Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

INDONESIA NEGARA AUTOPILOT

Akan Terbang Kemanakah Negeri Ini
Oleh : Redaksi
Jum'at | 11-05-2012 | 10:46 WIB

Oleh: Ari Pianto

BEBERAPA bulan lalu, di media online marak dibicarakan negara autopilot. Dikatakan Indonesia kini bukan cuma negeri autopilot, melainkan negeri tanpa pilot. Baca saja di Harian Rakyat Merdeka edisi 31 Januari 2012 diberitakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata bukanlah pilot yang sebenarnya. Pasalnya, selama tujuh tahun memerintah, dia sama sekali tidak menunjukkan kualitas seorang pemimpin yang mampu membawa Indonesia menjadi negara besar dan rakyatnya sejahtera sesuai amanat konstitusi.

Dalam sebuah diskusi yang menghadirkan ahli Timur Tengah Zuhairi Misrawi, mantan anggota DPR Muhammad Misbakhun, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, dan pakar hukum pidana/pencucian uang Yenti Garnasih, yang bertemakan 'Menyelamatkan Negeri Auto Pilot, Negara dalam Bahaya' yang diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0 pada Selasa (31/1/2012) lalu.

Menurut Misrawi, sejauh ini tidak satu pun amanat konstitusi itu dilaksanakan SBY. Soal mencerdaskan kehidupan bangsa, misalnya. Bagaimana mungkin bisa dicapai, kalau biaya pendidikan sangat mahal. Apalagi bicara soal memajukan kesejahteraan umum. Faktanya, beban hidup rakyat kian lama kian berat. Artinya, dalam tujuh tahun terakhir Indonesia tidak memiliki pilot, kondisi negara tanpa pilot ini harus diakhiri. Pembakaran komplek perkantoran Kabupaten di Bima, adalah sesuatu yang menggetarkan.

"Saya bayangkan, peristiwa Bima itu terjadi di Istana Negara. Soalnya kondisinya sama persis. Waktu kantor bupati dibakar massa, bupatinya tidak berada di tempat," katanya.

Hal senada juga sampaikan Misbakhun, mantan anggota DPR. Menurut dia, apa yang terjadi di Bima adalah sebuah pelajaran berharga sekaligus ironi bagi Jakarta. Setiap hari, di Jakarta orang meneriakkan pemberantasan korupsi, reformasi bahkan revolusi. Namun sejauh ini semua hanya sebatas ucapan belaka.

Sejatinya syarat-syarat untuk terjadinya revolusi di Indonesia sudah lengkap, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lain sudah bisa disebut satu suara tentang revolusi. Tapi sayang, semua gerakan itu masih terpisah-pisah bagai ada partisi yang menghalangi. Perlu satu tokoh besar yang bisa menyatukan semua gerakan tersebut, sehingga bisa benar-benar menjadi kekuatan rakyat yang dahsyat untuk menyudahi rezim sekarang.

Istilah negara autopilot mencuat sejak beberapa pekan silam. Ini untuk menggambarkan negara bak berjalan sendiri tanpa kontribusi pemerintah. Indikasinya rakyat dibiarkan memecahkan berbagai persoalan yang membelit mereka tanpa bantuan pemerintah. Negara juga sering absen pada saat terjadi berbagai kekerasan yang terjadi, baik yang dilakukan aparat keamanan maupun sesama warga negara.

Selama ini DPR tidak menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol eksekutif. Yang terjadi, justru DPR menjadi bagian bahkan sumber masalah itu sendiri. Parahnya lagi, DPR juga telah dibajak para elit eksekutif. Bayangkan, 560 anggota DPR, hanya sekitar 9-10 orang saja yang mendominasi.

Para tokoh politik yang kritis menilai negeri ini ibarat pesawat tanpa pilot alias dikendalikan dari jarak jauh (autopilot). Pilot yang mereka maksud adalah presiden. Namun, dalam konteks kepemimpinan nasional, pihak yang harus bertanggung jawab bukan hanya presiden, melainkan juga pimpinan lembaga legislatif dan yudikatif.

Di negara ini, memang ada para pemimpin formal namun tidak ada kepemimpinan substansial, yakni kepemimpinan yang menjalankan peran dan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif secara konstitusional. Akibatnya, rakyat tidak mendapatkan haknya, yakni hak untuk dilindungi, disejahterakan dan dicerdaskan.

