Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mimpi Kesejahteraan dan Pilwako Tanjungpinang
Oleh : Redaksi
Senin | 28-05-2012 | 10:08 WIB

Oleh: Raja Dachroni

TAHAPAN PILWAKO Tanjungpinang sudah dimulai sejak Jumat, 4 Mei 2012 lalu. Beragam harapan perubahan pun muncul seiring dengan pelaksanaan pesta demokrasi lokal ini. Kesejahteraan, barangkali, menjadi kata kunci yang menjadi harapan masyarakat Tanjungpinang.

Mampukah Pilwako mengantarkan masyarakat Tanjungpinang ke titik kesejahteraan atau justru sebaliknya kesejahteraan hanyalah sebuah ilusi usai pelaksanaan Pilwako Tanjungpinang, yang direncanakan pada 31 Oktober 2012 mendatang?

Melihat dari aspek historis, lahirnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung merupakan koreksi terhadap pelaksanaan Pilwako melalui perwakilan oleh DPRD, sebagaimana yang pernah diamanatkan Undang-undang No 22 Tahun 1999. Namun, seiring perjalanan pada akhirnya semakin kentara dengan implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008.

Berpijak pada peraturan atau perundang-undangan Pilwako pun digelar secara langsung di Indonesia mulai Juni 2005. Ketika Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dipimpin oleh Moh Ma’ruf.  Pada tahun 2005 ini, berdasarkan sumber yang diekspose Depdagri, Pilwako telah dilaksanakan di 226 daerah, 197 kabupaten, 36 kota dan 179 propinsi yang diawali Pilwako di Kutai Negara, Kalimantan Timur dan ditutup Pilwako di Kabupaten Tapanuli Tengah.

Seiring perjalanan dan pelaksanaan Pilwako dan proses evaluasi yang dilakukan, Pilwako yang esensinya melahirkan pemimpin yang kuat ditingkat lokal dan diharapkan mampu memberikan efek peningkatan kesejahteraan, ternyata belum mampu membuktikan kedua hal itu kecuali hanya dibeberapa daerah tertentu saja.

Pilwako ternyata melahirkan pemimpin-pemimpin lokal yang pragmatis dan membangun dinasti korup. Esensi kesejahteraan masyarakat hingga saat ini seolah-olah hanya menjadi mimpi di siang bolong.

Wajar kemudian, muncul wacana untuk mengembalikan Pilwako langsung ini kepada DPRD khususnya untuk kepala daerah tingkat I atau propinsi. Bagi penulis, ini merupakan suatu wacana kemunduran demokrasi lokal. Seharusnya, kita harus mencari penyakit penyelenggaraan Pilwako dan kemudian membenahinya menjadi sebuah penyelenggaraan yang lebih mendekat pada titik kesempurnaan, bukan kemudian mengembalikan ke format awal.

Meminjam data BPS Tanjungpinang, yang penulis lihat di websitenya http://tanjungpinangkota.bps.go.id/ dari hasil survei PPLS jumlah kemiskinan sebanyak 5.869 rumah tangga. Angka itu terbagi menjadi 3.101 rumah tangga sangat miskin dan 1.864 rumah tangga miskin dan 904 rumah tangga hampir miskin.

Ini jelas menjadi PR untuk Cawako yang berniat maju pada Pilwako Tanjungpinang mendatang, dan di luar data itu juga penulis meyakini masih ada masyarakat miskin yang lainnya.

Ilusi Kesejahteraan

Semakin baik kualitas penyelenggaraan Pilwako, penulis pikir akan melahirkan pemimpin yang kuat dan tentunya akan berefek pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Nah inilah yang menjadi harapan kita semua. Namun muncul pertanyaan kemudian, Pilwako yang bagaimanakah yang akan melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat?

Menjawab pertanyaan ini penulis akan mencoba menjawabnya melalui pendekatan empat elemen penting dalam Pilwako, yakni KPUD, Panwas, partai politik dan pasangan calon serta masyarakat yang memiliki hak pilih.

