Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jangan Politisasi Nasehat Ulama
Oleh : Redaksi
Senin | 19-11-2018 | 11:16 WIB
foto-id-analwall-com.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi buta, bisu dan tuli. (Foto: Ist)

Oleh Zarima Sakun

BELAKANGAN ini, kita mendengar pernyataan dari cawapres kubu Jokowi yaitu KH Maruf Amin yang melontarkan kata 'buta' dan 'budek'. Kemudian secara cepat dua kata tersebut dipolitisasi oleh oknum untuk menjatuhkan elektabilitas kubu Jokowi. Dua kata tersebut dipolitisasi dengan persepsi Maruf Amin menyinggung masyarakat penyandang disabilitas. Padahal sebenarnya Maruf Amin sama sekali tidak bermaksud demikian.

Dalam pidato yang disampaikan, Ma'ruf Amin menjelaskan bahwa selama kepemimpinan Jokowi, banyak sekali kemajuan-kemajuan infrastruktur dan ekonomi yang telah diselesaikan untuk membangun bangsa ini. Namun sayangnya masih ada juga kubu masyarakat yang tidak menyukai kepemimpinan Jokowi, entah karena apa, mereka tidak mampu menyadari kemajuan bangsa, dan kubu masyarakat ini disebutkan termasuk orang-orang yang buta dan tuli.

Maksud dari Ma'ruf menyampaikan ini adalah untuk membuka hati dan pikiran jernih masyarakat agar dapat melihat kenyataan dengan baik bahwa faktanya Indonesia mengalami kemajuan yang pesat dan banyak sekali prestasi-prestasi Jokowi yang dapat dihargai dibandingkan presiden-presiden terdahulu.

Ini merupakan fenomena yang sangat disayangkan masih terjadi di Indonesia, dimana ketika seorang pemimpin hebat berhasil membangun bangsa namun terdapat masyarakat yang mudah terhasut oleh oknum untuk menurunkan pemimpin hebat seperti Jokowi.

Kita sebagai masyarakat harus lebih cerdas. Terlebih jaman sudah sangat modern, informasi bercampur fitnah dan propaganda mudah menyebar di mana-mana. Bila kita tidak bisa cerdas dalam menangkap informasi, kita akan berada pada jalan yang salah. Kita akan menjadi golongan masyarakat yang menghambat dan merugikan bangsa. Padahal semua agama mengajarkan sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Selain itu, hal unik lainnya di Indonesia adalah tokoh yang sudah jelas-jelas berada dalam jalur yang salah justru mendapatkan pembelaan mati-matian dari para pengikutnya. Contoh sebut saja tokoh Habib Rizieq dan Habib Bahar. Keduanya merupakan tokoh influencer yang berhasil mempengaruhi jutaan masyarakat untuk menjatuhkan pemerintahan. Padahal sudah jelas sekali peran kedua tokoh tersebut sangat merugikan bangsa dan negara.

Keduanya sering kali dalam berceramah menjelek-jelekan pemerintah dengan menjual ayat-ayat dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Sudah banyak dari ulama-ulama Islam lainnya yang memprotes dengan gaya berceramahnya. Di sisi lain, apa yang diceramahkan kurang memberikan manfaat dan cenderung dipenuhi dengan kepentingan politik. Seringkali orang-orang seperti ini dimanfaatkan oleh oknum politik untuk menjatuhkan lawan politik lainnya.

Contoh kasusnya adalah kasus yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok. Ahok merupakan sosok seorang pemimpin yang jujur, amanah, tegas, dan bijaksana. Ketika itu Jakarta sedang mengalami perubahan besar-besaran ke arah yang jauh lebih baik, lebih maju, lebih modern, dan lebih sejahtera. Namun karena para elit politik memahami bahwa kehadiran Ahok ini mengancam keberlangsungan hidup mereka sehingga banyak dari pihak lawan politik yang tidak menyukai kehadiran Ahok.

Dengan segala teknik-teknik kotor dalam berpolitik, segala bentuk fitnah dan propaganda dikeluarkan demi menjatuhkan kedudukan Ahok. Salah satu teknik yang digunakan untuk menjatuhkan Ahok adalah dengan mengangkat isu keagamaan. Dengan segala racikan kalimat-kalimat provokatif dalam berceramah ala HRS, dirinya berhasil membangkitkan semangat umat Islam untuk memprotes apabila Ahok terpilih menjadi gubernur.

Padahal kita semua paham betul bagaimana kala itu Ahok memimpin Jakarta yang dipenuhi dengan berbagai permasalahan dan tak kunjung terselesaikan. Namun ketika Ahok memimpin semua masalah dapat dipertemukan solusinya. Akibat kebodohan masyarakat Indonesia sendiri yang dengan mudah terprovokasi dengan ceremah-ceramah sesat dan berpotensi menghancurkan bangsa sehingga Jakarta saat ini kehilangan sosok pemimpin seperti Ahok.

Kita kembali lagi kepada persoalan kata 'buta' dan 'budek' yang menimpa Maruf Amin. Kita sebagai masyarakat harus benar-benar cerdas dan melihat bahwa maksud Maruf Amin dalam menyampaikan seperti itu adalah untuk menyadarkan masyarakat agar masyarakat bisa melihat dan mendengar dengan bijak dalam memilih pemimpin yang tepat. Karena nasib sebuah negara demokrasi sangat ditentukan oleh arah suara masyarakat dalam menentukan siapa pemimpinnya.*

Pengamat Sosial Politik, Mahasiswi Ilmu Komunikasi