Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Drama Korea Era Streaming, Jaya di Luar Keok di Negeri Sendiri
Oleh : Redaksi
Sabtu | 08-08-2020 | 11:44 WIB
drama-korea1.jpg Honda-Batam
Ilustrasi.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Drama Korea yang semakin marak tayang di berbagai layanan streaming akhir-akhir ini nyatanya tak selamanya memberikan dampak positif, terutama bagi industri pertelevisian lokal Korea Selatan.

Drama Korea memang makin populer di dunia internasional seiring berbagai layanan streaming berkembang, namun tren di televisi lokal justru mengalami penurunan rating.

Dahulu, rating serta sambutan hangat dari penonton menjadi salah satu faktor kesuksesan drama Korea yang kemudian jadi tahap awal untuk mendapatkan penonton internasional.

Namun, sistem tersebut sepertinya sudah tidak berlaku. Drama-drama yang berating rendah di Korea Selatan tetap berhasil menarik perhatian penonton internasional berkat layanan streaming seperti Netflix.

The King: Eternal Monarch dan It's Okay to Not Be Okay menjadi contoh dari situasi tersebut. Kedua drama yang dibintangi aktor besar seperti Lee Min-ho dan Kim Soo-hyun tersebut menjadi drama Korea terlaris di Netflix saat ini.

Beberapa drama Korea lainnya juga mendapatkan popularitas setelah diekspor atau masuk layanan streaming. The K2 salah satunya. Drama yang dirilis pada 2016 ini masuk ke salah satu serial paling banyak dicari di Netflix Indonesia saat ini.

Sementara itu, situasi menyedihkan terjadi di televisi Korea. Sebagian besar drama mengalami tren penurunan rating penonton televisi.

Drama populer di Netflix seperti The King: Eternal Monarch dan It's Okay to Not Be Okay bahkan hanya mendapatkan rating rata-rata 6-8 persen saat tayang di televisi lokal.

Drama komedi romantis dari KBS yang biasanya dengan mudah mendapatkan rating dua digit, kini sebagian besar bertahan di satu digit.

Beberapa tahun lalu, satu drama jenis itu bisa mencapai rating hingga lebih dari 30 persen. Namun, kini satu drama hanya bisa mendapatkan rating tertinggi di kisaran 15-20 persen.

Satu warga Korea yang enggan disebutkan namanya mengaku lebih menikmati menyaksikan drama Korea di layanan streaming daripada televisi. Salah satu alasannya adalah fleksibilitas waktu.

"Saya bisa menyaksikan drama, bahkan acara TV dari AS dan Eropa kapan saja saya mau. Saya tidak sering menonton TV karena kurang memiliki karakteristik yang membedakan dan juga terlalu banyak penempatan iklan di dalamnya," ucapnya.

Hal tersebut ditanggapi petinggi industri drama Korea. Kepada Korea Times, ia mengatakan perubahan tren penonton membuat rating bukan lagi menjadi penilaian mutlak bagi sebuah drama.

"Jaringan televisi lokal bahkan telah menurunkan target rating. Kalau dulu, mereka memberikan insentif kepada tim produksi apabila mencapai 20 persen. Tapi sekarang itu sudah diturunkan karena mengetahui terjadi perubahan," tuturnya.

Kondisi itu membuat rumah produksi cenderung bekerja sama dengan layanan streaming, terutama Netflix, untuk menutup sebagian besar bahkan seluruh biaya produksi.

Drama-drama Korea yang diproduksi Netflix juga tak pernah sedikit dan hasilnya bisa disaksikan warga 190 negara.

Sedangkan jaringan penyiaran di Korea Selatan, terutama di tengah pandemi, maksimal hanya menanggung 60-70 persen biaya produksi.

Hal tersebut yang akhirnya membuat banyak produk disisipkan sebagai iklan di setiap episode drama yang tayang di televisi.

"Sehingga daripada berusaha meningkatkan jumlah penonton di Korea, perusahaan produksi berusaha mendiversifikasi platform untuk menjangkau penonton yang lebih luas," ucapnya seperti dilansir Korea Times.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Yudha