Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pancasila Benteng Penangkal Radikalisme
Oleh : Redaksi
Selasa | 11-12-2018 | 18:04 WIB

Oleh U. Yulianto

SITUASI hidup masyarakat Indonesia selalu dicirikan dengan keberagaman. Hal itu dapat dipahami secara sederhana melalui letak geografis wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau. Sehingga masyarakat yang hidup di Indonesia memiliki berbagai ciri khas, bahasa, kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Sebagaimana yang ditulis oleh Hildred Greetz (1963), terdapat sekurang-lebihnya 300 kelompok etnis yang hidup di Indonesia, dimana masing-masing kelompok memiliki identitas kebudayaan sendiri dan 742 bahasa lokal yang digunakan.

Secara sederhana ilustrasi pluralitas itu tercatat dalam motto nasional “Bhinneka Tunggal Ika” yang diambil dari pemikiran Mpu Tantular. Para founding fathers Republik Indonesia mengambil motto tersebut untuk merefleksikan cita-cita politik demi menjaga kesatuan, integritas dan stabilitas nasional negara Indonesia.

Situasi hidup yang beragam di satu sisi dapat menimbulkan benturan disetiap masing-masing individu atau kelompok yang memiliki kepentingan. Karena ini akan mempengaruhi eksistensi mereka ditengah masyarakat dalam memelihara nilai-nilai untuk mencapai pemenuhan kebutuhan hidup. Setiap kelompok akan bersaing demi menjaga keberlangsungan eksistensi mereka.

Melalui cara hidup seperti ini, muncul berbagai tindakan separatis, radikal dan ekstrimis yang mengancam kesatuan, integritas dan stabilitas nasional negara Indonesia. Pada situasi itu, Pancasila sebagai idiologi negara diuji untuk mampu mempertahankan kesatuan, integritas dan stabilitas nasional negara Indonesia.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, persebaran arus informasi menjadi semakin lesat dan cepat. Setiap kelompok atau individu dapat menyebar atau mengakses informasi tersebut secara mudah. Hal ini menimbulkan dampak positif untuk pendidikan, partisipasi politik dan aktifitas ekonomi. Di satu sisi, kemajuan teknologi informasi juga menyumbang tumbuh suburnya paham radikalisme.

Para penganjur paham radikal memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menyebarkan dan mendapat simpatisan dari seluruh penjuru dunia. Kemajuan teknologi informasi mampu membentuk jejaring masyarakat yang bersifat global, sehingga fenomena gerakan radikal yang dimotori oleh beberapa pihak di belahan dunia, seperti ISIS dengan aksi teror, dapat terasa begitu dekat dan dapat mempengaruhi gerakan radikal di Indonesia.

Mengacu pada data Hootsuite dan WeAreSocial tentang jumlah penetrasi pengguna internet dan media sosial di Indonesia, bahwa per Januari 2018 diperoleh data bahwa dari 265 juta penduduk Indonesia terdapat 132,7 juta orang merupakan pengguna internet dan 130 juta orang merupakan pengguna media sosial. Data tersebut meningkat dibandingkan data Januari 2017 yang menunjukkan 106 juta pengguna media sosial.

Catatan-catatan mengenai persebaran radikalisme di Indonesia dinilai sudah cukup mengkhawatirkan dan dapat mengganggu stabilitas nasional. BNPT (2018) menyatakan penyebaran paham radikalisme sudah menjangkit kalangan akademisi dan di pendidikan perguruan tinggi negri.

Penyebaran paham radikalisme itu bahkan menjangkit di perguruan tinggi favorit di Indonesia antara lain, Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga hingga Institut Teknologi Surabaya. Hal ini juga dinyatakan hasil penelitian oleh Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2017, bahwa sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi terpapar radikalisme. BIN juga menemukan bahwa ada peningkatan paham konservatif keagamaan.

