Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Meski Amendemen Masih Pro dan Kontra, tetapi Semua Pihak Menghendaki Ada Haluan Negara
Oleh : Irawan
Minggu | 08-12-2019 | 08:32 WIB
basarah_pdip.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua MPR RI PDIP Ahmad Basarah

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menyebut jumlah pimpinan MPR Periode 2019-2024, 10 orang, merupakan pimpinan terbanyak dalam sejarah MPR di Indonesia. Dari sepuluh pimpinan MPR yang ada merupakan representasi seluruh kekuatan partai politik yang lolos dalam parlement threshold ditambah dengan kelompok DPD RI.

"Tak ada dikotomi partai besar dan kecil," kata Basarah dalam Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema ‘Pelaksanaan Rekomendasi MPR 2014-2019’ di Media Center, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta kemarin.

Pimpinan MPR sekarang menurut politisi dari PDIP itu merupakan tokoh-tokoh yang sudah mempunyai pengalaman dalam memimpin MPR maupun sebagai menteri.

“Hidayat Nur Wahid Ketua MPR Periode 2004-2009 dan Zulkifli Hasan Ketua MPR Periode 2014-2019. Zulkifli Hasan, Syarifuddin Hasan, dan Fadel Muhammad juga pernah menjadi menteri dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," katanya.

Komposisi yang demikian diakui sebagai modal dasar bagi MPR dalam melaksanakan tugas sebab mereka bukan hanya politisi namun juga negarawan.

"Sehingga produk lembaga ini bukan untuk kepentingan kelompok dan golongan namun demi kepentingan bangsa dan negara," tegasnya.

Lembaga ini mempunyai fungsi strategis seperti yang tertera dalam UUD NRI Tahun 1945. Lembaga ini juga sebagai perajut persatuan dan kesatuan bangsa.
 
MPR terus menyerap aspirasi masyarakat terkait Rekomendasi MPR periode sebelumnya untuk menghadirkan haluan negara ala GBHN melalui amandemen terbatas.

"Kami mendiskusikan diskursus mengenai itu dengan pihak-pihak yang telah dan akan kami kunjungi," ungkapnya.
 
Keinginan melakukan amandemen UUD disadari menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. "Masalah amandemen melebar hingga pada soal jabatan Presiden 3 periode hingga Presiden dipilih kembali oleh MPR," paparnya.

Sikap pro dan kontra, serta melebarnya masalah menurut Ahmad Basarah disebut sebagai hal yang sehat dalam negara demokrasi. Lembaga ini dikatakan mempunyai tanggung jawab dalam membangun peradaban demokrasi.

"Sikap pro dan kontra harus kita akui lebih baik daripada berita kekerasan yang saling mempertentangkan," tuturnya.
 
Pendapat-pendapat yang ada selanjutnya akan direspon dan dikelola untuk dicarikan jalan terbaik. Terkait Rekomendasi MPR periode sebelumnya, diakui ada beberapa sikap fraksi di MPR terkait menghidupkan kembali pola pembangunan ala GBHN.

Ada yang menghendaki dengan melakukan amandemen terbatas, ada pula cukup melalui undang-undang. Ahmad Basarah tidak ingin melihat perbedaan yang ada. Dirinya cenderung melihat persamaan. "Persamaannya semua ingin adanya haluan negara," ucapnya.
 
Meski demikian dirinya menilai bila arah pembangunan ditentukan oleh undang-undang, UU yang sudah ada diakui memiliki banyak kelemahan seperti terlalu eksekutif sentris, pembangunan hanya dibebankan kepada pemerintah.

"Padahal pembangunan perlu dilakukan oleh lembaga negara yang lain. Tak hanya itu, dalam undang-undang yang ada tak memberi sanksi bagi pihak yang tidak menjalankan," jelasnya.
 
Untuk itu perlu adanya pola pembangunan yang bisa mengikat dan menjadi panduan bagi semua. "Presiden boleh memiliki kreasi dan inovasi dalam pembangunan namun ia tidak boleh menginterupsi GBHN sebagai panduan pembangunan nasional," tuturnya.

"Pembangunan berkesinambungan bukan ditentukan oleh 3 periode jabatan Presiden namun oleh program yang berkesinambungan," pungkasnya.

Editor: Surya