Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Para Capres Jangan Sekedar Janji-janji, Tapi juga Harus Miliki Proposal Hadapi Bencana
Oleh : Irawan
Kamis | 27-12-2018 | 08:04 WIB
fahri_garbi6.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyoroti sistem mitigasi bencana dan peralatan peringatan dini tsunami (early warning system), yang dimiliki Indonesia. Kata dia, mungkin peralatan yang dimiliki Indonesia, teknologinya sudah tidak mampu melakukan pemantauan menyeluruh karena letaknya yang terputus-putus.

"Mengapa? Karena dari hampir 200 pusat pemantauan, saya mendengar hanya 50 lebih yang masih aktif. Yang lain itu sudah tidak aktif lagi. Padahal, sebenarnya tema mitigasi bencana itu harus menguat sebelum terjadinya peristiwa itu sendiri," kata Fahri, saat dihubungi wartawan, Rabu (26/12/2018).

Pernyataan yang disampaikan politikus Partai Keadilan Sejahtera itu sangat beralasan, mengingat sejumlah bencana alam besar telah menerpa Indonesia sepanjang 2018 ini. Mulai dari gempa bumi Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada sekitar Agustus 2018, gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah pada September 2018 dan baru-baru ini, tepatnya pada 22 Desember 2018, bencana tsunami di Selat Sunda yang menerjang Banten dan Lampung.

Menurut Fahri, setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan yang disampaikan oleh pemerintah pada zaman SBY disahkan, maka Indonesia berkemungkinan mengembangkan teknologi antariksa untuk melakukan mitigasi bencana. Diantaranya dalam bentuk mengembangkan satelit yang memantau pergerakan kerak bumi, maupun aktivitas gunung berapi secara lebih masif dan komprehensif.

"Dan, menempatkan teknologi pemantauan dan mitigasi bencana di Indonesia adalah sesuatu yang sangat mutlak dan darurat. Itu pertama yang saya katakan sebagai pandangan terakhir tentang bagaimana cara mengatasi bencana," ujarnya.

Kedua, Fahri memandang aneh terkait institusi di Indonesia ketika terjadi bencana. Pasalnya, ketika bencana terjadi berturut-turut dan begitu besar akibat kelalaian melakukan mitigasi dan early warning system kepada rakyat, hingga menimbulkan banyak korban nyawa manusia, namun tidak ada satu pun lembaga yang memiliki kapasitas bertanggung jawab atas keseluruhan masalah yang ditimbulkannya.

"Padahal, seharusnya ada lembaga yang bertanggungjawab dan ada orang yang harusnya dihukum, karena kegagalan dalam melakukan tugas mitigasi dan early warning system, apapun ini adalah telah jatuh korban dan kita nggak boleh hanya mengatakan itu murni kehendak alam atau kehendak Tuhan. Padahal kita menyiapkan undang-undang dan kelembagaan serta orang-orang yang bertanggungjawab atas mitigasi ini," tegas dia.

Ketiga, lanjut anggota DPR dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat itu, presiden harus bertanggungjawab, apa proposal yang dilakukan, sehingga itu tidak jalan. Apalagi, di Indonesia yang jelas-jelas daerah ring of fire dan memiliki peluang bencana yang sangat besar, kalau tidak punya alat yang memadai, maka bencana bisa mengintai dari hari ke hari.

"Dulu saya mengusulkan perlu diadakan satelit yang memantau perjalanan kerak bumi. Karena sebetulnya, jangankan pergerakan kerak bumi, satelit untuk memantau penebangan kayu saja itu ada di dunia sekarang ini, yang memantau deforestrasi, sehingga setiap pohon yang ditebang jadi nampak dalam satelit dan bisa dipantau berapa pohon yang ditebang setiap hari diseluruh dunia," ujarnya.

Karena itu, ia menyarankan presiden melakukan langkah konkret. Tapi karena ini sudah diujung kepemimpinan Jokowi, maka Fahri berharap kiranya calon presiden (capres) harus punya proposal yang memadai untuk menghadapi bencana ini dan harus menjadi bahan perdebatan bagi para capres.

"Jangan sekedar basa-basi dan janji yang tidak dipenuhi. Tapi janji itu harus dipenuhi untuk menjamin keselamatan bangsa Indonesia. Bukan kah amanah dari pembukaan UUD yang utama adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,”"pungkas Fahrti Hamzah.

Editor: Surya