Tindakan Radikalisme menurut BNPT memiliki beberapa kriteria. Pertama, radikalisme bisa ditimbulkan dari orang yang menginginkan perubahan secara cepat menggunakan kekerasan. Kedua, mengkafirkan orang lain. Ketiga, mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS.

Keempat yakni memaknai jihad secara terbatas. Center for the Prevention of Radicaliation Leading to Violence (2018) menyatakan bahwa proses radikalisasi merupakan tindakan meneladani sistem kepercayaan ekstrim yang menggunakan kejahatan untuk mempromosikan ideologi, proyek politik atau perubahan sosial.

Selanjutnya, paham radikalisme jika ditinjau melalui kacamata sosio-politis, bahwa gerakan tersebut merupakan upaya untuk merespon gejala sosio-politis, ketidakpuasan terhadap sistem hingga upaya untuk mengganti dengan sistem yang sama sekali baru. Haedar Nashir (2007) menegaskan hal tersebut dengan mengungkapkan ciri kelompok yang ingin melakukan perubahan sosial secara radikal dengan menginstrumentalisasi keyakiannya.

Ancaman radikalisme di atas tentu menimbulkan perpecahan dan disintegritas suatu negara termasuk negara Indonesia. Hal ini menuntut untuk Indonesia mengembalikan semangat kesatuan bernegara melalui konsensus dan dasar idiologi negara, yakni Pancasila. Tuntutan untuk penguatan Pancasila juga perlu dilakukan kembali sebab banyak warga Indonesia yang sudah lupa terhadap pengetahuan nilai Pancasila.

Survei KOMPAS yang dirilis pada 1 Juni 2008 menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang Pancasila merosot secara tajam, yaitu 48,4% responden berusia 17 sampai 29 tahun tidak mampu menyebutkan silai-sila Pancasila secara benar dan lengkap. 42,7% salah menyebut sila-sila Pancasila, lebih parah lagi, 60% responden berusia 46 tahun ke atas salah menyebutkan sila-sila Pancasila. Fenomena tersebut juga rentan untuk menimbulkan masyarakat Indonesia terpapar paham radikalisme

Dewasa ini, perkembangan ideologi-ideologi semakin meluas dengan keterbukaan informasi. Ideologi yang terlalu mengedepankan pasar bebas akan menghasilkan tingkat kapitalisme dan konsumtifme yang tinggi. Sementara ideologi yang terlau berlandaskan agama tunggal membentuk gerakan radikal dan tindakan diskriminatif yang meningkat. Bagaimana dengan pancasila?

Radikalisme yang terus menyebar di Indonesia merupakan bukti bahwa sudah lemahnya pengetahuan dan penghayatan warga Indonesia mengenai Pancasila. Radikalisme jika dibiarkan berlanjut akan menganggu persatuan Indonesia. Hingga menimbulkan kekerasan dan perpecahan di masyarakat Indonesia.

Urgensi pendidikan Pancasila dapat menguatkan semangat nasionalisme dan kebangsaan masyarakat. Pancasila dapat menjadi petunjuk untuk pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan kebijakan yang mengedapankan nilai-nilai persatuan. Pancasila menemukan maknanya bila nilai-nilai luhur tersebut diterapkan dan diamalkan oleh seluruh warga negara Indonesia.

Kita masih memerlukan pembelajaran, penguatan, dan pengembangan Pancasila demi menjawab tantangan zaman yang semakin rumit di kedepan. Pancasila merupakan harapan bagi seluruh warga Indonesia untuk tetap tumbuh dalam persaudaraan dan persatuan.

Setelah kita mampu memahami apa yang terkandung dalam Pancasila dan bagaimana sejarah perdebatan hingga terwujudnya. Tentu kita dapat memahami bahwasanya memang Pancasila merupakan konsesus bernegara yang dapat mengakomodasi seluruh kepentingan warga Indonesia. Melalui Pancasila kita dapat menciptakan solidaritas sosial dan kedamaian bagi seluruh warga Indonesia.*

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Politik