Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sistem Outsourcing Harusnya Digunakan 30 Tahun Mendatang
Oleh : Redaksi/detikFinance
Senin | 23-01-2012 | 15:15 WIB
outsourcing.gif Honda-Batam

Ilustrasi:Outshourcing

JAKARTA, batamtoday - Sistem ketenagakerjaan melalui mekanisme outsourcing merupakan tren ketenagakerjaan 50 tahun mendatang. Sistem ini layak digunakan untuk negara-negera yang memiliki populasi orang tua lebih banyak dibandingkan orang mudanya. Indonesia dinilai belum perlu menggunakan tenaga outsourcing ini. 

"Tren sistem ketenagakerjaan 50 tahun ke depan adalah outsourcing. Sistem ini merupakan pilihan yang mungkin untuk negara berpiramida tua," kata Pakar Kebijakan Publik Riant Nugroho, seprti dikutip dari detikFinance, Senin (23/1/2012). 

Menurut Riant, negara-negara Eropa saat ini memiliki tingkat populasi orang tua lebih besar daripada orang muda. Akibatnya, utang negaranya lebih besar dibandingkan penerimaan perpajakannya. Utang tersebut kebanyakan digunakan membayar biaya sosial para pekerjanya yang sudah beranjak tua. 

"Seperti Eropa, yang muda sedikit dari yang pensiun sehingga rata-rata utang terhadap PDB-nya sekita 70 persen, Yunani bahkan 100 persen, paling rendah Jerman 60 persen, karena pemerintah menggaransi biaya sosial untuk yang tua," jelasnya. 

Riant menyatakan Indonesia belum memasuki fase tersebut. Pasalnya, jumlah populasi orang muda di Indonesia masih lebih besar dibandingkan populasi orang tua. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama. Sekitar 30 tahun mendatang, kondisi tersebut akan berbalik.

 

"Indonesia belum masuk piramida tua, itu 20 tahun ke depan jadi masih bisa gunakan sistem ketenagakerjaan menetap, tapi setelah itu, tidak bisa," jelasnya. 

Untuk itu, lanjut Riant, sistem outsourcing memang perlu dilakukan agar beban utang negara guna membiayai pensiun pegawai terlalu berat di masa depan.  

"Saat ini, bukan masalah di Indonesia, tapi seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina sudah mulai meningkat. Malaysia masih menggunakan sistem ketenagkerjaan menetap demi stabilitas politik, tapi yang terjadi beban utangnya 40 persen dibandingkan PDB, ini lebih dari Indonesia yang masih sekitar 25 persen," jelasnya. 

Sayangnya, lanjut Riant, saat ini sistem outsourcing yang dianut perusahaan-perusahaan di Indonesia masih belum memikirkan masa depan para pegawai outsourcing ini. 

"Pekerja kelompok kerja seperti buruh ini tidak bisa pikirkan masa depannya. Untuk itu harus dibantu," ujarnya. 

Untuk itu, Riant menyatakan perlu dipikirkan suatu rancangan sistem ketenagakerjaan seperti sistem outsourcing tetapi berorientasi masa depan pegawai outsource. Salah satunya, adalah sistem outsourcing kemitraan. Sistem ini memberikan pengajaran kepada para pegawai outsource untuk melakukan bisnis sendiri (menjadi enterpreneur). 

"Kita harus punya opsi lebih dari konvensiaonal, seperti SJSN, pensiun. Pemerintah perlu siapkan Enterpreneurship Center. Jadi yang duduk kuliah, SMA dapat ekstrakulikuler buat kerja. Di setiap perusahaan karyawan dilatih menjadi enterpreneur, menciptakan lapangan kerja baru," jelasnya. 

Dengan demikian, Riant mengharapkan akan tercipta sistem ketenagakerjaan yang adil bagi para pegawai outsource. Namun, hal ini perlu ditegaskan dalam Peraturan Presiden. 

"Di tingkat makro, perlu guideline, Perpres tentang hubungan ketenagakerjaan yang baru. Selain itu kita perlu peraturan di tingkat mikro, bahwa setiap perusahaan harus memimpin sistem outsourcing yang fair, kemitraan yang lebih baik dan fair," tegasnya. 

Jika sudah tercipta keadilan, lanjut Riant, maka demo-demo buruh tidak akan terjadi lagi. Selain itu, tidak ada pihak yang memanfaatkan konflik tersebut untuk kepentingan pribadi. 

"Selama untuk masa depan dipikirkan, tidak perlu konflik, konflik yang tidak produktif dan isu ini tidak dimanfaatkan free rider, penunggang gelap yang tidak melihatkan gambaran ke depannya," tandasnya.