Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pilpres 2019, Dicari Sosok Kredibel
Oleh : Redaksi
Minggu | 02-09-2018 | 11:04 WIB

Oleh Edy Mulyadi

"Ed, kalau ada capres/cawapres 2019 dalam kampanyenya nanti menawarkan ikan dan daging kepada rakyat, apakah anda akan mendukung yang bersangkutan?" tanya seorang teman.

Rupanya dia membaca artikel berjudul 'Pilpres 2019: Tahu Versus Tempe' yang saya tulis 26 Agustus 2018 silam. Tulisan yang kemudian beredar di jagad medsos dan media daring itu ternyata menarik perhatian teman tadi.

Buat yang belum sempat membaca, di bawah ini isi pokok artikel tersebut; Paslon Jokowi-Maruf Amin dan Prabowo-Sandi yang akan berlaga di Pilpres 2019 hanya menawarkan tahu dan tempe. Padahal rakyat menghendaki ikan dan daging. Sayangnya kedua Paslon nyaris tidak menawarkan menu baru. Kalau Jokowi diibaratkan tempe, maka yang dirasakan rakyat dalam empat tahun terakhir justru bak dipaksa makan tempe bongkrek yang sering beracun.

Empat tahun di masa Jokowi rakyat banyak 'keracunan tempe bongkrek' karena beratnya beban hidup. Harga-harga melambung tinggi. Listrik, BBM, gas terus melonjak harganya karena pengurangan subsidi. Porsi anggaran terbesar justru diutamakan untuk membayar utang. Lapangan kerja sulit didapat, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, dan seabreg kesulitan hidup lain.

Bagi kalangan Islam, 'tempe bongkrek' terasa lebih mematikan. Para habaib, ulama, dan ustadz banyak dikriminalisasi. Perlakuan dan penegakan hukum antara muslim dan nonmuslim terasa sangat timpang, dan sejumlah ketidakadilan lainnya yang ummat rasakan.

Curang, tidak jujur

Kembali ke pertanyaan kawan tersebut, jawaban saya adalah tergantung. Ya, tergantung siapa dari kedua Paslon yang menjanjikan daging dan ikan.

Tentu kita masih ingat peribahasa sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lancung berarti tidak tulen; palsu; tiruan (adjektiva). Contoh: uang ~. Lancung juga berarti tidak jujur; curang (adjektiva). Contoh: perbuatannya ~

Sejak usia Sekolah Dasar (SD) kita sudah mendengar dan paham makna peribahasa ini. Pada konteks kehidupan sehari-hari, peribahasa ini lebih banyak diterapkan pada perilaku curang. Curang antar lain bisa berarti berbohong, tidak menepati janji, juga culas.

Maka pada titik ini rekam jejak menjadi amat penting. Rekam jejak, terutama di era digital seperti sekarang, sangat mudah ditelusuri. Apa yang kita ucapakan dan lakukan, semuanya terekam dengan baik di media digital. Orang dengan mudah bisa menemukan kembali, kendati sudah lewat beberapa masa. Tinggal memasukkan kata kunci lalu klik, maka segera tersaji jejak yang dicari.

Bagaimana jika yang berlaku curang adalah capres/cawapres? Misalnya, yang bersangkutan pernah menyatakan sedih bila mendengar impor, janji memberi tanah pertanian untuk 4,5 juta kepala keluarga dan perbaikan irigasi di tiga juta hektare sawah, janji akan menyejahterakan kehidupan petani, janji tidak akan membuat utang baru.

Janji akan membesarkan Pertamina dan mengalahkan Petronas dalam lima tahun, janji mencetak 10 juta lapangan kerja untuk anak negeri, janji meningkatkan pertumbuhan ekonomi 8% per tahun, janji akan menyusun kabinet yang ramping, janji tidak akan bagi-bagi kursi menteri ke partai pendukungnya, janji akan berbicara terkait kasus BLBI, janji menghentikan impor daging, dan janji membeli kembali Indosat. Namun hingga masa jabatannya akan berakhir, janji-janji itu bak debu ditiup angina. Berlalu, tanpa tilas.

Kredibilitas

Perkara lancung ini berkorelasi erat dengan apa yang disebut kredibilitas. Orang yang terlalu banyak mengumbar janji tapi teramat sedikit yang ditepati, jelas tidak bisa disebut kredibel. Orang seperti ini tidak layak dijadikan pemimpin.

Dalam bahasa agama, orang ini telah memenuhi salah satu unsur munafik! Ya, ciri orang munafik adalah bila berjanji dia ingkari. Salah satu hadits riwayat Bukhori yang terkenal tercatat Nabi Muhammad SAW menyebut dua dari tiga ciri orang munafik. Yaitu, bila dipercaya khianat dan bila berkata dia berbohong.

