan pentingnya keselamatan dalam bekerja adalah suatu hal yang mutlak untuk dipertimbangkan dalam menjalani setiap pekerjaan.

Dalam perkembangan perihal keselamatan kerja di Indonesia, belum semua perusahaan mampu untuk memenuhi standar kelayakan keselamatan dalam bekerja. Beberapa hal yang membatasi dan membuat tidak tercapainya standar keselamatan dalam proses bekerja adalah permasalahan standar operasi pekerjaan yang tidak digagaskan dengan baik, permasalahan dengan biaya dalalm mengadakan peralatan dan perlengkapan yang mendukung setiap individu yang bekerja, serta lingkungan kerjanya.

Hal ini juga masih terjadi karena kurangnya kesadaran setiap individu dalam mengutamakan keselamatan dirinya sendiri. Beberapa alasan yang membuat pekerja Indonesia enggan untuk menggunakan perlengkapan keselamatan dalam bekerja yaitu terbatasnya ruang gerak diri dalam bekerja karena banyaknya perlengkapan yang harus digunakan dan kurangnya informasi atau edukasi yang diberikan oleh superior.

Di Batam sendiri, praktik keselamatan kerja sendiri masih cenderung rendah. Banyaknya perusahaan yang meremehkan perihal keselamatan dalam bekerja, dan cenderung menganggap bahwa asuransi jiwa dari pemerintah sudah cukup untuk menaungi masalah keselamatan dalam bekerja.

Pada pelaksanaannya di konstruksi, khusunya di proyek yang berskala kecil-menengah, para pekerja konstruksi cenderung tidak menggunakan perlengkapan keselamatan pribadi, dan hanya menggunakan pakaian sehari-hari saja.

Pada proyek berskala besar seperti apartemen dan infrastruktur, pekerja sudah menggunakan perlengkapan keselamatan diri yang lengkap disertai dengan dukungan lingkungan pekerjaan yang sehat dan terarah.

Perlu adanya partisipasi dari pemerintah setempat dalam menciptakan lingkungan pekerjaan konstruksi yang baik dalam segala lapisan proyek. Partisipasi ini diharapkan agar para pelaku bisnis konstruksi sadar akan pentingnya keselamatan dan kesehatan dalam bekerja.

Dorongan ini dapat meliputi diadakannya sosialisasi dengan para pelaku konstruksi, pengawasan berkala ke setiap lokasi konstruksi, dan jika ditemukannya indikasi kecelakaan dalam pelaksanaannya, dapat dikenakan sanksi berupa surat peringatan, denda, dan tidak menutup kemungkinan untuk mencabut izin usaha jasa konstruksi.*

Penulis adalah mahasiswa Magister Manajemen Universitas Internasional Batam