Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

PPUU dan FK UKI Bedah Kedudukan Tanah Adat Pasca UU No. 11 Tahun 2020
Oleh : Irawan
Selasa | 26-01-2021 | 08:04 WIB
seminar_uki_b.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Webinar PPUU yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) (Foto: DPDRI)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI Badikenita BR Sitepu menilai kedudukan tanah adat pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 perlu dibedah mengingat masih sangat jarang diulas dan dibahas pihak-pihak yang berkepentingan. Padahal dalam investasi yang akan muncul ke depannya membutuhkan adanya lahan.

"Selama ini banyak orang yang berpikir bahwa Undang-Undang Cipta Kerja hanya membahas tentang ketenagakerjaan saja. Padahal, jika ditilik lebih lanjut, suatu investasi yang akan ditanam, tentu saja umumnya akan membutuhkan adanya lahan. Sehingga perlu dibedah UU No 11/2020 demi mendorong iklim investasi," ungkap Badikenita di depan forum Webinar PPUU yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) baru-baru ini.

Lebih lanjut Badikenita mengatakan bahwa hadirnya UU Cipta Kerja bertujuan untuk kemajuan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Senator asal Sumatera Utara ini juga menegaskan bahwa UU ini penting sekali, agar nanti tidak ada kekhawatiran di dalam masyarakat, seperti adanya mafia tanah. Lalu bagaimana pengertian tentang bank tanah seperti apa, banyak yang belum paham.

"Ini penting dibahas, keterkaitan UU No 11/2020 dengan UU Cipta Kerja. Hadirnya UU Cipta Kerja agar peraturan menjadi lebih sederhana, menciptakan kemudahan berinvestasi, perizinan berusaha, dan kata kuncinya adalah NSPK yaitu Norma Standar Prosedur Kriteria," papar Badikenita lagi.

Sementara itu di forum yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN Himawan Arief Sugoto, mengatakan permasalahan dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum disebabkan karena dokumen perencanaan tidak didukung dengan data dan anggaran yg akurat.

Hal ini berakibat terjadinya revisi/adendum karena tidak sesuai dengan kondisi fisik di lapangan serta mengakibatkan penambahan anggaran UGR.

"Permasalahan juga terjadi seperti penetapan lokasi yang diterbitkan Gubernur belum sesuai dengan tata ruang serta tidak didukung dengan data awal dan persetujuan Pihak yang berhak, sehingga terjadi penolakan dalam pelaksanaan. Izin pelepasan objek pengadaan tanah yang masuk dalam lokasi kawasan hutan, tanah wakaf, tanah kas desa, aset instansi BMN/BUMN pelepasannya memerlukan waktu yang cukup lama," terang Himawan.

Di sisi lain, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi, menjelaskan bahwa saat ini Pemerintah sedang menyiapkan enam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Tata Ruang dan Pengadaan Tanah yaitu RPP tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, RPP tentang Bank Tanah, RPP tentang Pemberian Hak Atas Tanah, RPP tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, RPP tentang Kawasan dan Tanah Terlantar dan RPP tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional.

Sedangkan Dosen Fakultas Hukum UKI Diana RW Napitupulu memberikan pandangan bahwa tanah masyarakat adat harus dijaga sesuai dengan HBI dan HMN. Jika mau dilaksanakan PT, masyarakat adat itu harus membentuk Badan Hukum, seperti Perkumpulan atau Yayasan. Pemda setempat bisa sebagai Pemegang HPL bekerjasama dengan masyarakat, sehingga dapat melestarikan tanah-tanah komunal atau hak ulayat. Pertumbuhan Investasi harus menjaga kearifan lokal yang bersifat UGAHARI.

Editor: Surya