Itulah sebabnya janji memberi daging dan ikan kepada rakyat Indonesia harus disampaikan oleh orang yang kredibel. Orang ini mesti punya keberpihakan yang jelas dan konkrit dalam upaya menyejahterakan rakyat Indonesia. Orang ini harus punya komitmen yang kuat, dan itu dibuktikan dengan berbagai kebijakan publik yang dia buat. Rekam jejak perjuangannya dalam melawan dominasi kapitalisme dan neolib yang membelenggu bangsa tergurat dengan jelas dan tegas.

Sayangnya, kriteria figur seperti itu tidak ada dalam kedua Paslon yang akan bertarung di Pilpres 2019. Seperti pada artikel saya sebelumnya, keduanya bagai menyodorkan tahu dan tempe belaka. Bahkan, satu Paslon sudah terbukti menyuguhkan dan menjejalkan tempe bongkrek yang beracun ke mulut rakyat.

Kalau sang kandidat Capres-Cawapres mau merebut hati rakyat dengan tawaran daging dan ikan, mereka harus merekrut tokoh yang memenuhi kriteria kredibilitas tadi. Dan, Rizal Ramli adalah satu dari sangat sedikit tokoh yang dimiliki Indonesia yang punya rekam jejak kredibel. Dia juga terbukti punya kapasitas sekaligus kapabilitas dalam memahami dan menyelesaikan berbagai masalah (ekonomi) bangsa dengan cara-cara out of the box. Dan, satu lagi yang sangat penting, tokoh ini punya integritas yang teruji.

Pasangan Prabowo-Sandi sepertinya sudah lama kepincut terhadap ekonom senior sekaligus teknokrat bertangan dingin itu. Bahkan Sandi berkali-kali menyatakan kekagumannya dan Gerindra sangat ngebet menggandeng Rizal Ramli jadi bagian dari tim suksesnya.

Bagaimana dengan pasangan Jokowi-Ma'ruf? Hingga kini mereka memang belum membuat pernyataan terbuka terkait rencana melibatkan Menko Ekuin dan Menkeu era Gus Dur itu. Namun bisik-bisak dari seputar Istana menyebutkan, sudah ada pendekatan dari kubu ini kepadanya.

Independen, tapi

Sepertinya tidak mudah bagi kedua kubu dalam merayu sang tokoh. Pasalnya, kemarin (28 Agustus 2018) Rizal Ramli malah menyatakan akan independen dalam ajang Pilpres kali ini. Dia tidak ingin bergabung di salah satu kubu. Guna memberi gaung lebih luas, bapak tiga anak itu bahkan sengaja menggelar jumpa pers di satu cafe di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, terkait pernyataannya ini.

Tapi, 'deklarasi' netralitas Rizal Ramli sepertinya bukan harga mati. Sebab, pada beberapa kesempatan, dia menyatakan bersedia membantu Paslon yang berjanji dan menunjukkan kesungguhan untuk 'memberi daging dan ikan kepada rakyat'. Dia bahkan mau habis-habisan jika sang Paslon bersungguh-sungguh mau menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

"Mohon maaf, saya menilai Capres-Cawapres yang bertarung di 2019 ini seperti tahu lawan tempe. Padahal rakyat maunya makan ikan, daging dan makan bergizi lainnya. Kalau ada Paslon yang bersedia memberi komitmen, bahwa mereka akan bekerja ekstra keras untuk menyejahterakan mayoritas rakyat, maka saya akan dukung secara all out," ungkapnya satu ketika.

Bagi mantan anggota Panel Tim Ahli Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ini, ukuran paling gampang dari komitmen Paslon adalah, mereka mau meninggalkan ideologi neolib dalam membangun Indonesia. Fakta menunjukkan, mazhab neolib yang telah diterapkan selama puluhan tahun tidak bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara yang maju dan rakyatnya sejahtera. Pembangunan yang berbasis utang hanya menimbulkan ketergantungan yang amat tinggi kepada negara-negara pemberi utang.

Pertanyaannya kini adalah, apakah rakyat Indonesia bakal menghukum yang bersangkutan dengan tidak mempercayainya seumur hidup? Emmm, sepertinya belum tentu juga. Rakyat Indonesia sudah lama dikenal sebagai pemaaf, gampang lupa, dan maaf, sering melakukakn kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya.

Sejarah mencatat, para pemimpin dating dan pergi. Saat kampanye, mereka menebar janji-janji manis. Namun saat berkuasa, teramat sedikit dari janji-janji surga itu yang ditepati. Tapi, di sinilah hebatnya, toh rakyat Indonesia dengan gampang melupakan perlaku lancung yang bersangkutan. Buktinya, pada ajang pemilihan berikutnya, tetap saja sebagian rakyat melabuhkan suaranya kepada si lancung tadi.

Ampun dehhh.....(*)

Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)