Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Minyak Belut
Oleh : Opini
Sabtu | 26-03-2022 | 08:36 WIB
A-ANTRI-MINYAK-GORENG1.jpg Honda-Batam
Emak-emak sedang antri untuk membeli minyak goreng. (Foto: Ist)

Oleh Dahlan Iskan

PEMERINTAH sekarang ini luar biasa kuatnya. Padahal didera heboh minyak goreng begitu serunya. Berminggu-minggu. Berbulan. Belum juga ada tanda-tanda reda.

Kuat sekali.

Respons dari pemerintah masih begitu cool. Begitu tenang. Begitu percaya diri. Itu tecermin dari keterangan resmi Menko Perekonomian Airlangga Hartanto dua hari lalu.

Anda sudah tahu.

Sudah banyak dimuat di media: kenaikan harga minyak goreng belum akan mengganggu tingkat inflasi. "Inflasi kita di Februari sangat rendah, bahkan terjadi deflasi," katanya.

Di situlah kuncinya. Yang terganggu baru ibu-ibu di dapur. Belum inflasi. Tentu pemerintah punya datanya --bahkan big data.

Maka pemerintah berani saja: menghapus ketentuan harga eceran tertinggi minyak goreng dalam kemasan. Toh belum akan mengganggu tekanan darah inflasi.

Dengan demikian harga minyak goreng dalam kemasan dibebaskan. Disilakan untuk membentuk harganya sendiri. Bebas. Sesuai dengan harga pasar. Kalau toh harganya melejit belum akan membahayakan statistik tingkat inflasi.

Pemerintah menetapkan alat pengendali inflasi: minyak goreng curah. Di sini pemerintah menetapkan harga tertinggi untuk minyak goreng curah.

Dengan demikian bagi yang tidak kuat membeli minyak goreng kemasan, silakan beli yang curah. Kalau perlu bawa jeriken sendiri dari rumah. Harganya Rp 14.000/liter.

Maka minyak goreng curah didengung-dengungkan sebagai jalan keluar untuk yang tidak mampu. Pemerintah sudah dianggap tidak salah: ibarat membangun jalan tol yang tarifnya mahal, toh masih ada jalan umum yang gratis.

Ketika mulai ada yang mengeluh: di mana minyak goreng curah bisa didapat, Menko Airlangga juga tahu cara menjawabnya. Itu bukan perkara yang serius. Itu, katanya, hanya persoalan distribusinya saja.

Itu soal distribusi. Bukan kebijakan.

Kalau pun minyak goreng curah tetap sulit, lama-lama rakyat terbiasa. Lalu akan kembali memilih minyak goreng dalam kemasan. Meski harganya lebih mahal. Kalau perlu ciptakan kemasan kecil --agar seolah harganya murah.

Kita sudah mulai paham taktik pemerintah seperti itu. Mulai hafal. Toh tidak sampai terjadi gejolak yang di luar kendali.

Kurang lebih begitu juga yang sudah terjadi di pompa-pompa bensin. Bensin yang mahal tersedia melimpah. Bensin yang bersubsidi tetap ada, tapi lebih sulit didapat.

Rakyat mulai terbiasa. Kalau premium habis ambil bensin yang lebih mahal.

Maka saya pun melihat antrean truk yang panjang. Di pompa bensin. Di mana-mana. Di semua kota yang saya lewati pekan lalu. Mulai dari Lampung, Baturaja, Musi Rawas, Lubuk Linggau sampai Bengkulu. Mereka harus berjam-jam menunggu tangki pembawa solar tiba di stasiun pompa bensin.

Soal minyak goreng ini, awalnya Menteri Perdagangan M. Lutfi, punya kebijakan dua harga: Rp 14.000 untuk kemasan premium dan Rp 11.000 untuk kemasan sederhana dan curah. Pabrik minyak goreng mendapat subsidi Rp 3000/liter. Dananya dari iuran kelapa sawit. Sampai Rp 3,7 triliun selama 6 bulan pertama.

Lalu Mendag berubah: kemasan apa pun harganya dibuat sama, Rp 14.000. Pabrik minyak goreng tetap di subsidi Rp 3.000/liter tapi volumenya naik dua kali lipat. Yang premium pun disubsidi. Jumlah subsidinya mencapai Rp 7 triliun.

Bagi konsumen ini lebih bagus. Tapi bagi pabrik minyak goreng bertambah ruwet. Terutama pabrik minyak goreng yang tidak punya kebun sawit. Mereka harus mengurus jatah DMO dan DPO (Domestic Market Obligation dan Domestik Price Obligation). Berarti harus mengurus jatah itu sampai Kementerian Perdagangan.

Akibatnya fatal: produksi minyak goreng terganggu. Harga minyak goreng memang menjadi lebih murah. Tapi barangnya mulai hilang dari pasaran.

Maka aturan itu diubah lagi. Seperti yang berlaku sekarang ini: tidak ada harga eceran tertinggi. Harga minyak goreng kemasan premium dan sederhana dilepas. Silakan ikut saja dengan harga pasar. Hanya harga minyak goreng curah yang ditetapkan paling tinggi Rp 14.000/liter.

Akhirnya minyak goreng seperti didorong untuk menerima harga pasar bebas. Tanpa takut disalahkan sebagai penganut ekonomi liberal. Buktinya ada harga yang curah yang disubsidi.

Kelak tentu akan muncul atau dimunculkan citra negatif minyak curah. Misalnya: diragukan lagi keasliannya. Atau: sudah dicampuri cairan lain.

Mau tidak mau konsumen balik ke minyak goreng kemasan --meski harganya mahal. Lama-lama terbiasa.

Sungguh menarik mengamati taktik pemerintah untuk membawa masyarakat ke harga pasar ---tanpa demo dan gejolak.

Tentu M. Lutfi adalah orang yang sangat pintar. Terutama kemampuan lobinya. Ia jadi Duta Besar Indonesia di Jepang di usia yang masih sangat muda. Lalu jadi menteri di zaman Presiden SBY. Dua kali pula: Menteri Perdagangan dan Ketua BKPM.

Di era Presiden Jokowi ia jadi menteri lagi. Hebat sekali. Padahal ia tidak berpartai. Ia alumni Purdue University yang terkenal itu. Ia juga putra seorang aktivis terkemuka: Firdaus Wajdi.

Tokoh nasional HMI. Asal Minang. Yang ikut menggulingkan Pak Harto. Yang ikut menjadikan Gus Dur presiden Indonesia. Yang ikut meyakinkan Bu Mega agar mau menerima Pak Jokowi sebagai calon presiden dari PDI-Perjuangan.

Lutfi kini dalam pergulatan perdagangan yang sulit. Mungkin lebih sulit dari perjuangan politik ayahnya.

Minyak memang licin. Pun minyak goreng. Belut juga licin. Apalagi kalau kena minyak. Lutfi kini lagi berjuang menangkap belut berminyak.*

Penulis adalah wartawan senior