Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Masih Terdaftar Sebagai PT di Kemenkumham RI

Bali Dalo Sebut PT Sintai Industri Shipyard Tak Pernah Bubar
Oleh : Paskalis RH
Senin | 10-05-2021 | 17:53 WIB
saksi-bali-dalo.jpg Honda-Batam
Bali Dalo, saat bersaksi di PN Batam, Senin (10/5/2021). (Foto: Paskalis RH)

BATAMTODAY.COM, Batam - Direktur PT Sintai Industri Shipyard, Bali Dalo dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Negeri (PN) Batam atas perkara pemalsuan atau orang yang menyuruh membuat keterangan palsu dalam akta otentik, dengan terdakwa Abdul Kadir dan Sahaya Simbolon, Senin (10/5/2021).

Bali Dalo menyampaikan, Abdul Kadir dan Sahaya Simbolon selaku likuidator yang ditunjuk pengadilan menjual aset-aset PT Sintai Industri Shipyard. Penjualan aset itu tidak diketahui semua pemengang saham.

"Pernah ada surat dari likuidator yang menyatakan PT Sintai Industri Shipyard sudah bubar. Tetapi, setelah kami (PT Sintai Industri Shipyard) bersurat ke Kemenkumham, tepatnya Direktorat Jenderal Administrasi Hukum, ternyata tidak pernah ada laporan pembubaran atau status perusahaan dalam likuidasi. Dan memang sampai saat ini, status PT Sintai Industri Shipyard masih aktif, belum bubar," kata dia, sembari membacakan dua lembar surat jawaban Kemenkumham atas status PT Sintai Industri Shipyard di persidangan.

Dalam surat Kemenkumham itu, sambung Bali Dalo, status badan hukum PT Sintai Industri Shipyard masih terdaftar atau tercatat sebagai badan hukum Perseroan Terbatas di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI.

Kemudian mengenai status Likuidasi (Pembubaran), kata dia, sampai saat ini juga tidak ada pelaporan pembubaran PT Sintai Industri Shipyard kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

"Yang jelas pada saat penjualan aset, status badan hukum PT Sintai Industri Shipyard di database Sistem Administrasi Badan Hukum masih terdaftar atau tercatat sebagai badan hukum Perseroan Terbatas di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI," tegasnya.

Masih kata Bali Dalo, penjualan aset PT Sintai Industri Shipyard oleh likuidator membuat perusahaan yang dia pimpin itu mengalami kerugian sekitar Rp 49 miliar, hitungan mereka pada tahun 2018 lalu. "Saat kasus ini saya laporkan, PT Sintai Indstri Shipyard mengalami kerugian mencapai Rp 49 miliar. Kalau hitungan sekarang itu jelas lebih besar lagi, karena tidak ada lagi kapal masuk, dan kegiatan lainnya," sambung Bali Dalo, usai persidangan.

Mengenai keterangan saksi, terdakwa Abdul Kadir dan Sayaha Simbolon membantah, bahkan menyatakan saksi berbohong. "Saksi bohong yang mulia," ujar kedua terdakwa secara bergantian lewat video confrensi dari Rutan Mapolda Kepri.

Sementara itu, penasehat hukum kedua terdakwa, sempat mempertanyakan 'legal standing' Bali Dalo melaporkan pihak likuidator.

Hal ini disampaikan Yacobus Silaban, salah satu tim penasehat hukum terdakwa. Di mana, menurut Yacobus, pemalsuan atau yang menyuruh membuat keterangan palsu pada akta jual beli (AJB).

"Dalam AJB kan ada pihak penjual dan pembeli, kalau ada pihak yang dirugikan, tentunya yang melaporkan salah satu dari kedua pihak itu. Ini kenapa jadi Bali Dalo yang melaporkan, legal standingnya, di mana?" heran Yacobus.

Adapun tindak pidana yang didakwakan terhadap Abdul Kadir bersama Sahaya Simbolon, seperti diutai dalam surat dakwaan, terjadi saat ditunjuk sebagai Likuidator pada Perseroan PT Sintai Industri Shipyard SINTAI berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Batam Nomor: 529/PDT.P/2013/PN.BTM tanggal 1 Agustus 2013.

Kasus ini berawal sekira bulan Agustus 2013 saat terdakwa mendatangi Kantor Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) Aryanto Lie karena telah ditunjuk sebagai Likuidator pada Perseroan PT Sintai Industri Shipyard.

Atas penetapan pengadilan tersebut, pada 16 Agustus 2013 terdakwa Abdul Kadir membuat pengumuman di koran tentang Pengumuman Pembubaran dan Likuidasi PT Sintai Industri Shipyard dan juga memuat Pengumuman Pembubaran PT Sintai Industri Shipyard lembar Berita Negara Republik Indonesia diterbitkan oleh Percetakan Negara pada 10 September 2013.

Selanjutnya, terdakwa mulai mendata aset-aset milik PT Sintai Industri Shipyard untuk dijual dengan alasan PT Sintai Industri Shipyard sedang dalam Likuidasi. Padahal para terdakwa mengetahui bahwa PT Sintai Industri Shipyard masih terjadi sengketa antara pemilik Perusahaan, termasuk berkaitan masalah asetnya.

