Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sulitnya Indonesia Menjadi Negara Maritim
Oleh : Yoseph Pencawan
Senin | 23-04-2012 | 10:53 WIB

SEBAGAI NEGARA dengan 70% wilayahnya perairan laut, Indonesia seharusnya memiliki banyak pelaut handal. Namun sayangnya, lagu "nenek moyangku seorang pelaut" benar-benar hanya dijadikan lirik lagu bagi anak nusantara.

Guru Besar Universitas Padjajaran Prof.DR.Etty R Agoes, SH.LLM dalam diskusi bertema "Pentingnya Pembangunan di Sektor Kelautan untuk Kesejahteraan Bangsa" di Batuampar, Sabtu (21/4/2012), menuturkan, Indonesia perlu memperbanyak sekolah pelayaran untuk ciptakan penerus nenek moyang kita.

"Pelaut-pelaut Indonesia ini sebenarnya terpakai di luar negeri. Kita terkenal penurut dan jarang berontak. Ini segi positif yang harus dimanfaatkan. Tapi sayangnya orang kita dikenal cepat puas, ini yang harus dikurangi," kata Etty.

Menurut Etty, untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap laut Indonesia, perlu ditanamkan sejak usia dini. Dan ini merupakan peran Kartini-Kartini muda melalui pendidikan kepada keturunan. Terutama untuk daerah kepulauan yang begitu dekat laut seperti Batam.

"Jangan lagi ajarkan gambar sawah dan gunung. Ajar ke anak-anak kita untuk menggambar laut. Ini sederhana. Tapi dari sini bisa menimbulkan kecintaan terhadap laut," ujar Etty yang diundang dalam rangka memperingati Hari Kartini tersebut.

Pengawasan dan pengelolaan terhadap keanekaragaman hayati laut Indonesia juga dirasa sulit salah satunya karena terganjal masalah pendanaan. Sementara laut Indonesia memiliki beribu spesies hayati yang begitu menarik mata orang asing untuk memilikinya.

Tercatat setidaknya 600 jenis karang, 2.500 mollusca, 1.500 jenis crustacea atau udang-udangan, 850 sponges, lebih dari 2.000 jenis ikan, sekitar 1.300 ikan karang, 30 mamalia laut, dan 38 reptil. Diakui Etty, masalah kelembagaan yang mengelola laut di Indonesia masih sangat amburadul. Setiap instansi masih mempertahankan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) masing-masing.

Padahal hal ini sangat penting mengingat posisi Indonesia yang berbatasan dengan 10 negara tetangga. Belum adanya perjanjian garis perbatasan di beberapa wilayah Indonesia, menurutnya menjadi salah satu masalah pengelolaan perikanan kita.

Hal senada menjadi pertanyaan yang diungkapkan pengurus Kadin Batam, Heri Supriyadi. Ia mengatakan belakangan ini seperti menjadi tren dalam setiap musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) untuk berbicara soal kelautan di Kepulauan Riau. Sementara di lain sisi, masalah batas saja belum jelas hingga saat ini.

"Jadinya seperti latah. Tiap musrenbang bicara soal laut. Sekarang batas saja belum jelas. Ini membuat Kepri menjadi serba salah. Dikelola salah, tak dikelola juga sayang. Dengan yurisdiksi yang belum jelas seperti ini kami harus bagaimana menurut Ibu (Etty)?" kata Heri. Etty mengatakan sampai saat ini sudah 5-6 kali rencana disusunnya national ocean policy.

Namun masalah egoisme sektoral masing-masing intansi tadi juga yang jadi penghambat terbentuknya aturan tersebut. Menurutnya otonomi daerah yang disalahartikan juga menjadi salah satu pemicu. Bukan tidak pernah kita mendengar berita, sesama daerah di Indonesia, saling berebut wilayah laut.

Nelayan satu daerah yang diusir karena memasuki kawasan provinsi lain. Hal ini begitu miris dirasakan. "Padahal dulu begitu susahnya kita menyatukan nusantara lewat Deklarasi Djuanda. Sampai kita disebut pencuri wilayah atau teritorial grabber karena menyatukan Indonesia ini. Tapi jadinya mubazir kalau seperti ini," ujar Etty.

Oleh karena itu, kata Etty perlu kembali ditanamkan rasa persatuan Indonesia dan kecintaan terhadap tanah air. Sehingga semua potensi sumber daya yang ada bisa termanfaatkan optimal. Belum lagi pembentukan Sea and Cost Guard yang sampai hari ini tidak jelas pembentukannya.