Pertama, KPUD sebagai penyelenggara Pilwako. Melihat perannya yang begitu besar dalam Pilwako diharapkan KPUD mampu memperlihatkan independensinya dan netralitasnya. Salain itu, diharapkan juga KPUD mampu menjalankan amanah dan tugasnya dengan baik. Beberapa kasus di daerah, terkesan KPUD memihak kepada salah satu pasangan calon dan terkadang juga berat sebelah dalam memberikan perlakuan kepada masing-masing pasangan calon. Jadi, memang bicara kualitas penyelenggaraan Pilwako, KPUD punya peranan yang cukup penting dalam menciptakan kompetisi politik yang sehat.

Kedua, Panwas. Peran Panwas kerap kali hanya sebagai simbol seolah-olah penyelenggaraan Pilwako sudah diawasi dengan sempurna dan acapkali laporan-laporan dari Panwas juga relatif tidak didengar karena memang ada aturan-aturan yang melemahkan fungsi Panwas. Dan pembentukannya juga terkadang terlambat. Sebagaimana yang dikutip Leo Agustino (2009: 133) Pasal 7 Undang-undang No. 32 tahun 2004, Panwas Pilwako dibentuk oleh dan bertanggungjawab serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada DPRD.

Secara lebih rinci ketentuan ini juga tertuang dalam PP No. 6 tahun 2005 Pasal 104 ayat (2). Menurut pasal ini, DPRD lah yang membentuk Panwas Pilwako sehingga kemudian memunculkan dilema tersendiri dan terkesan Panwas Pilwako jauh dari kesan independent, sehingga keberadaannya membuat nyaris tak bertaji. Anggaplah memang ini suatu takdir yang harus dilakoni dalam rangka memenuhi standari demokrasi yang prosedural, tapi ke depan memang hal ini harus diperbaiki.

Ketiga, pasangan calon dan partai politik. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita membutuhkan pasangan calon pemimpin yang kuat. Kuat dari berbagai sisi, baik politik maupun ekonomi. Pasangan calon harus bermental entrepreneurship dan memiliki pengalaman yang cukup untuk mengatur birokrasi yang merupakan roda yang menjalankan pemerintahan di daerah. Ini sangat penting, tapi ini juga sangat tergantung dengan peran partai politik, selama ini partai politik kurang mampu memaksimalkan perannya sebagai wadah pendidikan politik bagi masyarakat atau kadernya.

Terbukti, sebagian besar partai politik lebih menjagokan tokoh-tokoh populer bahkan artis untuk diusung menjadi bakal calon kepala daerah dibandingkan kader sendiri. Inilah titik kelemahan, mesin partai tidak berjalan begitu efektif. Figuritas terkadang menjadi faktor penentu yang menentukan bakal calon kepala daerah bisa menang atau tidak dalam kompetisi. Ke depan, barangkali partai politik perlu mengedepankan kualitas pasangan calon dan bisa lebih menghidupkan mesin partainya.

Keempat, masyarakat pemilih. Nah, masyarakat yang sudah memiliki hak pilih juga harus cerdas dalam menyikapi siapa bakal calon yang akan mereka pilih. Mereka harus benar-benar kenal dengan siapa bakal calon yang akan mereka pilih kelak, tidak hanya sekedar populiritas di media tapi tahu persis apa yang akan dilakukan bakal calon walikota yang mereka pilih, seandainya terpilih menjadi kepala daerah kelak. Kecerdasan masyarakat pemilih ini juga bisa dilihat bagaimana mereka menyikapi politik uang pasangan calon.

Sebuah fenomena yang cukup menarik, saat ini pasangan calon yang memberikan uang tidak menjadi sebuah jaminan untuk menang karena terkadang uangnya saja diambil, tapi soal pilihan ternyata tidak bisa dipaksakan.

Nah, kekuatan kecerdasan pemilih ini bisa juga mendorong lahirnya kepemimpinan yang kuat yang lebih memprioritaskan rakyat dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakannya. Setiap elemen di atas memang harus saling dikuatkan, tidak bisa tidak. Jika tidak, Pilwako yang diharapkan akan melahirkan kepemimpinan yang kuat dan kesejahteraan hanyalah sebuah khayalan atau ilusi masyarakat pemimpi. Semoga kita memahimanya!

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Riau (UR) dan Ketua Umum KAMMI Kepulauan Riau