Krisis Tiga Lembaga

Rakyat juga tidak mendapatkan gambaran atau pengetahuan tentang cita-cita rezim ini. Mau dibawa ke mana negeri ini? Ini menjadi pertanyaan krusial yang mencemaskan dari hari ke hari. Pada dimensi eksekutif, negeri ini beroperasi tanpa orientasi kesejahteraan rakyat, kecuali kesejahteraan penguasa. Ibarat pesawat, negeri ini terbang di bawah remote kekuatan eksternal (asing) atau para penguasa modal yang tamak dan anti kemanusiaan. Rakyat sebagai pemiliki sah 'maskapai penerbangan' diposisikan sebagai korban yang tidak punya pilihan, kecuali mengikuti pesawat yang terbang oleng dan patuh pada pemaksaan para pembajak. Yang menjadi pertanyaan kita, di manakah sang pilot

Pada dimensi legislatif, negeri ini tak lagi memiliki kekuatan kontrol atas praktik penyelenggaraan negara yang auto-pilot dan pelbagai pembajakan hak-hak rakyat. Para aktor legislatif terkadang justru menjadi pendukung para pembajak kesejahteraan publik. Mereka harus sering berhadapan dan konflik dengan rakyat yang (semestinya) menjadi majikannya.

Selain itu, para legislator telah menjelma menjadi entitas elitis dan ekskusif. Tingkah laku mereka tak beda dengan para majikan atau penguasa: serba menuntut dilayani dengan fasilitas mewah. Mereka juga gemar menyusun anggaran domestiknya dengan pertimbangan subjektif: serba besar. Untuk merenovasi ruangan badan anggaran saja mereka membutuhkan Rp 20,3 miliar. Kursi yang mereka pakai diimpor dari luar negeri (produk Jerman) dengan harga Rp 24 juta/buah. Setelah dicek di lapangan, harga kursi itu ternyata hanya Rp 9,1 juta (Kompas, 19/1).

Ini menjadi salah satu indikator bahwa para wakil rakyat telah kehilangan sensitivitas dan kejujurannya. Di tengah penderitaan rakyat, mereka tega berfoya-foya menggunakan uang rakyat.

Dimensi yuridis, negeri ini ibarat koloni bagi para pemangsa  kebenaran dan keadilan. Hukum berjalan berdasarkan remote kekuasaan dan uang, bukan kebenaran dan rasa keadilan. Hukum hanya galak kepada kaum lemah, namun ramah kepada kelompok kuat dan berlimpah uang. Para penegak hukum hanya berani mengayunkan pedang keadilannya untuk rakyat kecil, tapi tak punya nyali melibas koruptor-koruptor besar dan kuat.

Untuk kasus pencurian sandal jepit, cacao, pisang, kayu bakar dan barang-barang remeh lainnya yang melibatkan wong cilik, mereka begitu ‘heroik’ mewujudkan supremasi hukum. Namun menghadapi koruptor besar, mereka melempem. Mereka menjadikan peradilan sesat sebagai bursa untuk menggaet keuntungan finansial.

Negeri auto pilot merupakan analogi dari sebuah negara. Dalam hal ini negara dianalogikan sebagai sebuah pesawat terbang. Pilotnya adalah seorang pemimpin negeri, staff-nya adalah anggota legislatif, dan rakyat dianalogikan sebagai penumpangnya. Dalam sebuah penerbangan, maka pilot dan co-pilot yang duduk di copit pesawat memiliki peran yang sangat vital, mengapa? Hal ini karena pilotlah sebagai penentu arah hendak ke mana pesawat akan terbang dan pilot pulalah yang menentukan selamat atau tidaknya sebuah penerbangan.

Apabila dianalogikan sebagai negeri auto pilot, maka dapat ditarik dengan berbagai definisi. Pertama, negeri auto pilot adalah negeri yang yang berjalan sendiri secara otomatis tanpa adanya pemimpin pilot yang mengendalikannya. Secara garis besar, analogi ini mungkin saja benar. Secara umum pemerintah dinilai gagal dan seakan "lepas tangan" dalam mengatasi persoalan bangsa. Pemerintah seakan "antara ada dan tiada". Maksudnya, pemerintah dianggap ada ketika ada hal yang membanggakan negeri ini.

Ambil saja contoh SEA GAMES yang baru-baru ini dihelat di Indonesia, pemerintah mengklaim bahwasanya keberhasilan pelaksaan dan keberhasilan menjadi juara umum adalah salah satu program pemerintah yang berhasil dilaksanakan. Hal ini memang benar adanya karena tidak dapat dipungkiri pemerintah telah berusaha dalam memenuhi berbagai kebutuhan saat seagames. Namun tentunya pemerintah dinilai terlalu "berkepala besar" dengan adanya klaim tersebut.

