Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Teorema Idul Fitri
Oleh : Dr. Muchid Albintani
Senin | 25-05-2020 | 12:04 WIB
muchid-lagai1.jpg Honda-Batam
Dr. Muchid Albintani saat menghadiri pertemuan ilmiah di Turki. (Foto: Ist)

MENYAMBUT sekaligus merayakan Idul Fitri kali ini amat sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Keberadaan pandemi C-Songolas [Covid-19] merupakan variabel signifikan penyebab perbedaan tersebut.

Dalam konteks akhir zaman Idul Fitri kali ini, tidak lagi dapat dimaknai hanya sebatas menyambut atau merayakan, melainkan kecenderungan pilihan: menyeimbangkan, lebih cinta dunia atau utamakan akhirat?

Esai akhir zaman ini berupaya menelaah ihkwal kecenderungan cara memahami pola hidup yang berhubungan prilaku Ummat Islam menyambut Idul Fitri di tengah-tengah keberadaan C-Songolas.

Dalam konteks kecenderungan pilihan inilah perbandingan yang selalu dikemukakan alim ulama antara berkunjung ke tempat keramaian [mal, pasar dan lainnya] dengan tempat ibadah menjadi penting ditelaah. Penelaahannya didasarkan jika perbandingan ini menjadikan Idul Fitri kali ini sebuah Teorema.

Istilah Teorema populer digunakan pada lingkup ilmu eksakta, tepatnya dalam hukum-hukum pelajaran matematika. Pentingnya Teorema untuk membantu cara berpikir logis [atas dasar hukum matematika]. Pada sisi lain, istilah Teorema ini juga menjadi populer dalam ilmu sosial.

BACA: Kamera dan Hisab

Mempermudah pemahaman, Teorema secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah pernyataan yang dapat dibuktikan atas dasar realitas keseharian. Ataupun sebuah realitas sosial yang keberadaannya tidak dapat dibantah [menjadi sebuah kebenaran logis], atau sesuatu yang aksiomatis [tak dapat dibantah].

Sementara, secara etimologis makna Idul yang asalnya dari kata 'Ied' ini, umum difahami menjadi hari raya. Sementara 'Idul' dalam bahasa Inggris dimaknai dengan 'Eid' yang artiya lebaran.

Sedangkan Hari Raya dalam bahasa Arab dimaknai menjadi Walimah. Bersandarkan makna etimologisnya jika pengertian Idul yang dalam bahasa Indonesia, agak sudah dicari akar kata aslinya dalam bahasa Arab.

Adapun Fitri selalu dimaknai berbuka puasa atau lebaran. Ini disebabkan oleh kebiasaan berbuka secara massal setelah sebulan kaum muslimin menjalankan ibadah sakral berpuasa. Maka menjadi relevan apabila perasaan bahagia saat berbuka di waktu Maghrib selama sebulan diakumulasi pada 1 syawal pada Hari Raya Lebaran [Idul Ftiri].

Berupaya mencermati pengertian Teorema dan Idul Fitri inilah menjadi sejalan manakala berbagai aktivitas sosial yang paradoks, kontroversi, dan berbau negatif di tengah-tengah pandemik menjadi Teorema Idul Fitri. Sudah menjadi Sesuatu yang aksiomatis di tengah pandemik jika pulang kampung [mudik], dan berbelanja lebaran, misalnya adalah Teorema Idul Fitri.

Bersandar pada Teorema Idul Fitri dan pandemik C-Songolas terkait akhir zaman [kiamat], menurut hemat saya terdapat dua hubungan paradoks-transenden. Pertama, ikhwal membandingkan tempat ibadah [masjid, musala] dengan tempat keramaian [khususnya mal]. Logika membandingkan antara masjid, tempat ibadah, dan mal, tempat berbelanja menyebabkan terjadinya paradoks-transenden.

Polemik pelarangan beribadah di masjid, sementara mal tidak adalah sebuah yang paradoks-transenden. Realitas ini dimaknai jika perbandingannya, bukan saja tak seimbang, melainkan juga tidak relevan. Belanja ke mal mereprsentasikan aktivitas dunia yang hedonis-konsumeris.

Sementara beribadah ke masjid mengutamakan yang transenden [akhirat]. Dalam konteks ini jangan dimaknai jika pelarangan tersebut menunjukkan sebuah ketidakadilan. Pelarangan juga jangan dimaknai sebuah diskriminasi.

Menuurut hemat saya, inilah realitas akhir zaman. Realitas ini bukan untuk dituntut dalam konteks keadilan, melainkan sebuah Teorema Idul Fitri yang mencirikan [karakter] akhir zaman.

Kedua, ikhwal tempat yang menjadi perbandingan masjid dan mal. Dalam hubungan dengan pelarangan, tidak bijak nan arif memperbandingkan masjid dan mal. Masjid adalah 'rumah Allah', sementara mal simbol kapitalisme yang berorientasi materialistik.

Seharusnya sesuatu yang esensi dipermasalahkan adalah persoalan frekuensi dan tingkat keajekan [keseringan] interaksinya [social distance].

Menurut hemat Saya dalam hubungan yang lebih penting, esensi yang wajib dicermati oleh para ulama adalah C-Songolas ini produk makar yang boleh jadi masih seimbang antara 'tentara Allah' atau 'tentara kaum globalis'.

Manakala 'tentara Allah' yang menjadi pertanyaan: mengapa tawaf sampai dihentikan? Sementara jika 'tentara kaum globalis': apakah benar C-Songolas sebagai bagian dari perang [senjata] biologis, vaksinnya belum ditemukan?

Pertanyaannya: apakah C-Songolas "tentara Allah" atau "tentara kaum Globalis"? Tepuk dada tanya selera. *


Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.

Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.

Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***