Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Komite II DPD RI Desak Pemerintah Awasi Izin Pertambangan
Oleh : Irawan
Selasa | 12-11-2019 | 15:16 WIB
dpd_pertambangan.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Komite II DPD melakukan kunjungan ke Sulawesi Tenggara

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Komite II DPD RI menyoroti masalah pertambangan saat melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) 11- 13 November 2019. Dalam pertemuan di Kantor Gubernur di Kendari, Selasa (12/11/2019), Wa Ode Rabia Al Adawia Ridwan, yang juga senator dari Sultra mengingatkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk selalu mengawasi kegiatan pertambangan yang sudah diberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

"Mengapa izin usaha pertambangan masih dikeluarkan, sementara banyak pemegang izin yang beroperasi tanpa mengikuti prosedur dan aturan yang ada sehingga dampak lingkungannya terhadap masyarakat sudah mengkhawatirkan," tegas Wa Ode pada pertemuan yang dipimpin M. Judul, Staf Ahli Gubernur Sultra bidang Ekonomi dan Pembangunan.

Pernyataan Wa Ode ini sekaligus menanggapi penjelasan dari Dinas ESDM Sultra terkait pemberian 387 izin usaha pertambangan (IUP) di sejumlah kabupaten di Sultra. Setiap IUP berlaku selama 10 tahun, dan bisa diperpanjang untuk masa 10 tahun lagi.

"Seharusnya, sebelum perpanjangan izin diberikan, pemerintah harus melakukan evaluasi. Setiap memberi perpanjangan izin, prosedur harus diperketat," tambah senator dari Sultra ini.

Walhi Sultra yang hadir pada pertemuan ini menyinggung tentang pengawasan terhadap pemegang izin SIUP yang tidak berjalan.

Seyogyanya, menurut Direktur Walhi Sultra Sanahuddin ini, harus ada penegakan hukum terkait pelanggaran yang dilakukan.

Namun di lapangan, penegakan hukum tidak berjalan sesuai harapan, dengan alasan klasik yakni keterbatasan anggaran.

"Banyak izin usaha pertambangan dikeluarkan pemerintah, tapi pengawasan tidak berjalan. Penegakan hukum tidak bisa diterapkan karena tidak ada anggaran di tingkat provinsi. Dana yang cukup besar di bidang penegakan hukum ada tapi hanya di tingkat pusat atau kementerian, tidak mengalir ke provinsi," papar Sanahuddin, seraya menambahkan, gubernur mengeluarkan IUP, disertai dengan pengawasan oleh Dinas Lingkungan Hidup. "Tapi karena tidak disertai anggaran, resiko lingkungan ditanggung rakyat."

Anggota Komite II DPD RI Tamsil Linrung dan Angelius Wake Kako mengatakan, mendesak agar persoalan penegakan hukum ini harus segera dijalankan.

"Tidak bisa lagi dana penegakan hukum hanya untuk dialokasikan di tingkat kementerian, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tapi harus dialokasikan ke daerah sehingga penegakan hukum bisa diterapkan di daerah," pinta senator asal Sulawesi Selatan ini.

"Sebagai provinsi dengan izin tambang yang cukup banyak, seyogyanya anggaran penegakan hokum menjadi perhatian serius para pihak. DPD akan berusaha memperjuangkan agar kementerian mengalokasikan anggaran penegakan hukum untuk daerah," sambung Angelius, senator asal Nusa Tenggara Timur.

Pada pertemuan yang dihadiri 6 anggota Komite II DPD RI, Wa Ode yang mewakili pimpinan Komite II DPD RI, juga menyinggung tentang deforestasi atau kerusakan hutan. Berdasarkan data dan kajian di lapangan, ancaman deforestasi di Sulawesi Tenggara saat ini terjadi cukup masif sehingga sudah mendapat perhatian sungguh-sungguh.

Berdasarkan data terbaru Walhi Sulawesi Tenggara, ditemukan sekitar 640.000 hektare hutan untuk kawasan pertmbangan dan perkebunan kelapa sawit. Konsesi tambang sekitar 600.000-an hektare dan 40.000-an hektare menjadi perkebunan kelapa sawit.

Aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, telah memicu terjadinya alih fungsi lahan hutan. Wa Ode mencontohkan Kabupaten Konawe Utara.

Dari temuan Global Forest Watch, sepanjang 2001-2017 sebanyak 38.400 hektare tutupan pohon di Konawe Utara hilang.

Bahkan data Walhi menyebutkan, ada sekitar 458 hektare hutan primer di Konawe Utara yang beralih fungsi jadi area pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.

Bahkan Walhi Sultra memaparkan, alih fungsi hutan itu tak bisa dilepaskan dari maraknya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Merujuk data dari Dinas Kehutanan Sultra, saat ini ada 50 IPPKH di Bumi Anoa. Konawe Utara tercatat sebagai kabupaten dengan IPPKH paling banyak yakni 23 izin.

"Semua izin itu diberikan untuk usaha pertambangan. Sebanyak 12 izin di antaranya berada di DAS Molore dan Morombo. Keduanya bermuara ke DAS Lasolo yang meluap kala banjir," jelas Sanahuddin.

Komite II DPD RI juga mengkhawtirkan soal pencemaran di Teluk Kendari. Mengutip hasil penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Halu Oleo Kendari tahun 2017, secara kasat mata kondisi Teluk Kendari sudah sangat memprihatinkan dibandingkan 10 atau 15 tahun. Saat ini kondisi teluk kendari yang membelah Kota Kendari sudah sangat tercemar.

"Bukan hanya pendangkalan di Teluk Kendari, tapi pencemaran pun dapat terlihat dengan jelas. Saya selaku anggota Komite II DPD RI dan senator asal provinsi ini sengaja mengangkat isu ini agar penanganan Teluk Kendari, baik di tingkat pemerintah Kota Kendari melalui Dinas Lingkungan Hidup maupun Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tenggara, bisa lebih optimal," Wa Ode mengingatkan.

Selain itu, Teluk Kendari juga mengalami pencemaran limbah merkuri dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Kondisi ini berdampak luas dari kerusakan mangrove, biota laut tercemar hingga abrasi pesisir Teluk Kendari.

Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Kendari, hutan mangrove Kendari menyusut dari 525 hektar jadi 367,5 hektar. Penyebabnya, selain proses pembangunan, juga ada pengaruh bahan kimia berbahaya di akar mangrove.

"Jadi tak saja proses pembangunan yang dilakukan di pesisir pantai. Zat kimia juga mempengaruhi proses mangrove," ingat Wa Ode.

Mengakhiri diskusi, Muhammad Judul, Staf Ahli bidang Ekonomi dan Pembangunan yang mewakili Gubernur Sultra Ali Mazi, berharap kepada Komite II DPD RI untuk mendukung upaya provinsi ini dalam penganggaran, khususnya dalam rangka implementasi dari UU nomor 41 tentang Kehutanan dan UU Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Ada sekitar 2,3 juta hektar hutan di Sulawesi Tenggara yang perlu diawasi. Dengan dukungan anggaran dan disertai sumber daya manusia yang memadai, berbagai persoalan terkait penegakan hokum bisa dilakukan secara optimal," ungkapnya menutup pertemuan yang juga dihadiri para pihak, yakni dinas dan instansi terkait serta LSM.

Editor: Surya