Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perlunya Paradigma Baru dalam Menafsirkan Pancasila
Oleh : redaksi
Jum'at | 01-06-2012 | 14:56 WIB

OLEH: Nur Fahmi Magid

"Jika Pancasila terbukti tidak mampu menyembuhkan penyakit bangsa ini, jangan pernah salahkan Ia. Seperti halnya kitab suci, yang tak bisa disalahkan atas dosa umat, maka cara pandang kitalah yang harus di ubah," kata Emha Ainun Najib dalam sebuah dialog. 

Pernyataan ini seolah ingin menegaskan, bahwa Pancasila bukanlah barang sakti yang mampu membuat keajaiban untuk Indonesia. Pancasila adalah dasar, sekaligus cita-cita luhur yang lahir dari pemikiran para pendiri Indonesia yang mungkin saja memiliki cacat. Ia tak sempurna, tak datang dari dunia lain. Tapi disusun sekelompok manusia biasa yang bisa saja sakit.

Ketika Soekarno mengatakan, bahwa perlunya Indonesia mempunyai sebuah Weltanchauung, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan. Sejatinya proklamator itu ingin mengatakan, bahwa sebuah cita-cita besar takkan bisa dipenuhi jika tak memiliki landasan. Namun, Ia tetap menggaris bawahi, meskipun Waltanchauung itu dibuat melalui diskursus yang panjang, tetap harus mampu bersifat kompromi. Menjembatani beragam perbedaan di dalam Indonesia. Negara baru, yang kala itu menitih satu. Toh sejarah juga telah membuktikan, Majapahit dan Sriwijaya menuai kejayaan juga tanpa Waltanchauung tersurat. Indonesia tidak akan bisa Eka dalam satu persepsi dan cara pandang, tapi Indonesia itu akan Eka justru didalam Kebinekaan. 

Perbedaan itu akan tetap terpelihara, dengan atau tanpa Pancasila. Karenanya para pendiri bangsa ini sadar perlunya landasan kompromi yang menjadi jembatan kekuatan politis. Disanalah Pancasila dijadikan pelakonnya.

Namun sebagaimana halnya sebuah kompromi, Pancasila tak lepas dari perdebatan. Tafsir selalu bermuara pada multitafsir. Fase inilah yang akan menjadi indikasi awal terbukanya ruang untuk menerima cara pandang baru yang perlu kita pertimbangkan.  

Sejarah mencatat perbedaan tafsir Pancasila sudah terjadi sejak awal. Sebagaimana halnya para penganut agama, akan memiliki penafsiran berbeda atas ayat-ayat Tuhan. Pendukung kebenaran yang sama juga bisa saja memiliki penafsiran yang berbeda, hal ini cenderung didasari banyak hal, termasuk latar belakang ideologis dari subjek yang melakukan tafsir itu sendiri. Begitu juga yang terjadi atas Pancasila. Ia tak luput dari multitafsir.

Sebagaimana dituturkan Nasution, bahwa dalam Konstituante terdapat dua kelompok yang sama-sama mengaku sebagai ‘Pendukung Pancasila’ (disadur dari Ramage 1995). Kelompok pertama melihat Pancasila sebagai forum, titik pertemuan bagi seluruh kelompok dan partai yang berbeda-beda, sebuah common denominator dari semua ideologi dan aliran pemikiran yang ada di Indonesia. Versi pandangan ini dipertahankan oleh PNI, PKI dan partai-partai Kristen juga Katolik. Dengan kata lain, kelompok ini melihat Pancasila dalam pengertian asli sebagai sebuah 'kompromi' yang menyatukan kekuatan-kekuatan politik yang ada dengan tetap mempertahankan ciri dan identitasnya masing-masing. 

Kedua, menurut Nasution, adalah yang menekankan Pancasila sebagai ideologi yang integral. Ia satu-satunya yang menjamin kesatuan nasional dan cocok dengan kepribadian Indonesia, dan karena itu menjadi landasan yang sesuai bagi dasar Negara Indonesia. Menurut Nasution, pandangan ini hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Konstituante termasuk Profesor Soepomo, sang penggagas idea Integralisme.

Perdebatan itu bukan tidak diprediksikan. Dalam sebuah kesempatan Bung Karno berkata "Tak ada negara yang tak menyimpan kawah candradimuka yang mendidih, dimana di dalamnya berbagai faham beradu". Disana Bapak Pendiri Bangsa itu sadar bahwa perjuangan Kebinekaan menuju Eka bukanlah mudah. Kegelisahan itu yang membuat penyusunan Pancasila dibuat sedemikian rupa, seberimbang mungkin agar benar-benar menjadi sebuah kompromi. Tapi ia sadar, kompromi itu sendiri tak membuatnya lepas dari rasa cemas, tentang masa depan Indonesia. Dan sebuah rel menuju ke suatu titik telah ditentukan. Sila-sila mulai dikompromikan.

Negara ini tak bisa disebut menghargai perbedaan dalam bertuhan (Sila Ketuhanan yang maha Esa) tanpa memegang prinsip Persatuan Indonesia. Kemanusiaan yang adil dan beradab, juga tak mendekati sempurna tanpa keadilan dalam tataran sosial yang menyeluruh. Dengan kata lain, tiap sila coba dilengkapi dengan sila berikutnya. Agar masing-masing sila menjadi solusi yang mendamaikan.

Mungkin Bung Karno sadar, bahwa memutlakan satu sila sama halnya membangun kesewenang-wenangan. Hegemoni mayoritas disadari tak sepenuhnya bisa dibenarkan, jika tak memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Pancasila hadir sebagai ruang untuk mendamaikan perdebatan-perdebatan itu. Namun Ia sendiri sama sekali tak sempurna, seperti halnya negosiasi, sejatinya harus mengikuti perkembangan pelik persoalan yang ada. Ruang untuk penafsiran sila-sila harus tetap dibuka lebar. Kedepan bangsa ini akan memilih cara pandang baru atas Pancasila demi menemukan solusi kompromis atas persoalan-persoalan yang menghimpitnya. Cara pandang baru itu lebih pada bagaimana menyelamatkan Pancasila dari degradasi makna.

Paradigma baru itu kita butuhkan, jika bangsa ini masih yakin bahwa Pancasila adalah satu-satunya rel yang inklusif dan nondiskriminatif. Sebuah paradigma yang muncul dari kesadaran bahwa negosiasi terus menerus akan selalu dibutuhkan oleh bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa eka, dan tak ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, agamanya, kelompoknya, mewakili sesuatu yang Mahabenar dan tanpa cacat.

 

 

 

Penulis adalah pemimpin perusahaan batamtoday.