Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kursi Panas Wagub DKI
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 09-11-2018 | 12:16 WIB
kursi-jabatan.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi kursi jabatan. (Foto: Ist)

Oleh: Sulistyawati

PASCA pengunduran diri wakil gubernur terpilih, Sandiaga Uno pada 27 agustus 2018 lalu untuk menjadi pasangan dari calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto meninggalkan sebuah permasalahan baru di dalam kubu PKS maupun Gerindra. Pasalnya, kedua partai tersebut getol untuk mengusung kandidat kadernya untuk mengisi kursi orang nomor dua di DKI Jakarta menemani Anies Baswedan.

Polemik yang berlangsung antara partai Gerindra dan PKS menunjukkan bahwa di sinilah kerumitan dalam lingkup politik itu terjadi. PKS yang merasa kekosongan posisi kursi Wakil Gubernur DKI merupakan haknya, justru cenderung dipermainkan oleh Partai Gerindra.

Ditinjau dari segi politik, Gerindra cenderung merasa lebih berhak atas kursi nomor dua DKI terebut. Melalui kadernya yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPD Gerindra DKI, M.Taufik yang tampak sangat bernafsu untuk menjadi pendamping Anies. Sementara PKS yang mengusung 2 kadernya sebagai calon pengisi kursi Wagub DKI cenderung lebih pasif sembari terus berharap Gerindra sadar atas kelakuannya.

Belakangan ini, mencuatnya kabar mengenai hasil perundingan antara kedua partai yang menghasilkan keputusan untuk menyerahkan kursi Wagub DKI kepada PKS. Namun hasil keputusan tersebut tidaklah diterima begitu saja oleh Partai Gerindra, sehingga dibentuklah sebuah Badan Bersama yang nantinya akan menjadi salah satu syarat untuk memilih sosok yang pantas menduduki kursi Wagub DKI Jakarta melalui tahapan Fit dan Proper Test untuk menyaring kedua kader PKS yang dicalonkan sebagai kandidat wagub untuk selanjutnya dipilih melalui mekanisme pemungutan suara di DPRD DKI Jakarta.

Faktor utama penyerahan kursi Wagub kepada PKS bukan semata-mata tanpa sebab. Selain adanya ancaman dari kubu PKS bahwa akan menghentikan mesin politiknya untuk pemilu 2019, Saat ini Partai Gerindra pun sedang dalam kondisi "sakit" yang dipicu kurang bagusnya performance Prabowo-Sandi di ruang publik. Beberapa peristiwa blunder yang terjadi ditengah kampanye Pilpres yang dilakukan Sandi maupun Prabowo berdampak luas dalam perolehan suara bagi pasangan tersebut.

Pasangan nomor urut dua ini menuai kontroversi di ruang publik, yang baru-baru ini meyerang capres Prabowo Subianto. Langkah untuk menghadapi hal tersebut, dibutuhkan kelompok pendukung yang bersedia untuk membelanya. Diharapkan, dengan menghadiahkan kursi jabatan Wagub DKI kepada partai koalisinya, maka PKS mau secara total membantu teman lamanya, dengan melupakan sejenak sakit di internalnya.

Di sisi lain, maraknya kasus korupsi yang sedang hangat di perbincangkan, Partai Gerindra yang merupakan partai peserta pemilu pilpres 2109 saat ini sedang berupaya meraih simpati rakyat. Untuk itu tentunya Gerindra harus mau mengikuti keinginan rakyat, termasuk memerangi kejahatan korupsi. Hal tersebut tidak terlepas dari rencana pencalonan salah satu kadernya Mohammad Taufik yang memiliki citra buruk sebagai koruptor dimata rakyat.

Walaupun dirinya telah menjalani hukuman sesuai ketentuan hukum yang berlaku, namun citra koruptor yang melekat pada dirinya merupakan labelling yang diberikan oleh masyarakat sekaligus sangsi sosial masyarakat terhadap tokoh yang pernah menjalani hukuman kasus korupsi. Rakyat menjadikan hal tersebut sebagai penjaga atau kriteria moral terhadap layak atau tidaknya seseorang tokoh menduduki jabatan publik.

Jabatan kursi wakil gubernur DKI yang sedang diperebutkan oleh Mohammad Taufik merupakan jabatan strategis, terlebih DKI Jakarta sebagai ibukota negara yang merupakan salah satu kota dengan pergerakan ekonomi yang paling aktif. Mohammad Taufik bisa saja menduduki jabatan Wakil Gubernur DKI karena dia beruntung memiliki posisi sebagai petinggi partai Gerindra, selain itu pengisian jabatan wagub tidak melalui proses pilkada, atau pemilihannya tidak melibatkan warga DKI.

Adanya bayang-bayang korupsi pada kadernya yang hendak mencalonkan diri sebagai Wagub DKI menjadi pertimbangan tersendiri bagi partai Gerindra. Apabila tetap memilih Mohammad Taufik sebagai calon Wagub, maka labelling masyarakat terhadap partai tersebut bahwa melindungi koruptor akan terus melekat dan mempengaruhi dalam perolehan suara pada pemilu 2019 mendatang.

Namun opsi lain yang saat ini sedang di pertimbangkan adalah dengan menunjuk kader lain yang memiliki potensi setara dengan Mohammad Taufik agar nama dari partai tersebut dapat terjamin. Dengan kebesaran partai Gerindra yang minim dari sorotan masyarakat membuat potensi terpilihnya kader dari partai gerindra semakin besar, sehingga akan dengan mudah diterima oleh masyarakat DKI.

Berbanding terbalik dengan PKS yang banyak diterpa isu-isu miring yang membuat kekuatan suaranya sedikit berkurang dan potensi untuk diterima masyarakat semakin kecil.*

Penulis adalah Mahasiswi UIN Antasari