Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Orang Miskin Dilarang Beli Rumah
Oleh : Redaksi
Jum'at | 27-01-2012 | 10:58 WIB

Oleh: Muhammad Joni SH, MH

Rumus berbelanja yang bijak itu sederhana:  membeli barang yang dibutuhkan dan sesuai kemampuan.  Itulah pasar yang rasional. Jika anda mempunyai rencana keuangan,  tentu sensitif dengan harga alias  kemampuan finansial.   

Membeli diluar kemampuan, itulah bentuk kegagalan pasar,  seperti kepala keluarga pecandu rokok menguras  porsi besar  untuk membeli rokok, zat yang adiktif, karsinogentik dan (menurut WHO) mematikan itu.

Seorang karyawan di tepi Jakarta yang  mampunyai  bujet  perjalanan rutin dengan bus menuju kantornya di kawasan Kuningan, tentu akan waras tak menyetop taksi setiap hari.Tak perlu ada regulasi menghadang rasionalitas bijak itu.

Di tangan kapitalis, hukum bisa dibelokkan arahnya  sesuai kepentingan bisnis. Hukum seperti itu memang tidak logis dan tanpa justifikasi alias  menjadi ketentuan yang aneh tapi nyata. Biasanya akan serta merta dilawan publik  tatkala  regulator  menormakan hal yang mustahil. 

Hmm, untuk membeli rumah berlaku hukum yang mustahil itu.  Jika  anda pasangan baru menikah, atau  lajang yang betah sendiri,  yang  berpenghasilan terbatas namun memiliki  hasrat  membeli rumah sederhana sehat,  sekarang ini,  bersiaplah untuk  kecewa.

Rumah tunggal ataupun rumah  deret  yang boleh dibangun dan dijual  cuma  yang luas lantai minimal  36 M2.  Di luar itu tak diperkenankan regulator, termasuk terbitnya IMB dan  fasilitas rumah bersubsidi seperti FLPP.    Alhasil, harga rumah sejahtera sehat  semakin melonjak.  Program rumah murahpun terancam, tidak tersedianya rumah atau backlog  semakin meninggi,  dan ujung-ujungnya hak konstitusional atas tempat tinggal -yang dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, semakin-semakin mengawang.  Mungkin inilah yang disebut sementara kalangan "darurat perumahan".

Biangnya adalah sepenggal ayat yang aneh dan mustahil. Pasar dan daya beli rumah dihambat  oleh ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang berbunyi, “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki  ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”.   Sepenggal ayat itu jelas merupakan norma  yang  tidak logis,  tidak sesuai permintaan pasar,  tidak pro-poor, dan pasti membubungkan harga rumah untuk rakyat. 

Alhasil, kebijakan Menteri Keuangan memberi fasilitas bebas PPN  bagi rumah berlantai  dibawah 36M2 tak lagi menjangkau orang miskin dan  masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).   Bagi yang sudah terikat komitmen membeli rumah, bersiaplah  membatalkan kontrak jual beli. Gagal membeli rumah, sangat mungkin menjadi faktor stagnannya pembangunan perumahan, meluasnya permukiman kumuh dan menurunnya hasrat pengembang memproduksi rumah murah. 

Singkat kata, ayat luas lantai 36 itu menciptakan  hambatan  dan membatasi hak konstitusional  atas rumah.  Mestinya,  tak ada halangan siapapun membeli rumah  dalam jenis dan bentuk apapun, luas lantai berpara pun, asalkan  sesuai kebutuhan dan  kemampuannya.  Ketentuan  Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011  menjadi kausal  meningkatnya harga rumah  untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR.   

Ayat itu juga menjadi kausal  semakin terpuruknya daya beli kelompok MBR,  karena tidak  diikuti   menaiknya tingkat pendapatan kelompok MBR, sehingga  semakin tertinggal jauh dari akses memperoleh rumah. Apalagi selama 1 dekade, harga rumah sederhana meroket 1500%,  sekali lagi,  seribu lima ratus persen. Bandingkan dengan kenaikan UMP rata-rata tahun 2011 lalu yang cuma 8-9% saja. 