Setelah mendata aset, pada 28 Agustus 2013 terdakwa mendapat surat dari PT Bank Mandiri (persero) nomor: RRC.MDN/1861/2013 perihal pengajuan klaim/tagihan kredit PTSintai Industri Shipyard, yang mana jaminan atas kredit tersebut adalah Tanah dan Bangunan dengan bukti SHGB (sertifikat hak guna bangunan) nomor: 5336/2010 yang berlokasi di Komplek Injin Batu Kelurahan Tanjunguncang Kecamatan Batuaji, Kota Batam dengan total Hutang sebesar Rp 1.339.298.778.

Mengetahui hal itu, para terdakwa sebagai likuidator mendatangi saksi Kui Lim untuk meminjam uang sebesar Rp 1,1 miliar, yang akan dipergunakan untuk menebus SHGB (sertifikat hak guna bangunan) nomor: 5336/2010 An PT Sintai Industri Shipyard di Bank Mandiri. Pada saat itu juga, para terdakwa menawarkan aset tersebut untuk di beli oleh saksi Kui Lim (selaku komisaris PT Cahaya Maritim Indonesia.

Setelah menebus hutang PT Sintai Industri Shipyard di Bank Mandiri dan mengambil sertifikat tanah, para terdakwa bersama saksi Kui Lim mendatangi kantor PPAT Arianto Lie guna melakukan jual beli atas SHGB tersebut.

Namun pada waktu di kantor Notaris, PPAT Arianto Lie menyarankan agar kedua belah pihak wajib menunggu untuk proses jual beli SHGB karena pihak PT Sintai Industri Shipyard mengajukan Peninajuan Kembali (PK) ke Mahkama Agung.

Selain mengajukan PK, salah satu pemegang saham PT Sintai Industri Shipyard kembali mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Batam yang pada pokoknya meminta pembatalan Pembubaran PT Sintai Industri Shipyard sehingga ekseskusi terhadap aset batal dilaksanakan.

Atas gugatan itu, keluarlah putusan Pengadilan Negeri Batam Nomor: 113/PdtG/2014/PN.BTM tanggal 17 Juni 2015 dan Putusan Banding Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor: 07/PDT/2016/PT PBR tanggal 18 April 2016 dan selanjutnya Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1043 K/Pdt/2017 tanggal 02 Oktober 2017 yang pada intinya menyatakan PT Sintai Industri Shipyard tidak jadi dibubarkan (menyatakan Penetapan Pengadilan Negeri Batam Nomor: 529/PDT.P/2013/PN.BTM tanggal 1 Agustus 2013 tidak mempunyai kekuatan hukum).

Namun, masih di tahun 2014 terdakwa Abdul Kadir bersama-sama dengan terdakwa Sahaya Simbolon dan Edison P Saragih (DPO) dengan saksi Kui Lim kembali mendatangi kantor PPAT Arianto Lie sebagai Likuidator untuk melakukan eksekusi terhadap aset bekas PT Sintai Industri Shipyard dengan menunjukkan Penetapan Perkara Perdata dari Pengadilan Negeri Nomor: 529/PDT.P/2013/PN.BTM yang telah dikuatkan atau telah incraht oleh Mahkamah Agung RI Nomor: 3042K/PDT/2013 tanggal 29 April 2014.

Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 02 April 2015 para terdakwa melaksanakan penandatanganan Minuta Akta Jual Beli No: 11/2015 tanggal 02 April 2015 yang dibuat oleh Notaris & PPAT Ariyanto Lie dan pelaksanaan serah terima dokumen berupa IPH, Faktur dan SHGB.

Selanjutnya, saksi Kui Lim melakukan pembayaran di Bank Mandiri pada tanggal 2 April 2015 senilai Rp 8 miliar untuk membeli SHGB PT Sintai Industri Shipyard. Dalam Minuta Akta Jual beli tersebut, lanjut Mega, terdakwa Abdul Kadir, terdakwa Sahya Simbolon dan Edisin P Saragih (DPO) telah memberikan keterangan palsu kedalam Akta Jual Beli Nomor 11/2015 tanggal 2 April 2015.

Keterangan palsu yang diberikan dalam akta jual beli ada pada pasal 2 yang berbunyi "pihak pertama (sdr terdakwa Abdul Kadir, terdakwa Sahya Simbolon dan Edisin P Saragih ) menjamin bahwa objek jual beli tersebut di atas tidak tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam sertifikat dan bebas dari beban-beban lainya yang berupa apapun. Padahal diketahuinya SHGB (sertifikat hak guna bangunan) nomor: 5336/2010 An PT Sintai Industri Shipyard masih tersangkut dalam suatu sengketa/berperkara di Pengadilan Negeri Batam.

Perbuatan terdakwa Abdul Kadir dan terdakwa Sahya Simbolon, sambungnya, yang menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian.

Akibat perbuatan para terdakwa PT Sintai Industri Shipyard mengalami kerugian kurang lebih sebesar Rp 8 miliar. "Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 266 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, Subsider Pasal 263 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP," kata jaksa Mega Tri Astuti, saat membacakan surat dakwaan.

Editor: Gokli