Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sanksi WTO untuk Indonesia Dibahas 15 Agustus 2018
Oleh : Redaksi
Rabu | 08-08-2018 | 17:29 WIB
logo-wto.jpg Honda-Batam
Logo WTO. (Foto: Ist)

 

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Permintaan Amerika Serikat (AS) terkait pengenaan sanksi perdagangan kepada Indonesia masih akan dibahas oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang akan melakukan pertemuan pada 15 Agustus 2018 mendatang.

Pernyataan ini diungkapkan sebagai respons pemerintah atas desakan AS agar WTO menjatuhkan sanksi kepada Indonesia berupa retalisasi senilai US$350 juta atau Rp5 triliun, karena dianggap tak menjalankan keputusan terkait perdagangan sektor holtikultura.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo mengungkapkan, jikapun permintaan yang diajukan AS dikabulkan, WTO masih perlu membentuk panel untuk menentukan besaran nilai retaliasi ini.

"Jelas, angka USD350 juta yang diajukan AS merupakan angka sepihak yang masih dapat diperdebatkan," ungkap Iman dalam keterangan tertulis, Rabu (8/8).

Iman juga mengungkapkan AS menggunakan haknya guna menunda pemberian konsensi tarif kepada Indonesia jika Indonesia benar-benar gagal melaksanakan rekomendasi Badan Penyelesaian Sengketa WTO.

"Jadi sebenarnya pada tahapan ini, AS berupaya mengamankan haknya untuk melakukan retaliasi jika Indonesia dinyatakan gagal memenuhi kewajibannya," lanjutnya.

Iman menegaskan pemerintah telah melakukan penyesuaian dengan mengamendemen beberapa Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan sejalan dengan rekomendasi Badan Penyelesaian Sengketa WTO.

"Hal ini akan kami tempuh (meminta pembentukan panel kepatuhan) karena sebetulnya Pemerintah telah melakukan penyesuaian sebelum 22 Juli 2018. Pengusaha produk hortikultura, hewan dan produk hewan dari AS dan negara lain dapat mengekspor ke Indonesia," imbuh Iman dalam keterangan tertulis, Rabu (8/8).

Demi menyelesaikan masalah tanpa harus retalisasim, pemerintah akan melakukan konsultasi bilateral dengan Pemerintah Amerika Serikat guna menjelaskan lebih rinci kebijakan yang telah dijalankan demi memenuhi keputusan WTO.

Menurut dia, pihak AS mensinyalkan kesediaannya untuk berdiskusi, sebelum keputusan final AS diambil terkait retaliasi atau tidak.

"Tampaknya ada masalah time-lag antara kesimpulan Perwakilan AS di WTO dengan kunjungan Menteri Perdagangan Indonesia ke Washington pada 24-27 Juli 2018 lalu, yang antara lain membahas penyelesaian sengketa WTO ini," ungkap Iman.

Sebagai informasi, pemerintah menerima salinan surat Perwakilan AS di Jenewa, Swiss, kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO. Surat tersebut meminta Badan Penyelesaian Sengketa WTO untuk menunda pemberian konsesi tarif kepada Indonesia.

Hal itu terkait sengketa yang diadukan AS atas kebijakan restriktif Indonesia dalam importasi produk hortikultura, hewan dan produk hewan.

Pada 2015, Badan Penyelesaian Sengketa WTO membentuk panel atas permintaan AS dan Selandia Baru yang memperkarakan 18 jenis kebijakan impor produk hortikultura, serta hewan dan produk hewan Indonesia karena dianggap tak konsisten menjalankan perdagangan.

Pada 22 Desember 2016, panel sengketa mengumumkan bahwa 18 produk yang diterapkan Indonesia tidak sejalan dengan prinsip dan disiplin yang disepakati di WTO dan merekomendasikan Indonesia agar melakukan penyesuaian.

17 Februari 2017 lalu, Indonesia mengajukan banding. Namun, pada 22 November 2017 Badan Banding WTO menguatkan rekomendasi dari panel sengketa bahwa Indonesia harus melakukan penyesuaian atas 18 produk yang dipermasalahkan.

Melalui pembahasan yang cukup panjang, disepakati Indonesia akan melakukan penyesuaian tahap pertama selambatnya pada 22 Juli 2018 dan tahap kedua pada 22 Juni 2019.

Meskipun langkah-langkah penyesuaian telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dalam konsultasi para pihak yang berlangsung pada 27 Juli 2018 di Jenewa, AS menyatakan bahwa Indonesia belum cukup melakukan penyesuaian.

Penilaian ini didasarkan pada informasi yang diterima Perwakilan AS untuk WTO bahwa eksportir produk hortikultura dari AS masih mengalami kesulitan untuk mengekspor produknya ke Indonesia.

Editor: Dardani