Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ditemukan 12 Titik Rawan Penyalagunaan Kewenangan

DPR : Penyimpangan Pajak dari Pusat Sampai Daerah
Oleh : Surya
Rabu | 26-01-2011 | 12:10 WIB
ketua_badan_anggaran_dpr_melchias_markus_mekeng_101216181423.jpg Honda-Batam

Ketua Panja Perpajakan Komisi XI Melchias Markus Mekeng yang juga Ketua Badan Anggaran DPR

Jakarta, Batamtoday - Ketua Panja Perpajakan Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng mengatakan panja yang dipimpinnya menemukan 12 titik rawan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi di bidang perpajakan di jajaran Direktorat Jendral Pajak, Kementerian Keuangan Keuangan. Penyimpangan ini, terjadi diseluruh jajaran pajak mulai dari daerah sampai pusat.

“Kami menemukan dari pemetaan yang kami lakukan sedikitnya 12 titik penyelewengan di jajaran dirjen pajak. Penyelewengan ini terjadi di seluruh jajaran pajak mulai dari daerah sampai pusat yang  menyebabkan kerugian Negara triliunan rupiah,” ujar Melchias yang juga Ketua Badan Anggaran DPR dalam keterangannya kepada wartawan bersama jajaran anggota panja, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Kedua belas titik tersebut dimulai dari proses pemeriksaan, penagihan, account representative dan pengadilan pajak. Pertama, petugas pajak dalam pemeriksaan berpeluang melakukan permainan dengan cara mengobral temuan yang belum tentu benar. Selain itu temuan yang tidak bisa dianggah oleh wajib pajak biasanya juga bisa dinegosiasikan sehingga temuan yang seharusnya masuk dalam kertas kerja tersebut kemudian tidak dimasukkan dalam kertas kerja.

“Ketidakprofesionalan pemeriksa karena kurangnya kemampuan atau integritas rendah menyebabkan rendahnya mutu pemeriksaan dan ketetapan yang tidak berdampak keberadaan atau banding wajib pajak. Kami juga menemukan jawaban konfirmasi termasuk kasus faktur pajak fiktif,” ujar Politisi Golkar ini.

Selanjutnya yang mungkin juga dimainkan adalah pada proses penagihan, pembayaran masuk ke kantong pribadi petugas pajak dengan menghilangkan kohir. Pada proses account representative terjadi negosiasi proses softenforcement (himbauan atau counselling) dan menjual data.

Panja menurutnya juga menemukan adanya kesengajaan wajib pajak pada proses pengadilan pajak untuk tidak memberikan data ketika proses pemeriksaan dan  keberatan. Data itu biasanya diserahkan ketika proses banding untuk mengulur penerbitan SK, pembayaran bunga lebih besar dan tidak tersediannya berita acara persidangan untuk konsumsi public maupun DJP, sehingga keputusan hakin dimungkinan berbeda dengan jalannya persidangan.

Kedua, keberatan pajak yang biasanya digunakan wajib pajakuntuk memberikan dokumen pendukung yang tidak sempat dilakukan dalam proses pemeriksaan. Petugas atau peneliti umumnya lebih lunak dan sering ada oknum yang mennawarkan kerjasama. Keberatan juga sering ditolak karena bila diterima secara psikologis hal itu berarti mengakui mutu pemeriksaan tidak benar.

“Yang ketiga adalah banding pajak dimana kerja sama biasanya dilakukan antara wajib pajak, staf secretariat, panitera dan hakim. Semuanya adalah prajurit lapangan banteng sehingga tidak sulit bagi oknum pajak atau konsultan yang biasanya eks orang pajak untuk masuk jaringan mereka,” tegasnya.

Titik-titik rawan lainnya, adalah pada pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak. Penuntutan kejaksaan yang sengaja dibuat bolak balik  sehingga prosesnya panjang dari P19 ke P21. Dalam persidangan di pengadilan negeri pun biasanya para petugas bermain bukti dan saksi dan formalitas, wajib pajak plus konsultan pajak baik liar resmi maupun oknum pajak turut membantu wajip pajak menghindari pajak. Oknum pejabat pajak  pun bermain sebagai konsultan bahkan pensiunan pajak eselon III keatas
mendapatkan brevet konsultan pajak dimana kemudian mereka kembali bisa bekerja sama dengan almamaternya.

“Oknum pajak bekerja sama dengan orang dalam khususnya dibanding dan keberatan.Berkas banding diserahkan kepada hakim tertentu. Ada juga permainan rekayasa akutansi dan permainan melalui fasilitas pajak. Dalam permainan fasilitas pajak ekspor yang dikenakan ppn 10% seluruhnya direstutsi meskipun menggunakan faktur pajak benar tapi ekspornya tidak benar. Yang terakhir adalah bermain melalui peratura pajak melalui pasal pesanan,” tegasnya.

Selain itu pansus juga menemukan sulitnya mengurus pengembalian restitusi pajak bahkan ada yang sampai 2,5 tahun. Hal ini menambah beban Negara karena Negara kemudian berkewajiban untuk membayar bunga restitusi tersebut.