Berdasarkan data  Badan Pusat Statistik (BPS) sejumlah 29,89 juta orang  dan warga hampir miskin yang diperkirakan berjumlah 27 juta orang. Kelompok miskin ini yang paling berat memperoleh  rumah  karena rendahnya daya beli. Seakan regulator hilang akal dengan data resmi BPS itu. Apa gunanya data kalau tak membangun bangsa?

Merujuk Zulfi Syarif Koto, mantan petinggi Kementrian Perumahan Rakyat,  kelompok MBR masih besar, namun dalam 65 tahun merdeka pembangunan perumahan tidak memihak kelompok MBR.  Jika  dikelompokkan kluster masyarakat Indonesia menurut pendapaan,  (a) masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) dengan penghasilan  Rp.2,5 s.d 4,5 juta, sekitar 10% s.d 20%; (b)  masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan  Rp.1 juta s.d kurang Rp.2,5 juta  (20% s.d 30%); (c) masyarakat miskin dengan penghasilan kurang Rp. 1juta, (60% s.d 70%) [vide Zulfi Syarif Koto, “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, LP3I dan Housing and Urban Development Institute (HUD), Jakarta, 2011, hal. 109].

Selain itu, data mengingtkan kita betapa masih meluas dan besarnya kelompok marginal yang bertempat tinggal tidak manusiawi di berbagai kora besar, kota kecil bahkan di pedesaan. Adanya fakta penggusuran rumah-rumah penduduk di atas tanah orang lain atau milik swasta dan atau Pemerintah, kawasan permukiman kumuh, emperan tokok, di bawah kolong jembatan, di bawah jalan tol, pinggiran rel kereta api, pada fasiltas umum seperti pasar dan pertokoan, lahan rawan bencana dan berbagai tempat lainnya.

Berdasarkan statistik kesejahteraan rakyat tahun 2008, diperoleh fakta dan data memprihatinkan berikut ini. Sebanyak 11,95% rumah tangga masih menghuni rumah dengan lantai tanah. Sebanyak 10,6% rumah tangga dengan dinding belum permanen. Sebanyak 3,61% rumah tanga tinggal di ruma beratapkan daun. Sebanyak 21,1% rumah tanga belum dapat mengakese air bersih. Sebanyak 8,54% rumah tanga masih belum mendapatkan sambungan listrik. Sebanyak 22,85% rumah tangga masih belum memiliki akses terhadap jamban (Renstra Kemenpera 2010-2014).

Yang penting dicatat, masih menurut Zulfi Syarif Koto,  kenaikan harga rumah yakni Rusam Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS)  sekitar 1500 persen dalam kurun 1997/1998 s.d 2009/2010.  Secara ekonomi dan berdsarkan mekanisme di pasar, harga RS dan RSS mengalami kenaikan yang sangat signifikan yakni 1500 persen dalam kurun tahun 1997/1998 s.d 2009/2010, yakni pada tahun 1997/1998 harga RS sebesar Rp.5,9 juta dan harga RSS sebesar Rp.4,2 juta. Sementara itu taun 2009/2010, harga RS sebesar Rp.80 juta dan harga RSS sebesar Rp.55 juta.  (Zulfi Syarif Koto, hal. 93).

Dengan demikian kenaikan harga rumah RS dan RSS sangat besar dibandingkan kenaikan pendapatan gaji kelompok MBR yang menjadi pasarnya, apalagi dikaitkan dengan irnoni kelompok miskin dan marginal yang berteduh di kolong jembatan, bawah jalan tol, emperan toko, dan aneka warna tuna wisma lainnya. Padahal mereka adalah warga negara, dan pemilik suara tatkala pemungutan suara legislatif maupun eksekutif. 

Kalau sudah demikian,  bijak dan adilkah membatasi hak memperoleh rumah bagi orang miskin dan kelompok MBR?  Mau dibawa kemanakah arah kebijakan dan subsidi dana APBN alokasi pembangunan perumahan? Konstitusionalkan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011? Sungguh itu norma yang mustahil bagi kaum MBR. Seakan dengan arogan regulator bertitah,  orang miskin?,  dilarang beli rumah.

 

Penulis adalah advokat & konsultan hukum  pada Law  Office Joni & Tanamas  di Jakarta.