Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Publik Kurang Berikan Sanksi Sosial Bagi Koruptor
Oleh : Surya Irawan/Dodo
Senin | 07-05-2012 | 15:14 WIB
Hajriyanto.jpg Honda-Batam

Wakil Ketua MPR RI Hajrijanto Y. Thohari.

JAKARTA, batamtoday - Ternyata sanksi yang diberikan pada koruptor selama ini justru tidak membuat jera atau kapok untuk koruptor, karena hukuman yang dijatuhkan masih ringan. Seperti halnya yang diberikan kepada mantan bendahara umum Partai Demokrat (PD) M Nazaruddin yang merugikan keuangan negara puluhan miliar rupiah hanya dihukum 4 tahun penjara dan Rp200 juta.

Sedangkan yang melanggar asusila seperti kasus porno telak; orang bersangkutan langsung dipecat, ditolak di tengah masyarakat dan akhirnya terkucil. Karena itu selain UU, butuh pemimpin yang kuat dalam pemberantasan korupsi tersebut.

“Sanksi sosial politik bagi pelanggar asusila begitu dahsyat, tapi tidak demikian dengan koruptor. Malah, posisinya sebagai pimpinan partai dan pejabat tetap dipertahankan. Faktor budaya bangsa ini tidak mendukung pemberantasan korupsi. Untuk itu, meski sudah studi banding ke negara bersih di luar negeri, namun tetap saja melakukan korupsi. Jadi, selain UU, butuh pemimpin yang kuat dalam pemberantasan korupsi tersebut,” tandas Wakil Ketua MPR RI Hajrijanto Y. Thohari dalam diskusi penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN bersama anggota FPAN DPR Teguh Juwarno di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (7/5/2012).

Menurut politisi Golkar ini, sanksi sosial untuk koruptor itu masih ringan. Padahal, infrastrukturnya termasuk regulasi, UU nya sudah memadai termasuk UU soal pencucian uang dan pembuktian terbalik. Karena itu kata Hajrijanto, harus ada langkah-langkah dan kerja-kerja budaya dan struktural dalam pemberantasan korupsi tersebut. “Bahkan kritik pun tak berpengaruh signifikan pada koruptor, maka selain pemimpin yang kuat juga yang berkarakter,” tambah Hajrijanto lagi.

Teguh mengakui jika dalam pemberantasan korupsi tersebut membutuhkan pemimpin yang kuat dan berkarakter disamping aturan perundang-undangan yang memadai. Selain itu koruptor itu harus dimiskinkan sampai titik nol di mana seluruh kekayaannya dengan pembuktian terbalik dan UU pencucian uang tersebut harus dikembalikan kepada negara. “Pemimpin yang kuat meliputi presiden, kejaksaan, kepolisian, KPK, dan penegak hukum lainnya termasuk penyidik,” ujarnya.

“Kalau pemimpin tersebut tidak kuat, tidak bersih dan tidak berkarakter,  ditambah lagi motivasi seseorang untuk menduduki jabatan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah karena ekonomi dan ingin kaya, maka kita pesimis penylenggara negara ini akan bersih dan bebas dari korupsi. Bayangkan, APBN sebesar Rp1.400 triliun, 60% atau Rp900 triliun hanya habis untuk anggaran rutin negara dan hanya menghasilkan kertas-kertas dan selebihnya dikorupsi,” tutur Teguh kecewa.

Dengan demikian lanjut Teguh, agar rakyat kembali memiliki kepercayaam kepada pemerintah, DPR dan penegak hukum, maka penyelenggaraan negara ini harus dilakukan secara transparan, efisien dan akuntabel serta bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat khususnya dalam penggunaan anggaran APBN tersebut.

“Seratus tahun yang lalu Amerika mengalami hal yang sama. Tapi, setelah pemerintahannya dilakukan dengan transparan, efisien, akuntabel dan bertanggungjawab, maka rakyat kembali percaya pada eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga partisipasi politik rakyat meningkat dan akhirnya proses demokrasi berlangsung baik,” ungkapnya.