“Kami juga sering menemukan wajib pajak diintimidasi jika mengajukan resitusi pajak, dimana petugas seringkali mengancam untuk melakukan pemeriksaan ulang dan sebagainya. Praktek negosiasi dengan penawaran untuk membagi 50:50 diantara petugas dan wajib pajak. Kami juga  menemukan diseluruh daerah dasar penetapan nilai jual objek pajak untuk rumah dan tanah tidak jelas dasarnya dan penetapan pajak bumi dan bangunan pun tidak memiliki dasar," tegasnya.

Dalam melaksanakan tugasnya panja perpajakan pun menghadapi kendala dari dirjen pajak Mohommad Tjiptardjo khususnya terkaita data kasus-kasus yang berkaitan dengan wajib pajak dimana dirjen pajak menanggap permintaan panja pajak dalam perspektif penafisiran yang dipersempit tanpa melihat
urgensi masalahnya dari tugas dan  wewenang konstitusional DPR untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan dalam kaitannya dengan mendukung reformasi birokrasi dan instruksi presiden sehingga bukan saja dirjen pajak berulang kali menolak permintaan tersebut.

“Dengan alasan permintaan kami tersebut bertentangan dengan pasal 34 UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU no 16 tahun 2009. Dirjen pajak bahkan menafsirkan pengawasan yang dilakukan oleh panja perpajakan sebagai
intervensi. Kami juga menemukan jawaban yang tidak sesuai yang diberikan jajaran dirjen pajak. Jawaban tersebut bahkan tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Untuk itu kami akan meminta pemeriksaan oleh aparat penegak hokum terhadap Tjipartjo,Ramram Rahmana dan Pontas Pane,” tegasnya.

Jajaran kementrian keuangan dan dirjen pajak, menurutnya juga telah melanggar konstitusi utamanya pasal 23 A UUD dimana pajak dan pungutan memaksa lainnya dipungut berdasarkan UU. Panja menemukan masih sering pajak dipungut atas dasar peraturan mentri keuangan saja ataupun bahkan
surat edaran dirjen pajak.” Ini belum memenuhi konstitusi,” jelasnya.

Untuk itu tambahnya berdasarkan penelaahan dan analis terhadap data, informasi, bukti dan fakta yang diperoleh, panja pajak pun merekomendasikan DPR Ri segeral melakukan penyesuaian/perubahan/perbaikan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan gunamelaksanakan pasal 23 A tersebut untuk menciptakan tertib hokum serta kedilan guna mengurangi penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak.


"Perubahan ini perlu segera dilakukan dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara secara maksimal , kemandirian APBN,memberikan kepastian hokum dan keadilan serta membangun iklim ekonomi yang kondusi guna meningkatkan daya saing nasional dan mendorong reformasi birokrasi untuk tata kelola
pemerintahan yang baik.

Anggota Panja Pajak lainnya, Maiyasak Johan menambahkan bahwa dari temuan panja pajak paling kurang sekitar 40 persen petugas pajak manipuloatif. Para petugas justru seringkali mengejar orang yang seharus tidak bersalah  dan membebaskan orang yang seharusnya bersalah. Ia menemukan, ada banyak kasus dimana perusahaan yang memiliki PKP dan bisa menerbitkan faktur pajak tidak membayarkan pajak yang telah diterima dari perusahaan lainya.
"Petugas pajak bukannya memburu penerbit factor yang telah menerima setoran pajak, tapi malah memburu wajib pajak yang telah membayarkan pajak melalui perusahaan peneribti faktur tersebut. Ini kan aneh,’ tegasnya.
Ditanyakan apakah kemudian DPR akan mengusulkan kepada pemerintah untuk menghapuskan renumerasi di tubuh dirjen pajak, Maiyasak mengatakan bahwa hal itu tidak bisa dilakukan. Pegawai yang berprestasi tentunya harus tetap mendapatkan haknya sedangkan bagi yang tidak berprestasi tentunya hal itu otomatis harus dilakukan.
Dirinya juga mengatakan bahwa usulan hukuman mati akan dimasukan jika UU Perpajakan jadi diamandemen, karena hal ini tentunya sama halnya dengan kasus terorismen.
”Bisa saja kita masukan usulan tersebut setelah kita berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait,” tegasnya.
Peningkatan pendapatan pajak walaupun menjadi target, tapi menurutnya, seharusnya juga dilakukan berdasarkan UU dan tidak bisa sekenanya dilakukan hanya untuk mengejar target penerimaan pajak. “Kita boleh saja mengejar target, tapi target tersebut seharusnya juga tidak dicapai dengan cara-cara melanggar aturan yang ada dan ini juga seringkali terjadi,” jelasnya.
Anggota Panja lainnya Maruarat Sirait mengatakan panja pajak yang telah melakukan kerjanya berdasarkan audit BPK dan sudah menemukan dugaan pelanggaran sehingga berpotensi merugikan keuangan Negara akan segera membawa hal ini untuk kemudian diputuskan apakah akan membentuk pansus gabungan antara komisi XI dan III.
“Kami akan membuat pansus pajak namun itu akan diputuskan DPR apakah akan dilakukan untuk bersama dilakukan antara komisi XI dan III atau sendiri-sendiri, demi menyelematkan keuangan
Negara,” tegasnya.