Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

#Review Film

Le Havre, Membangun Relasi untuk Memanusiakan Manusia dalam Karya Aki Kaurismaki
Oleh : Hendra
Sabtu | 24-08-2019 | 11:16 WIB
le-havre.jpg Honda-Batam
Le Havre.

BATAMTODAY.COM, Batam - Memparafrasekan penjelasan Makbul Mubarak dalam tulisannya di cinemapoetica.com, film atau sinema, ibaratnya seni pada layaknya, ia mencatatkan peristiwa menggunakan rasa, menyilipkan empati dan imajinasi sebagai tinta dan kamera sebagai pena.

Penjelasan itu juga pernah disampaikan begawan lawas Alexandre Astruc hampir seabad lalu. Kamera sudah sepatutnya menjadi pena dari pengarangnya, dan sutradara adalah sang pengarang yang akan membawa kita kepada buah karyanya.

Bila sang pengarang dan pena sudah ada, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah bahasa. Bahasa yang akan membawa kita pada pemikiran-pemikiran di batas terakhir berupa penilaian dan pesan dari karya itu sendiri.

Seperti yang dilakukan Aki Kaurismäki, sineas asal Finlandia yang bagi saya masyhur dengan karya-karya mewakili kaum kelas bawah dan kelas pekerja, dalam bahasa keren Karl Marx disebut kaum proletariat.

Dalam film Le Havre, Aki mencoba membawa kita kepada jalan kemanusian di tengah kontradiksi kaum imigran dan pencari suaka baik di negara barat maupun Indonesia sendiri.

Tentu saja Aki tidak sejayus yang kita kira, rangkaian narasi ia selipkan sebagai dasar bagi kita untuk menjadikannya buah pikiran. Alih-alih fokus membawa kita pada kekejaman bangsa eropa akan kaum terjajah, di sini Aki membangun rangkaian relasi kemanusian yang memanusiakan manusia itu sendiri.

Le Havre adalah sinema yang bisa membantu kita memaknai arti kemanusian dan rangkaian penderitaan yang membuat mereka harus menempuh jalan yang jika kita tanyakan pada diri sendiri, pasti kita tidak ingin mengalaminya.

Mengambil latar kota pelabuhan di utara Prancis bernama Le Havre, kota ini pernah sangat begitu hancur pasca perang dunia ke II. Konon, di kota itu cuaca selalu buruk dan matahari sangat pelit bersinar.

Di kota pelabuhan yang identik dengan industri dan kaum proletariat inilah kemanusiaan itu terjalin melalui empati dan imajinasi Aki selaku sutradara pada tahun 2011. Ia tugaskan André Wilms menjadi Marcel Marx (protagonis), sosok bohemian dan penulis miskin yang akhirnya melepaskan ambisi kesusastraanya dan menetap di Le Havre.

Lepas dengan perjuangan sebagai penulis Marcel pun menjalani hidup sederhana bersama istrinya Arletty (Kati Outinen), bersosialisasi di basis sekitar dalam bar favoritnya dan memilih profesi sebagai tukang semir sepatu.

Konflik pun dimulai ketika tiba-tiba istrinya sakit parah, dan bertemu Idrissa (Blodin Miguel) seorang imigran gelap di bawah umur dari Gabon, negara bekas jajahan Perancis di Afrika. Di sinilah sisi kemanusiaan itu diuji, bersama beberapa orang di lingkup ia tinggal, orang-orang kelas bawah yang ramah, merekapun membantu perjuangan bocah Afrika tersebut untuk bertemu keluarganya yang terpisah dan telah menetap di London.

Mengenai fenomena imigran ini, dalam satu fragmen Aki cukup berani merepresentasikan gambaran nyata kasus kriminalitas dan kerusuhan yang terjadi berkenaan dengan imigran, seperti kasus pembakaran dan penghancuran tenda-tenda para imigran yang memicu kerusuhan pada tanggal 1 Juni 2015 di Perancis.

Para imigran ini keluar dari negaranya tentu dengan segala upaya, mengeluarkan uang yang banyak, bahkan melanggar hukum keimigrasian tentu ada faktor yang melatarbelakangi, meski bagi sebagian orang mereka adalah ancaman akan perekonomian, sosial dan politikal.

Pun ketika kita berbicara tentang imigran, hal ini tentu berkaitan dengan identitas yang merupakan keterkaitan antara seseorang dan kelompok-kelompok tertentu serta budayanya, sehingga akhirnya isu tentang orang-orang dari negara jajahan atau keturunan para imigran akan selalu berada di persimpangan jalan.

Identitas ini pun tidak luput dari imajinasi Aki, ia selipkan dalam sebuah interkolusi antara Marcel dan seorang imigran di tempat pengungsian tepi pantai Drunkrik, tatkala imigran tersebut menanyakan apa hal yang harus membuat ia percaya pada Marcel, "Karena mataku biru," ujar Marcel seketika.

Hal di atas merupakan pasemon (perbandingan berupa sindiran) terhadap orang eropa dengan segala supremasi keindentitasan mereka, hanya saja dalam adegan tersebut Aki berhasil membuatnya menjadi sebuah lawakan yang berisi sindiran halus terhadap penduduk asli Perancis.

Tak hanya itu, relasi kemanusiaan juga terjalin tatkala warga di basis sosial tokoh utama saling bantu membantu agar Idrissa bisa kembali bertemu keluarganya di London, bagaimana cara mereka menyusun rencana dan membangun konser amal untuk mencari dana agar bocah imigran tersebut dapat hidup normal bersama keluarganya, layaknya manusia pada umumnya.

Di akhir cerita, Inspektur kepolisian Perancis yang sedari awal bertugas mencari bocah imigran gelap tersebut untuk masuk ke dalam sel imigran dan dideportasi ke negara asal, berakhir dengan empati yang menggugah sisi kemanusiaan, tatkala ia menatap mata polos Idrissa, mata yang memancarkan kerinduan akan kehangatan keluarga, yang bingung akan kenyataan hidup yang dihadapinya.

Dan pada akhirnya, Aki kembali sukses mengajak kita berpikir tentang nasib Idrissa (bocah imigran gelap) tersebut, apakah ia sampai ke London bertemu keluarganya atau tidak, karena Aki memilih menghantarkan bocah tersebut kepada kita yakni dengan cara meninggalkan adegan terakhir sang bocah di tengah lautan menatap jauh pada Le Havre, pada orang-orang yang telah menujukkan sisi kemanusian mereka dengan cara memperjuangkan impiannya.

"Bahagia atau tidaknya hidup ini, kita tetap harus layak untuk merayakannya," anonymous.

Editor: Gokli