Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR Sayangkan Batalnya Konser Lady Gaga Karena Keamanan
Oleh : surya
Selasa | 29-05-2012 | 07:11 WIB

JAKARTA, batamtoday - Wakil Ketua MPR RI HM. Lukman Hakim Saifuddin mengaku terkejut dengan putusan batalnya konser Lady Gaga dengan alasan keamanan. Menyadari negara yang besar dengan 240 juta jiwa lebih ternyata tidak mampu menjaga keamanan sebuah konser. Terlepas pro kontra Lady Gaga, tapi dengan alasan keamanan tersebut membuktikan jika negara khususnya aparat ini tidak mampu memberikan rasa aman terhadap kelangsunagn sebuah konser musik. Dengan begitu, maka Indonesia ini disimpulkan oleh dunia internasional sebagai negara yang tidak mampu memberikan rasa aman.

 “Saya selaku pribadi terkejut dengan pembatalan konser Lady Gaga dengan alasan keamanan. Itu pun yang menyampaikan meneger Lady Gaga, dan bukannya aparat kepolisian. Untuk itu, Indonesia sebagai negara yang besar ini telah dikesanpan oleh dunia, ternyata tidak mampu memberikan rasa aman bagi masyarakatnya,” tandas Wakil Ketua Umum DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin dalam dialog ‘Menegakkan Konstitusi Memaknai Pluralisme’ bersama Martin Hutabarat (Gerindra) di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (28/5/2012).

Sejauh itu lanjut Lukman, demokrasi masih sering dipahami sebatas adanya perbedaan. Padahal, demokrasi itu untuk membangun konsensus dari keberagaman tersebut untuk Indonesia ke depan. Oleh sebab itu, demokrasi tanpa disertai dengan jiwa besar, maka hakikat demokrasi itu akan makin jauh dari cita-cita demokrasi bahkan akan membunuh demokrasi itu sendiri. “Kalau ini dibiarkan dan memberikan ruang untuk memaksakan kehendaknya sendiri, maka negara yang paling bertanggung jawab,” ujarnya.

Menurut Lukman, demokrasi itu antara lain untuk menegakkan hukum atau konstitusi. Namun demikian hal itu akan pula tergantung dengan kepemimpinan sebagai muara dan segalanya. Selain itu masyarakat harus pula memiliki pendidikan dan wawasan yang baik terhadap berbangsa dan bernegara yang demokratis ini, karena pemimpin itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat.

“Jadi, hanya dengan pendekatan hukum kekerasan atau anarkisme itu bisa diatasi, dan juga dengan pendekatan politik. Negara tidak boleh melakukan pembiaran. Di mana jika negara atau pemimpin dianggap tidak hadir untuk menyelesaikan konflik masyarakat khususnya terkait kekerasan dan anarkisme, maka nanti tidak usah dipilih lagi sebagai pemimpin sebagai presiden,” tambah Lukman.

Yang pasti kata Martin Hutabarat, untuk menegakkan konstitusi dan pluralisme tersebut membutuhkan kepemimpinan yang kuat, berani dan tegas. Baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kalau tidak, maka benar apa yang ditudingkan masyarakat di mana negara sering abai, tidak hadir atau absen dalam konflik-konflik dan kekerasan atas nama agama, budaya maupun usaha lainnya. “Negara memang harus hadir. Kalau tidak, maka kepemimpinan negara ini berarti lemah, dan karena itu ke depan butuh pemimpin yang kuat, berani dan tegas,” tutur politisi Gerindra ini.

Dikatakan, memang Indonesia yang besar dan aneka ragam agama, suku, budaya, adat-istiadat dan sebagainya harus dijaga bersama dalam satu wadah negara. Sebab, hal itu sudah terbukti sejak negara ini mulai berdiri di tahun 1928 di mana sebanyak 70 % orang Jawa tapi mwereka tidak mau menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa Indonesia. “Padahal, kalau mereka mau, itu bisa bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa nasional. Selain itu, di Papua ada yang berbusana setengah telanjang dan di wilayah lain ada yang tertutup, berjilbab. Ini sebagai keniscayaan dan karunia Tuhan YME yang harus terus dipelihara,” ungkapnya.