Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jejak Laksamana Cheng Ho di Wihara Dhanagun Kota Bogor
Oleh : Redaksi
Kamis | 07-02-2019 | 17:28 WIB
patung-laksamana-cheng-ho.jpg Honda-Batam
Patung Laksamana Cheng Ho. (Foto: Antara)

SEKILAS memang tak ada yang istimewa dan berbeda dari struktur bangunan di Wihara Dhanagun, Kota Bogor, dari kelenteng lainnya yang ada di Indonesia. Namun siapa sangka, kelenteng yang didirikan sejak 1672 ini memiliki arti mendalam bagi para etnis Cina peranakan Hokkian yang merupakan bagian dari pengikut seorang Laksamana Muslim bernama Cheng Ho.

Adalah Ayung Kusuma (68 tahun), salah satu warga peranakan Cina Hokkian yang menjadi pengurus harian di Wihara Dhanagun menceritakan tentang sejarah panjang kelenteng itu berdiri. Meski tak tahu tanggal pasti wihara itu didirikan, yang dia ketahui dari berbagai sumber literasi dan cerita nenek moyang, kelenteng itu dibangun dari spirit kebersamaan warga keturunan Hokkian.

“Waktu itu pengikutnya Laksamana Cheng Ho yang nggak ingin kembali ke Cina, memutuskan untuk menetap di Bogor ini dan beranak-pinak,” katanya.

Semangat kebersamaan yang dimulai dari basis kesukuan tersebut pada akhirnya membentuk sebuah komunitas etnis Cina Hokkian di sekitar wilayah Surya Kencana. Sebagai suatu komunitas baru di negeri yang baru pula, kata dia, masyarakat Hokkian mulai berbaur dengan masyarakat lokal dan lambat laun mendirikan kelenteng sebagai keperluan peribadatan dan kebudayaan.

Dari sejarahnya, menurut Ayung, Laksamana Cheng Ho memang dikenal menanamkan sikap kebersamaan dan toleransi kepada para pengikutnya. Hal itulah yang hingga kini kerap diterapkan para keturunan dari pengikut Laksamana Cheng Ho yang menetap di Bogor.

“Peringatan Imlek kali ini kami berdoa agar Indonesia selalu diberi kedamaian oleh Tuhan. Kebersamaan yang telah kita punya selama ini, adalah warisan yang perlu kita jaga,” katanya.

Warga Kota Bogor, Maya (63 tahun), mengungkapkan harapannya pada peringatan Imlek kali ini agar diberi kesehatan dan kemurahan rezeki yang berlimpah dari Tuhan. Nenek dari tiga orang cucu itu mengaku bersyukur dengan berjalannya Imlek yang damai dan aman di Kota Bogor.

“Tadi pas bakar dupa, saya berdoa semoga masa depan anak cucu saya cerah,” katanya.

Sebelumnya, Wali Kota Bogor Bima Arya sempat menyebut basis tradisi warga Kota Bogor merupakan keragaman dan toleransi. Karena itu, kata dia, tak pernah ada sejarah konflik horizontal yang terjadi di sepanjang sejarah Kota Bogor.

“Dari zaman Prabu Siliwangi hingga saat ini, DNA masyarakat Kota Bogor adalah toleransi. Keragaman dalam satu kesatuan,” katanya.

Dikunjungi Wisatawan Lintas-Etnis

Begitu memasuki halaman kelenteng, nuansa oriental sangat kental terlihat dengan adanya hamparan lilin-lilin merah raksasa khas perayaan Imlek. Lilin-lilin tersebut merupakan pemberian para jemaah Konghucu yang menyimbolkan kesalehan dan ketaatan kepada agama. Pada satu lilin yang ada, merupakan pemberian satu keluarga yang diserahkan kepada pengurus kelenteng.

Meski identik dengan nuansa oriental, tak sedikit pengunjung yang datang berasal dari luar kalangan etnis Cina. Adalah Neni (22 tahun) warga asal Pamoyanan, Kota Bogor, berkunjung ke dalam Wihara Dhanagun untuk menyaksikan ritual peribadatan jemaat Konghucu ataupun sekadar berswafoto.

Wanita yang mengenakan hijab ungu tersebut mengaku tak sama sekali risih ataupun mendapat tatapan tak mengenakkan dari jemaah Konghucu lainnya. “Suka aja sih lihat lilin-lilin merah di sini, bagus. Kalau mau selfie, aku lihat kondisi dulu biar nggak ganggu mereka semisal lagi ibadah,” kata Neni.

Lain Neni, lain lagi dengan Dean Harris (42 tahun) yang merupakan wisatawan asal Australia. Meski mengaku tak mengetahui lebih jauh tentang kebudayaan etnis Konghucu, Dean cukup tertarik dengan adanya ritual ibadah yang dilakukan jemaah Konghucu di kelenteng tersebut.

“Di beberapa negara saya pernah lihat langsung Imlek ini di tempat ibadah mereka. Tapi di Indonesia, ini cukup mengagumkan. Yang saya tahu, Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia,” katanya.

Dean juga merasa kagum saat beberapa masyarakat yang datang dengan ciri khas atribut agama di luar Konghucu datang berkunjung. Bagi dia, pengalaman melihat pemandangan keragaman di suatu tempat ibadah tertentu menjadi hal yang unik dan mengagumkan.

Sumber: Republika
Editor: Dardani