Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Gaya Tawaf
Oleh : Dr. Muchid Albintani
Senin | 27-04-2020 | 11:16 WIB
muchid-sing.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Dr. Muchid Albintani. (Foto: Ist)

RILIS terbaru organisasi kesehatan dunia, WHO yang tersebar, dan banyak dikutip media menyebutkan bahwa, C-Songolas [Covid-19] bukan buatan manusia. Pertanyaannya: lalu buatan siapa?

Esai akhir zaman "Gaya Tawaf" ini, tak hendak menjawabnya. Esai ini berupaya mengulas-kilas keterhubungan tawaf dan gaya yang mengitarinya. Hemat saya, tawaf dan akhir zaman, tidak hanya memiliki keterhubungan imanen [ke-dunia-an], melainkan lebih pada transenden [ke-akhirat-an].

Oleh karena itu, gaya yang dimaksud dalam konteks tawaf adalah akumulasi ke-tawaduk-an manusia kepada khalik-nya. Ke-tawaduk-an ini merefleksikan sebuah kekuatan yang tak terhingga.

Wujud kekuatan tersebut, tidak dapat dilogikakan [rasional] semata, karena masuk ke wilayah supra-rasional [iman]. Dalam konteks inilah yang dapat merasakan energi, kekuatan atau tenaga tawaf hanyalah manusia yang beriman, teristimewa yang sedang melaksanakan tawaf.

Oleha karena masuk pada aras supra-rasional, tawaf dimaknai sebagai representasi formulasi gaya [gerakan adi-kodrati, karena semua materi termasuk atom juga bertawaf], yang memunculkan tenaga super besar. Berkurangnya gerakan [gaya] ini, dan kemudian mengecil, atau bahkan berkurang, apalagi lalu menghilang akan sangat mengganggu keseimbangan bumi.

BACA: DNA Setan

Rahasia terbesar hubungan tawaf dan gaya yang mengitarinya adalah fonemana "tenaga alam" yang tak kasat mata. Oleh karena tak kasat mata, maka aqal, tidak akan mampu memahami, kecuali hanya merasakan sedikit.

Itulah sebabnya, orang kafir [kaum rasionalis selevel profesor], sampai saat ini enggan meneliti secara akademis hubungan minuman keras, manyantap babi, lgbt misalnya, terhadap prilaku manusia, serta hubungnnya yang selalu disebut dengan "murka alam".

Sebagai dampak keengganan itulah, pengetahuan sejauh ini tidak [belum] mampu memahami fenomena kekuatan angin, dan goncangan bumi kapan terjadi. Kaum rasionalis hanya mampu memperkirakan, dan atau mengukur kekuatan goncangan, misalnya hanya dalam wujud skala richter.

Dalam konteks ini menjadi wajar banyak para mubalig cara menjelaskan fenomena tawaf belum seimbang antara yang imanen dan yang transenden. Sehingga seolah-olah, tidak ada keterkaitan antara keduanya: rasional dan supra-rasional.

Dalam menjelaskan umumnya, para mubalig terpisah dan terfokus pada fenomena transenden saja. Padahal menurut hemat saya, Gaya Tawaf telah mampu menghubungkan [mentransformasi] analogi, antara fenomena rasional menuju supra-rasional.

Berdasarkan pada kemampuan menjembatani inilah, hemat penulis, esensi Gaya Tawaf dapat membantu memahami tiga fenomena penting. Pertama, mempersonifikasikan gaya baru dalam konteks memahami tawaf dengan hari akhir [kiamat].

Kedua, adanya "Gaya Jatuh" dengan "Gaya Angkat". Kedua gaya ini dapat menentukan jika persoalan muskil arah jarum jam dengan tawaf yang berseberangan adalah disengaja, atau ada yang mendesainnya [by design].

Ketiga, mempertanyakan gaya populer gravitasi. Gaya ini yang sering disebut dengan teori gravitasinya Newton, atau gaya tarik bumi [hukum newton], menjadi perlu ditelaah ulang terkait kebenarannya sebagai mana teori evolusinya Darwin.

Hemat penulis yang ada adalah "Gaya Jatuh" [turun], dan "Gaya Angkat" [tarik]. Bumi diciptakan karena adanya "Gaya Jatuh". Inilah esensi energi tawaf mempengaruhi keseimbangan bumi.

Pertanyaannya: Bagaimana jika tawaf dihentikan sementara? Tepuk dada tanya selera. *

Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.

Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.

Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***