Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Lapas Jadi Pasar dan Tujuan Peredaran Narkotika
Oleh : Redaksi
Sabtu | 01-09-2018 | 20:04 WIB
opini-bnn1.jpg Honda-Batam
Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH.

Oleh: Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH

Modus melempar sabu dari luar ke dalam Lapas Kelas IIA Barelang yang dilakukan oleh Riyan Hidayat (30/8/2018) menjadi petunjuk betapa besarnya dan mendesaknya kebutuhan para penghuni Lapas akan narkotika, meskipun ada penjagaan ketat.

Kebutuhan narkotika di Lapas dipasok oleh pengedar melalui pintu masuk dengan berbagai modus tipu daya menghadapi para petugas keamanan maupun melalui cara di luar nalar kita, seperti yang dilakukan oleh Riyan Hidayat dan cara-cara lain pada prinsipnya supaya dapat memenuhi kebutuhan para napi yang masih 'menganga'.

Berbagai modus operandi aneh tentang peredaran narkotika dengan tujuan Lapas menjadi ngetrend seiring dengan banyaknya penyalah guna mendapat vonis penjara padahal menurut UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika tujuan dibuatnya UU bukan dipenjara melainkan dihukum rehabilitasi, artinya dipaksa sembuh melalui sistem peradilan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir (pasal 4).

Sedang sebagai premium remedium adalah rehabilitasi yang dilakukan secara mandiri oleh keluarga. Kalau tidak, orangtua justru akan dipidana dengan pidana kurungan 6 bulan (pasal 128/1).

Setelah orangtua secara mandiri melakukan kewajiban merehabilitasi keluarganya, maka program premium berikutnya melalui program pemerintah yaitu wajib lapor untuk sembuh melalui rehabilitasi.

Kalau orangtua penyalah guna melakukan upaya penyembuhan anaknya melalui cara wajib lapor, maka penyalah guna yang semula statusnya kriminalnya diancam dengan tindak pidana berubah menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128/2).

Modus operandi aneh dengan tujuan menyelundupkan narkotika ke dalam Lapas ini terjadi karena Lapas menjadi terminal akhir berkumpulnya para penyalah guna yang nota bene orang sakit kecanduan narkotika, di mana kebutuhan pokoknya justru narkotika. Kalau kebutuhan akan narkotika tidak terpenuhi bisa menyebabkan jiwa para warga binaan ini tidak tenang, kelihatan stres bahkan bisa menjadi sakau.

Selain modus yang dilakukan oleh Riyan Hidayat, modus operandi lain yang juga aneh adalah membelah bola tennis diisi dengan narkotika kemudian pada malam hari dilemparkan secara serampangan dari luar ke dalam tembok penjara pada pagi harinya tinggal mengambil.

Yang tidak kalah menarik juga pernah terjadi adalah modus operandi yang dilakukan warga binaan yang punya hobby memelihara burung merpati di dalam Lapas. Kemudian pemilik pura melepas burung merpati tersebut dengan membawa ke luar melalui pintu Lapas, setelah di luar Lapas, sebelum dilepas burung tersebut ditempeli bungkusan kecil narkotika dikakinya, dan banyak modus-modus aneh yang tertangkap melalui pintu masuk yang mencerminkan besarnya kebutuhan Lapas akan narkotika.

Karena pengedar faham penyalah guna itu kebutuhan pokoknya adalah narkotika, maka banyak jaringan para pengedar yang mendekati Lapas dan menjadikan Lapas sebagai pasar narkotika karena di sana tempat berkumpulnya para penyalah guna sebagai demand. Di sisi lain para penyalah guna dan pengedar kecil/pengecer yang ditahan dijadikan agen informasi bisnis narkotika di dalam penjara maupun di luar penjara ketika sudah selesai menjalani hukuman.

Kesalahan penerapan hukuman terhadap perkara penyalah guna (127/1) khususnya tentang penjatuhan hukuman oleh hakim mestinya berdasarkan UU narkotika nomor 35/2009, hakim wajib menggunakan kewenangannya (pasal 103/1) yaitu terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah, sanksinya adalah hukuman rehabilitasi, nyatanya dalam praktek sehari hari dihukum penjara.

Kalau kita membuka direktori putusan Mahkamah Agung (putusan.mahkamahagung.go.id) maka kita akan menjumpai banyak penerapan hukum yang tidak sesuai dengan tujuan dan pasal-pasal dalam UU narkotika, di mana ada ratusan bahkan ribuan perkara yang amar putusannya secara jelas sudah menyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan sebagai penyalah guna untuk diri sendiri, mestinya tidak perlu babibu demi hukum hakim wajib memvonis dengan hukuman rehabilitasi nyatanya divonis penjara (pasal 103: hakim dalam memutus perkara penyalah guna wajib menjatuhkan sangsi rehabilitasi baik terbukti salah ataupun tidak bersalah).

Kebiasaan hakim untuk menghukum penjara bagi penyalah guna untuk diri sendiri harus dihentikan oleh Mahkamah Agung karena dampaknya ke mana-mana, yang paling dasyat dari kebiasaan menghukum penjara ini adalah penyalah guna tidak sembuh selama dan sesudah selesai menjalani hukuman serta menjadi pupuk penyubur peredaran narkotika di Indonesia.

#StopNarkoba #StopVonisPenjara

Penulis adalah Dosen Universitas Trisakti yang pernah menjabat Ka BNN 2012 - 2015 dan Kabareskrim 2015 - 2016.