Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Identitas Politik dan Implikasi Desentralisasi
Oleh : Redaksi
Minggu | 30-12-2018 | 13:35 WIB
agama-politik1.jpg Honda-Batam
Ilustrasi politik dan agama. (Foto: Ist)

Oleh Haris Satria

IDENTITAS politik di tingkat lokal saat ini terjadi bersamaan dengan politik desentralisasi. Pasca penetapan UU No. 22/1999, gerakan politik identitas semakin jelas dan masif. Faktanya, banyak aktor baik lokal dan politik nasional menggunakan isu ini secara intens untuk pembagian kekuasaan.

Politik identitas mendapat tempat yang istimewa beberapa tahun terakhir. Dalam studi pasca-kolonial politik identitas sudah lama digeluti. Pemikir seperti Ania Loomba, Homi K. Bhabha dan Gayatri C Spivak adalah nama-nama yang biasa dirujuk.

Pemaknaan bahwa politik identitas sebagai sumber dan sarana politik dalam pertarungan perebutan kekuasaan politik sangat dimungkinkan dan kian mengemuka dalam praktek politik sehari-hari. Karena itu para ilmuwan yang bergelut dalam wacana politik identitas berusaha sekuat mungkin untuk mencoba menafsirkan kembali dalam logika yang sangat sederhana dan lebih operasional. Misalnya saja Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatinnya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama.

Sedangkan Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa: Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi dan alat untuk menggalang politik guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.

Pemaknaan politik identitas antara Kemala dengan Agnes Heller sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh dalam melihat politik identitas yang terjadi pada tataran praktis. Yang biasanya digunakan sebagai alat memanipulasi, dan alat untuk menggalang politik guna kepentingan ekonomi dan politik.

Namun, pada bagian yang lain, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran dengan mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik.

Sedangkan Prof. Henk S Nordholt (2007) memberikan kesimpulan bahwa politik identitas merupakan bentukan dari Negara Orde Baru. Pandangan ini senada dengan Rachmi Diyah Larasati yang mengatakan bahwa ‘negara sangat berperan dalam pembentukan politik identitas’. Dua pandangan menguatkan pemahaman kita bahwa politik etnisitas merupakan kreasi negara yang monumental dalam rangka pelabelan warga negaranya.

Pelabelan ini menjadi penting dalam urusan politik pengaturan atau bisa juga sebagai politik kontrol negara terhadap warganya untuk mengetahui ‘siapa lawan’ dan ‘siapa kawan’. Pengaturan dan kontrol negara terhadap warganya tidak berhenti sampai di sini. Menurut pandangan Henk (2007) ada empat kebijakan yang dijalankan Orde Baru untuk melemahkan politik itnisitas di tanah air.

Pertama, tidak ada daerah yang asli. Maksud semua daerah terbuka sebagai daerah migrasi maupun transmigrasi sehingga semua komunitas tercerabut dari akar sosiokultural dan politiknya. Kedua, pemerintah Orde Baru menghindari terbentuknya kelas karena itu persoalan SARA dikontrol sedemikian ketat. Ketiga, modernisasi dijalankan supaya pengaruh etnis dan agama merosot. Keempat, negara mengatur supaya jangan ada yang tumpang tindih antara agama dan suku. Karena dengan cara ini persatuan tidak pernah ada dan pemerintah pusat tidak terancam.

Keempat kebijakan diatas, mempunyai implikasi politis yang sangat besar dalam pengelolaan relasi pusat dengan daerah, pemerintah dengan rakyatnya. Karena itu gairah etnisitas dan agama tidak lagi menjadi tempat orang mengespresikan diri secara politik dan mengungkapkan diri secara budaya, tetapi akan berubah menjadi tempat orang menyembunyikan diri secara politik dan mencari keamanan diri secara budaya.

Aneka konflik yang terjadi di ranah lokal, pada 1995-an hingga Orde Baru rontok membuktikan betapa dahsyatnya kekerasan politik di tanah air. Benturan yang berbau politik identitas tidak hanya mempermalukan para penguasa tetapi juga para cendekiawan-ilmuwan yang selama ini merasa optimis bahwa agama, ras dan suku bangsa akan segera hilang kekuatannya karena sudah mengalami pencerahan dan kemajuan.

Dalam kenyataannya optimisme itu meleset karena mereka lupa bahwa sentimen-sentimen primordial yang sejak semula telah ada dan akan selamanya tetap bertahan, bahkan identitas kelompok akan mengguncang tatanan politik yang selama ini diduga kokoh bangunannya.

Selain berbau kekerasan, politik etnisitas juga hadir dan mengental dalam era politik desentralisasi. Pencarian politik etnisitas, baik kolektif maupun individual menjadi sumber paling mendasar dan bermakna untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di daerah. Karena itu, para politisi di daerah sedang sibuk membangun masa lalu yang mereka miliki, lalu energi mereka kerahkan untuk memproyeksikan bangunan masa lalu itu ke masa depan guna memperkuat rasa dan perasaan atas etnisitas mereka.

Realitas empiris dari gerakan politik etnisitas menemukan relevansinya dibeberapa daerah, misalnya politik etnisitas yang mengandalkan mobilisasi massa dengan tujuan akhir adalah perampasan kekuasaan muncul dalam mengiringi politik desentralisasi dengan lahirnya konsepsi putra daerah.

Kebangkitan politik etnisitas di ranah lokal , tentu saja butuh pencermatan yang lebih serius. Karena kalau tidak, akan terjadi gesekan dan pertentangan yang maha dahsyat untuk Indonesia ke depan. Karena itu Indonesia yang plural dari sisi etnisitas menimbulkan pertanyaan dapatkan masyarakat yang multi etnik ada tanpa konflik yang berarti dikalangan kelompok-kelompok etnis yang berbeda? Jawaban atas pertanyaan di atas adalah demokrasi konsosiasional.

Karena demokrasi konsosiasional menyarankan agar semua aktor yang ada di dalam masyarakat melakukan kerjasama antara etnisitas. Demokrasi konsosiasional mengharapkan berbagai kelompok etnis itu saling merembes secara teritorial dan genetika. Sedangkan dari sudut pandang politik Demokrasi konsosiasional berusaha menciptakan suasana harmonis antar etnis dengan menerapkan dua nilai penting, yakni.

Pertama, tidak terdapat susunan kelompok hirarkis sehingga tidak ada kelompok yang dominan atau yang mengeksploitir yang lainnya. Kedua, terdapat pembagian kekuasaan politik yang sama dan semua kelompok etnis terwakili secara proporsional di dalam strukur kekuasaan.*

Penulsi adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Politik