Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Multi Dimensi Listrik Indonesia dalam Sosok Eko Sulistyo
Oleh : Saibansah
Senin | 21-02-2022 | 12:40 WIB
A-EKO-PRASETYO-PLN.jpg Honda-Batam
Eko Sulistyo saat memaparkan isu bukunya, 'Jejak Listrik di Tanah Raja' di Hotel Harris Batam Center. (Foto: Saibansah/BTD)

SEMPAT diragukan masyarakat saat Menteri BUMN, Erick Thohir mengangkatnya menjadi komisaris PT PLN. Tapi keraguan itu dijawabnya dengan kinerja dan karya. Salah satu karyanya berjudul, 'Jejak Listrik di Tanah Raja'. Ternyata, dalam dirinya terkumpul multi dimensi kelistrikan Indonesia. Dialah Eko Sulistyo. Dimensi apa sajakah itu? Berikut catatan wartawan BATAMTODAY.COM, Saibansah Dardani.

Beruntung saya berkesempatan menyimak mengenai dunia kelistrikan Indonesia, langsung dari paparan Eko Sulistyo. Tidak hanya soal bisnis strumnya ansih. Tapi juga dimensi lain dari listrik Indonesia. Nah, dari paparan itulah, saya menyimpulkan, dalam sosok seorang Eko Sulistyo terhimpun multi dimensi kelistrikan Indonesia. Apa saja?

Mulai dari dimensi sosiologis, historis, politis, bisnis sampai dimensi emosional. Semuanya lengkap ada pada sosok Eko Sulistyo. Itulah kesimpulan saya setelah menyimak dan membaca buku karya pria kelahiran Kendal, Jawa Tengah 1968 itu.

Padahal, baru di momentum peluncuran buku 'Jejak Listrik di Tanah Raja' Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957 itulah, saya pertama kali bersitatap dengan mantan Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Kepresidenan itu di Hotel Harris Batam Center, Jumat 18 Feburari 2022 lalu.

"Masa-masa kecil saya dipenuhi nuansa yang memiliki keterkaitan dengan listrik. Bapak saya pegawai PLN, hanya lulusan ST, Sekolah Teknik. Kalau bekerja naik sepeda, bawa tangga kayu dan rangsel, isinya obeng, tang dan tespen, itu pasti ada, tidak pernah lupa," tutur aktivis 1998 yang juga alumnus Universitas Sebelas Maret itu memulai paparannya.

Paparan awal emosional inilah yang menghinotis saya untuk terus menyimak sungguh-sungguh kelanjutan paparan mantan aktivis pers mahasiswa itu.

Biasanya, kalau ada hujan, bapak saya mendapatkan kontek, bapak saya dipanggil. Terus bapak saja bilang, saya tak ke kantor dulu. Biasanya, dua bulan sekali, bapak saya piket ke gardu induk. Karena saya tinggal di Kota Semarang, di Kendal, gardu induknya yang 500 kv.

Nah, hal-hal semacam itulah yang saya rasakan sejak kecil. Jadi dalam menulis buku ini, saya selalu teringat dengan masa lalu. Karena itulah yang memberikan saya inspirasi.

Setelah mengisahkan dimensi emosionalnya sebagai anak pegawai rendahan PLN. Penulis buku, 'Bengawan Solo Riwayatmu Kini' itu bergerak ke dimensi lain, sosiologis, historis dan bisnis.

Saya ini penggemar toko buku loak, hampir semua toko buku loak saya datangi. Tapi, hampir semuanya tidak saya temukan buku referensi tentang PLN. Yaitu, buku tentang PLN yang memiliki referensi mendalam mengenai dimensi sosiologis, historis dan sosial. Yang banyak itu buku teori elektro. Kalau itu, waktu saya kecil dulu bapak saya juga selalu pegang buku elektro.

Ketika saya banyak baca buku tentang listrik, ternyata, kalau listrik hanya dimaknai sebagai infrastruktur, kabel, travo dan jaringan saja, itu menjadi sempit maknanya.

Itulah yang kadang-kadang membuat budaya teman-teman di PLN kurang sensitif, terutama kalau terkait sosial. Padahal, mengurus listrik itu memerlukan sensifitas.

Buku 'Jejak Listrik di Tanah Raja' Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957 ini mengambil setting di Solo Jawa Tengah. Dimulai dari sejarah tahun 1901 hingga 1957. Yaitu, sejak dimulainya nasionalisasi, atau proses pengambialihan perusahaan asing, termasuk listrik ke pemerintah Republik Indonesia.

Setelah memaparkan mengenai jejak historis listrik di 'Tanah Raja', mantan Ketua Komisi Pemilahan Umum Daerah (KPUD) Kota Surakarta periode 2003-2008 itu mengungkapkan hasil risetnya.

Di Solo masih banyak sumber-sumber referensi tertulis, baik itu sejarah, maupun dokumen resmi. Termasuk kerjasama dengan perusahaan listrik swasta saat itu. Ada dua raja di Solo. Yaitu, Mangkunegaran dan Keraton Sasunanan, ada perusahaan Belanda dan perusahaan Cina.

Itulah anak perusahaan dari perusahaan pabrik besar milik Belanda yang bernama, ANIEM, akronim dari Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij.

ANIEM untuk memasok kebutuhan listrik Kota Surabaya dan mempunya relasi dengan jawatan listrik Jawa Timur (OJEM), Solo (SEM), Banyumas (EMB), Rembang (EMR), Sumatra (EMS), Bali dan Lombok (EBALOM) bahkan sampai Kalimantan.

Kalau orang-orang tua dulu, di daerah saya, atau di Jateng, Jatim, DIY sampai ke Pontianak, karena mereka mengusasai hampir 40 persen pangsa pasar listrik di Indonesia, mereka itu masih menyebut segala sesuai tentang lisrik, disebut dengan Aniem.

Ada beberapa hal yang saya temukan dari riset. Kalau kita lihat simbol listrik, gambar petir itu, orang PLN mungkin gak pernah tahu, mulai kapan simbol itu.

Ternyata, itu sejak dari zaman Belanda. Di Solo bahkan masih ada sisa tulisan lama dalam tiga bahasa untuk memberi warning bahaya strum listrik. Dalam bahasa Jawa-nya ditulis begini. 'Sopo sing ngemek, mati'. Siapa yang megang, mati.

Lalu, saya melihat, sampai sekarang kalau PLN ingin mencari siapa tokoh Bapak Kelistrikan Indonesia? Pasti, pusing. Nah, dari penelitian saya temukan, Raja Mangkunegaran VII itu telah memulai pendirian pembangkit listrk tenaga air di dekat Surakarta, 20 km dari Tawangmangu.

Karena waktu itu, aliran lisrik di Solo dipasok dari PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) di daerah Tumpang. Sampai sekarang PLTA itu masih beroperasi dan berfungsi dengan baik. Memang, Teknologinya memang masih sederhana.

Begitulah, menyimak paparan Eko Sulistyo tentang listrik, seakan tak ada habisnya. Referesinya banyak dan panjang. Dan tentu saja, menarik.

Apalagi, kalau membaca lebih jauh buku 'Jejak Listrik di Tanah Raja' yang sudah cetak dua kali itu.

Mantap!

Editor: Dardani