Tetapi pemerintah seakan "tiada" apabila sudah dihadapkan kepada kasus korupsi besar yang terjadi di negeri ini. Apalagi kasus korupsi yang terkait dengan kader salah satu partai besar di negeri ini, pemerintah seakan "cuci tangan" bahkan seakan tidak terlihat di mana peran pemerintah dalam penanganan kasus besar ini. Alih-alih, pemerintah menyatakan dengan lugas "serahkan semuanya kepada hukum" hukum harus ditegakkan. Tetapi realitasnya keadilan hukum itu seakan tidak ada.

Maka seakan negeri ini berjalan tanpa adanya pemerintah yang mejadi pilot dalam penerbangan sebuah negeri "Pancasila" ini. Tetapi sebagai warga negara yang baik, kita harus juga memberikan kritik secara proporsional. Artinya kita tidak boleh mengkritik secara buta. Tentunya ada prestasi yang diukir pemerintahan rezim saat ini yang memiliki dampak luas bagi masyarakat secara keseluruhan. Seperti angka pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6 persen. Dan prestasi-prestasi lain yang diukir oleh rezim  pemerintahan saat ini.

Kedua, negeri auto-pilot adalah negeri yang mampu berjan sendiri tanpa adanya pemerintah. Di salah satu jembatan penyebrangan di kawasan Kuningan Jakarta, (Media Indonesia edisi Selasa 10/1) terdapat sebuah panduk yang tidak diketahui siapa yang memasang spanduk tersebut. Di sana tertulis secara jelas "NEGERI AUTO PILOT". Guru Besar Psikologi Politik Univesitas Indonesia mengatakan bunyi spanduk itu menunjukkan kegusaran masyarakat terhadap rezim saat ini.

Masyarakat beranggapan bahwa tanpa pemerintah pun negeri ini bisa terus berjalan. Ekonomi terus tumbuh dan rakyat masih bisa makan. Rezim ini dinilai miskin prestasi. Seolah-olah pemerintah tidur dan kehidupan berjalan seperti biasa. Inilah sinyal yang coba dikirim lewat sinyal spanduk itu. Hamdi mewanti-wanti pemerintah agar segara mencari solusi tepat bagi persoalan kerakyatan, jika tidak ingin kegusaran ini menjadi kegusaran masyarakat bereskalasi radikal (Media Indonesia edisi Rabu 11 Januari 2012)

Kegagalan Negara Mengelola Rakyat

Di awal tahun 2012 berkembang aksi massa dengan eskalasi massif dari kalangan mahasiswa, buruh, tani dan nelayan. Desakan perbaikan taraf kesejahteraan hidup menjadi agenda strategis yang diperjuangkan. Adanya aksi itu menegaskan agar pemerintah segera mengidentifikasi dan mencari solusi tepat bagi persoalan kerakyatan jika tidak ingin kegusaran masyarakat bereskalasi menjadi lebih radikal dan anarkis.

Kegagalan negara mengelola rakyat membuat Indonesia bagaikan negeri auto pilot. Sebuah negeri tanpa pemimpin yang jelas dan berjalan sendiri tanpa tujuan yang jelas ke arah mana. Negeri di mana rakyat tidak tahu arah sedangkan para pemimpinnya masa bodoh dengan keadaan yang ada. Rakyat mulai merasakan kegusaran mendalam karena kebijakan pemerintah gagal menyejahterakan rakyat.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bagus sempat diklaim pemerintah. Tapi jika kita sadar, itu bukan karena jasa pemerintah tetapi disebabkan tradisi masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif. Perekonomian stabil karena masyarakat bekerja tanpa adanya arahan dari negara. Perekonomian dikendalikan asing sehingga ekonomi Indonesia cenderung liberal.

Indonesia sekarang membutuhkan tokoh reformis. Sosok pejuang yang mampu memimpin Indonesia dan memiliki gagasan perubahan. Sebab pasca Soekarno yang menelurkan gagasan "Revolusi" dan Soeharto dengan gagasan "Pembangunan", pemimpin Indonesia "bersih" dari narasi besar perubahan. Mereka gagal memfirasati diri dan bangsanya sehingga memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya semata.

Selain pemimpin reformis, Indonesia memerlukan kemunculan gerakan yang mampu bersekutu dengan akar rumput. Gerakan yang mampu membela hak rakyat yang dilanggar negara. Gerakan itu harus dipimpin seorang pemimpin yang berani melawan dominasi asing dan memperjuangkan hak rakyat. Jika tidak, maka alamat palsu kepemimpinan nasional bersiap terjadi dan Indonesia berkembang menjadi negara gagal. Pemerintah rasanya perlu disadarkan perkataan John Gastil dalam The Jury and Democracy yang menyebutkan partisipasi publik adalah kekuatan dari sebuah masyarakat demokratik.

 

Penulis adalah Wakil Bidang Litbang dan Infokom Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)