Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hidayat Nur Wahid Minta Predator Seksual terhadap Anak Dihukum Mati
Oleh : Irawan
Selasa | 14-12-2021 | 08:04 WIB
diskusi_pilar_seksualb.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema Mendorong Keberpihakan Negara dalam Perlindungan Anak

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan ada ancaman hukuman mati untuk predator kekerasan seksual seperti HW (Herry Wirawan). Ancaman hukuman mati itu diatur dalam pasal 81 ayat 5, Undang-undang nomor 17 tahun 2016.

"Pak Jokowi sudah membuat Perppu yang mengoreksi undang-undang nomor 23 tahun 2002 menjadi undang-undang nomor 17 tahun 2016. Undang-undang ini ditandatangani oleh Pak Jokowi tanggal 25 Mei tahun 2016," ujar HNW dalam diskusi 4 Pilar MPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (13/12/2021).

Lanjutnya, banyak kejadian serupa karena kurangnya sosialisasi ancaman hukuman mati bagi para pelaku kekerasan seksual. Jika disosialisasikan dengan massif, politikus PKS itu berharap dapat mengurangi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak.

"Itu ada di pasal 81 ayat 5, dalam hal tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 76 D, menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka, mengalami gangguan jiwa, penyakit menular, atau hilangnya fungsi reproduksi atau korban meninggal dunia maka pelaku tersebut dipidana mati, kedua seumur hidup, kemudian pidana paling rendah 10 tahun dan paling lama 20 tahun," papar HNW.

"Kalau disosialisasikan secara maksimal kepada para pendidik, pengasuh anak, tenaga pendidikan, aparat, ini mungkin akan membantu mengurangi kasus serupa. Nanti ada pemberatan juga siapapun yang melakukan kejahatan terhadap anak itu bisa sampai pada hukuman mati," tambahnya.

Pernyataan serupa disampaikan Anggota MPR Kelompok DPD Sylviana Murni. Menurut Sylviana, selain mensosialisasikan peraturan perundangan terkait perlindungan anak, pemerintah juga harus mensosialisasikan upaya pencegahan terjadinya tindak kekerasan kepada anak-anak.

Sosialisasi pencegahan kejahatan terhadap anak, ini bisa dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

"Anak-anak harus dikasih tahu, bahwa beberapa bagian tubuhnya, tidak boleh disentuh orang lain. Mereka juga harus diberi bekal, untuk menolak ajakan yang bisa menjerumuskan mereka pada tindak kekerasan. Serta membiasakan anak agar berani berpendapat dan berbicara terkait kejadian yang menimpanya," kata Sylviana menambahkan.

Sebelumnya, Komisioner KPAI, Retno Listyarti menyampaikan data terkait kekerasan seksual anak yang terjadi beberapa tahun terakhir, dan menjadi perhatian lembaganya. Menurutnya, kejahatan seksual bisa terjadi diberbagai lembaga pendidikan. Baik berasrama atau tidak, bernaung di bawah Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Kekerasan seksual terhadap anak, laksana gunung es. Banyak korban kejahatan seksual yang takut berbicara atau mengadu. Dan itu membuat upaya pendampingan terhadap mereka menjadi semakin sulit, karena bukti dan saksi kejahatan ini tidak mudah ditemukan," kata Retno Listyarti lagi.

Menyangkut korban kejahatan seksual, baik laki-laki maupun perempuan, menurut KPAI keduanya sama-sama berpotensi menjadi korban kekerasan seksual.

Pada 2018-2019, KPAI mencatat 88% pelakunya adalah guru dan 22% adalah kepala sekolah. Dari jumlah tersebut, guru yang melakukan kejahatan seksual pada siswanya, 40% diantaranya adalah guru olahraga. Lebih besar dibanding guru agama sebanyak 13,3%, dan selebihnya adalah guru kesenian, komputer, IPS, dan guru bahasa Indonesia.

Dari tingkat pendidikan para korban kekerasan seksual terhadap anak, paling banyak menimpa siswa Sekolah Dasar, sebesar 64,7% kasus. Kedua adalah SMP dan sederajat 23,53%, kasus. Dan jenjang SMA atau sederajat sebesar 11,77%, kasus.

"Semua harus waspada, kejahatan seksual bisa terjadi kepada semua anak-anak kita. Di manapun mereka berada, termasuk di dunia Maya, potensi kejahatan seksual itu selalu mengancam mereka," kata Retno mengingatkan.

Editor: Surya