Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

SPKS Desak Pemerintah Wujudkan Kedaulatan Petani Kelapa Sawit
Oleh : red/dodo
Sabtu | 17-03-2012 | 11:50 WIB
Koordinator-SPKS.jpg Honda-Batam

Koordinator SPKS Mansuetus Darto

JAKARTA, batamtoday - Rapat Koordinasi Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit yang dilaksanakan di Jakarta, Hotel Sofyan Tebet, pada tanggal 13 – 16 Maret 2012 lalu, menghasilkan resolusi untuk mewujudkan kedaulatan petani kelapa sawit dan transformasi struktur perkebunan besar.

Hal tersebut, sebut Koordinator SPKS Mansuetus Darto dalam siaran persnya kepada batamtoday, Sabtu (17/3/2012), merupakan resolusi dari seluruh pimpinan organisasi SPKS dari 5 provinsi, yakni Provinsi Sumatra Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Provinsi Kalimantan Timur. 
 
"Petani kelapa sawit hanya diwujudkan dalam bentuk kemitraan melalui pola-pola yang dibentuk melalui regulasi pemerintah. Negara bahkan mengatur penguasaan rakyat untuk perkebunan sebesar 20 persen melalui Peraturan Menteri Pertanian No 26 Tahun 2007 tentang Perizinan Usaha Perkebunan," ujarnya.

Selain itu, tambah Darto, pemerintah tidak memberdayakan petani kelapa sawit melalui peraturan revitalisasi perkebunan, dimana kebun milik rakyat dikelola oleh perusahaan perkebunan.

"Hal ini menunjukkan bahwa orientasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih orientasi untuk perusahaan skala besar dan jauh dari misi mewujudkankan kedaulatan petani kelapa sawit," ungkapnya.
 
Untuk menyelesaikan konflik agraria di perkebunan kelapa sawit, SPKS mendesak pemerintah untuk mengatur skenario membangun road map kedaulatan dan kemandirian petani kelapa sawit, dan membatasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan skala besar dengan waktu satu siklus tanaman.

Sementara terhadap perusahaan-perusahaan yang bermasalah, yang sedang berkonflik, kata Darto, agar pemerintah lebih tegas dan tidak lunak dengan mencabut izin usahanya. "Pemerintah dinilai lemah dalam penanganan konflik agraria di perkebunan, namun sebaliknya sangat mudah mengeluarkan izin untuk perkebunan besar," tambahnya. 
 
SPKS juga meminta pemerintah pusat pun untuk lebih tegas dengan aparatur pemerintah daerah yang menjadikan pengembangan kelapa sawit sebagai bagian dari bisnis politik para kepala daerah. Hal tersebut diindikasi oleh SPKS, dari begitu banyak izin yang dikeluarkan para kepala daerah sebelum pemilihan kepala daerah.

Sehingga penting agar pemerintah pusat perlu merampingkan perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia dengan melakukan moratorium pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah mengoptimalkan strategi 35:26 (35 ton produktifitas Tandan Buah Sawit dan 26 rendemen).

"Hal ini akan sangat susah jika pemerintah masih mengurus pengembangan perkebunan dan penyelesaian konflik perkebunan," ujarnya lagi.
 
Resolusi lain yang ditelorkan Rakornas ini, antara lain mendesak pemerintah untuk mengembalikan pajak expor CPO (Crude Palm Oil) untuk membantu perbaikan infrastruktur petani, pengembangan kapasitas dan penerapan teknologi di tingkat petani kelapa sawit.

Selama ini, Kementerian Keuangan Republik Indonesia tidak pernah transparan dengan pajak expor CPO. SPKS melihat, bahwa hampir 40 persen dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini dikelola oleh petani kelapa sawit dan pajak ekspor yang dikenakan adalah sekitar 15 persen. Namun, pengembaliannya untuk petani tidak jelas.

"SPKS memandang perlu agar pemerintah memiliki itikad baik untuk mengembalikan ke petani untuk membantu perbaikan infrastruktur, pengembangan kapasitas dan penerapan teknologi di tingkat petani kelapa sawit," ungkap Mansuetus Darto yang menyebut beberapa resolusi dari Rakornas tersebut menjadi komitment bagi organisasi untuk mendesak pemerintah dan memperkuat posisi tawar petani kelapa sawit di Indonesia.